Dari Kanibalisme Japikkir Hingga Skandal Veronica

Koran SIB (foto: Istimewa)

(Bagian ke-1)
JAKARTA, kalderakita.com: Senti hamil. Ia lalu meminta pertangungjawaban kekasihnya. Hal yang wajar, bukan? Alih-alih dinikahi ia ternyata malah dibantai. Japikkir, sang pujaan hati, berkomplot dengan Jainardo (ayahnya), Komaruddin (iparnya), dan Tinus. Mereka berempat menyudahi perempuan berbadan dua itu di sebuah kebun kelapa sawit, di Tanah Jawa (pinggiran Pematang Siantar), pada 3 Mei 1972.

Warga Sumatra Utara heboh, terlebih setelah mengetahui bahwa Senti tak hanya dibunuh tapi juga dimutilasi-dikanibalisasi. Jantung dan hatinya sudah tak utuh.

Di persidangan pengadilan Japikkir mengakui bahwa ia telah memakan organ tubuh itu. Tujuannya? Entahlah. Mungkin, seperti keyakinan kaum primitif yang dulu melakukannya sebagai bagian dari ritus: untuk menjinakkan dan menguasai roh korban.

Kian geger saja khalayak luas, terlebih orang Batak. Baik korban maupun pelaku semuanya ‘halak hita’ [orang Batak Toba]. Yang ketiban sial sebaik kasus ini muncul adalah setiap yang semarga dengan Japikkir. Secara pukul rata, marga mereka selama puluhan tahun kemudian diidentikkan orang dengan sang kanibal.

Setelah kejadian yang mengejutkan itu, dalam percakapan bisa muncul dialog seperti berikut.


“Marga apa calon suami Marina?”


“Japikkir.”


“Dari mana…Tanah Jawa?”


“Nggak, orang Parapat.”

Ya, gara-gara nila setitik rusaklah susu sebelanga. Seorang yang memakan cempedak semua kena getahnya.

Secara keseluruhan di masa itu orang Batak juga ikut menelan pil pahit akibat kasus ini. Tuduhan lama (mengemuka terutama sejak pembantaian penginjil asal Boston, AS, Samuel Munson dan Henry Lyman di Lobu Pining, Silindung, di malam 28 Juni 1834) ‘Batak makan orang’ seakan beroleh pembenaran di zaman modern.

Sebelum aksi Japikkir, jarang terbetik kabar tentang mutilasi yang bersaputkan kanibalisme di negeri kita pasca kemerdekaan. Sesudahnya pun demikian.

Sebagai catatan, Sumanto, warga sebuah desa di Purbalingga, yang menghebohkan Indonesia di tahun 2003 tidak membunuh manusia dan memakan organ tubuhnya yang masih segar. Daging mayat seorang nenek yang digalinya dari kuburan, yang ditelannya. Jadi ia masih kalah sensasional dibanding Japikkir, pujaan hati Senti. Sebutan untuk dirinya pun beda: ‘gendheng’ [sakit jiwa].

Di luar negeri pun hingga tahun 1972 sudah sangat jarang terdengar ada kasus orang makan orang. Baru setelah Jenderal Idi Amin Dada Oumee kian berulah di Uganda (ia menjadi Presiden pada 1971-1979) kabarnya terbetik lagi. Syahdan, diktator yang berlatar sebagai petinju kelas berat itu gemar menyantap daging manusia di pesta-pesta jamuan yang digelarnya.

Kasus Japikkir menyita perhatian publik Sumatra Utara hingga bertahun-tahun. Media massa rajin mewartakannya. Di antara semua pemberita, ‘Sinar Indonesia Baru’ (SIB) yang paling bergairah menindaklanjutinya. Koran baru terbitan Medan ini jeli membaca psikologi khalayak pembaca utama yang disasarnya: orang Batak Toba dimana saja berada (jadi bukan yang cuma di Sumatra Utara). Aspek budaya Batak serta kekristenan termasuk bahan racikan yang mereka gunakan dengan pas sehingga sajiannya seperti tak habis-habis.

(Foto: Arsip Pribadi)

SIB lahir di masa yang tepat, yakni 9 Mei 1970. Seminggu menjelang ulang tahunnya yang ke-2, kanibalisme Japikkir terjadi. Pandai membaca peluang, kasus ini digarapnya dengan intensi penuh sehingga menjadi roket yang melesatkan dirinya kemudian ke ketinggian. Tak syak lagi, peristiwa yang sangat sensasional tersebut menjadi berkah baginya.
***

Entah karena sukses mengemas kisah Japikkir, untuk selanjutnya SIB rajin memberitakan kasus terutama yang melibatkan sesama orang Batak.

Suatu waktu, contohnya, kitaran Parapat yang sekian lama ‘adem-ayem’ saja sontak geger. Pasalnya? Jabaik terkapar bersimbah darah di hamparan sawah yang lengang di Juma Simarbabi yang tak jauh dari kediamannya di Sijambur. Siapa yang telah menghabisi dia?

Sebelum tanda tanya membesar, pengakuan datang dari Sabam. Lelaki berperawakan kecil yang lembut dan jauh dari bringasan itu menyatakan dirinya yang telah mencabut nyawa si abang kandung. Kalangan yang mengenal kakak-adik tentu tercengang. Soalnya di mata mereka Sabam akur saja dengan Jabaik.

Lantas apa gerangan musebab pertumpahan darah? Ternyata tanah warisan. Seperti yang diungkapkan Sabam di sidang pengadilan, Jabaik ingin menguasai sendiri lahan tersebut.

Kasus Jabaik-Sabam menjadi sajian halaman depan SIB beberapa lama. Untuk kitaran Parapat memang ada wartawan SIB yang berpos. Dia adalah Apul Aritonang, seorang tokoh yang disegani, yang belakangan hari menjadi pewarta. Ke suami Encik Aman itu aku ber-‘tulang’ [paman].

Sebebas dari penjara, Sabam kembali ke tengah masyarakat. Untuk menghidupi diri terkadang ia menjadi tukang pundak [portir] di pasar Tigaraja, terutama pada hari pasaran utama: Sabtu. Aku sering melihat dia. Kesanku di masa itu, kesangaran jauh dari dirinya. Saat itu SIB tampaknya sudah melupakannya.

Bukan kasus pembunuhan belaka yang menarik perhatian SIB. Juga sengketa lahan, skandal asmara, korupsi, dan yang lain yang menjadi hirauan orang banyak.

Tatkala konflik merebak di Parbubu Tangga, Tarutung [dekat Aek Sirara yang kini lebih dikenal sebagai Pemandian Air Soda] terkait dengan perebutan gereja—memperhadapkan jemaat HKBP dengan GKPI—misalnya, kisahnya pun muncul berseri-seri di suratkabar milik Gerhard Mulia (GM) Panggabean. Tempatnya juga di halaman utama.

Sejak awal SIB jeli membaca selera khalayak pembaca utamanya. Apa saja yang menjadi penyimpangan (anomali) dalam budaya Batak akan dikesplorasinya sedemikian rupa agar menjadi sajian berseri yang memikat. Pernikahan sejoli yang semarga [istilahnya: ‘tompas bombong’] di Tarutung, misalnya. Juga skandal asmara gelap yang dimasa itu bersebutan ‘affair’.
 

(foto: Arsip Pribadi)


Di antara semua skandal, yang paling lama menjadi pemberitaan SIB tentu saja adalah yang melibatkan seorang ibu rumah tangga bernama Veronica. Kedramaan kasus ini maksimal sebab di saat suaminya sedang lumpuh Veronica menjalin benang asmara dengan seorang insinyur yang merupakan pejabat di Dinas Pekerjaan Umum Sumatra Utara. Sikap redaksi SIB sangat jelas sejak awal: mencela perselingkuhan itu dan memihak mereka yang dianggapnya dizolimi pelaku.

SIB piawai memilih segmen pembaca dan mengemas isu. Meski tak menyatakannya secara blak-blakan, sejak semula mereka memposisikan diri sebagai suratkabar orang Batak [lebih tepatnya: Batak Toba]. Ini nyata dari sudut berita (’angle’), sisi-sisi pokok bahasan, dan nada ucap yang mereka gunakan.

Adapan kekuatan media massa ini letaknya tak hanya di berita tapi juga di sajian lainnya, terutama cerita bersambungnya Arifin Siregar, komik strip yang muncul saban hari: Nasib Si Suar Sair, celutukan redaksi (Komentar Parmitu dan Kepiting di Balik Batu/ Abang Jampang), serta rubrik yang belakangan hadiri khusus untuk kaula belia: Sinar Remaja.

Semuanya, setidaknya hingga dekade 1980-an, adalah santapan yang saban hari senantiasa dinanti dengan tak sabar oleh sidang pembaca.

Di zaman itu SIB memang sangat berjaya sehingga ‘tag-line’ yang di pasangnya di halaman 1—tepat di bawah logo—adalah: “Oplah Terbesar di Sumatera”. (bersambung)