JAKARTA, kalderakita.com: Toko buku Kristen yang di Kwitang itu akhirnya mengabadikan namanya: BPK [Balai Penerbit Kristen] Gunung Mulia. Pengusul adalah Dr. Verkuyl, sahabat TSG Moelia. Untung saja pengabadian dilakukan kala itu; kalau tidak, bisa jadi sang tokoh yang rendah hati tapi berdisiplin tinggi akan dilupakan orang banyak untuk selamanya. Bila itu sampai terjadi tentu akan menjadi sebuah ironi besar. Sebabnya?
Toedoeng Soetan Goenoeng (TSG) Moelia terbilang sosok yang sangat sangat penting di awal kemerdekaan Republik Indonesia. Doktor antropologi lulusan Universitas Leiden (1932) yang juga meester in de rechten (SH), merupakan Menteri Pengajaran ke-2 yang kita miliki, menggantikan sahabatnya, Ki Hajar Dewantara.
Setelah tidak di birokrasi lagi abang sepupu PM Amir Sjarifuddin Harahap bertekun mengurusi gereja. Ia tercatat sebagai pendiri dan rektor pertama Universitas Kristen Indonesia (UKI). Juga pendiri Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) serta Dewan Gereja-gereja Indonesia (DGI) yang kini menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Jelas, lelaki kelahiran Pasar Matinggi (Padang Lawas) tahun 1896 yang pernah menjadi Wakil Ketua ‘Volkskraad’ [menggantikan Muhammad Husni Thamrin], Pemimpin Redaksi majalah ‘Zaman Baroe’, serta dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu sosok istimewa. Begitupun, sangat sedikit catatan ihwal Pemimpin Redaksi (bersama Prof. KAH Hidding) ‘Ensiklopedia Indonesia’ (3 jilid tebal) dan penulis buku ‘Perdagangan Internasional’ tersebut yang bisa kita temukan di negeri tercinta ini; di UKI, LAI, dan PGI pun tak terkecuali.
Kelangkaan catatan tersebut menyulitkan Imran Hasibuan [Ucok], Kristian Ginting, dan aku saat menulis biografi yang ditelaah dalam diskusi terbatas di Gedung PGI Salemba kemarin. Kendala lainnya adalah hampir tak ada lagi narasumber yang mengenal dari dekat sahabat pengabar injil yang juga tokoh Oekumene, Dr. Kraemer, tersebut. Kalau saja tak ada bu Wanda Moelia, pastilah kami bertambah kelabakan. Perempuan berusia 84 tahun yang dulu mengajar di FE-UI dan pernah menjadi Dekan FE UKI adalah putri Pak TSG Moelia. Dari peraih MBA dari Wharton School, Universitas Pennsylvania, kami mendapatkan gambaran yang lumayan ihwal keseharian sang ayah serta koleksi foto keluarga.
Peserta diskusi buku Soetan Goenoeng Moelia (foto: P. Hasudungan Sirait)
Sebenarnya Bu Wanda punya satu saudara kandung yang masih hidup. Namanya Christian. Karena badung, saat masih bersekolah di SMP Jakarta ia dipindahkan ayahnya ke Belanda. Di Eropa dia ternyata kemudian menjadi anak baik. Kelak ia menjadi guru besar farmasi di Jerman. Berisrikan orang Eropa dan beranakkan seorang pendeta, hubunganya dengan Indonesia praktis sangat berjarak sejak ia meninggalkan Tanah Air. Kini sang profesor emeritus, kata Bu Wanda, tak bisa lagi berbahasa Indonesia dan hampir tak bersisa lagi ingatannya tentang sejarah keluarga. Maka, aku pun urung terbang ke Jerman untuk mewawancarainya sebagai narasumber.
Kami akhirnya lebih banyak mengandalkan riset pustaka. Karya TSG Moelia kami manfaatkan betul, termasuk disertasinya. Pak Pdt. Dr. Andreas Yewangoe—lulusan Universitas Vrije, Amsterdam—berbaik hati membuat ikhtisar disertasi yang ditulis dalam bahasa Belanda klasik tersebut. Kami juga sangat terbantu oleh Pdt. Dr. Zakaria J. Ngelow yang telah memberikan bundel tebal kopian majalah ‘Zaman Baroe’ yang dibawanya dari sebuah perpustakaan negeri kincir angin.
Foto: P Hasudungan Sirait
Dalam diskusi terbatas kemarin Pak Zakaria J. Ngelow dan Pak Andreas Yewangoe menjadi pembahas. Hadirin termasuk Eforus dan Praeses Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA), wakil keluarga TSG Moelia, dua utusan Nadhatul Ulama [salah satunya Mas Imam yang kocak], Sekjen PGI Pak Gomar Gultom, dan Jerry Sumampow (moderator). Kami beroleh banyak kritik dan masukan dari mereka.
Tentu itu akan kami gunakan untuk memperbaiki otobiografi TSG Moelia—ia meninggal di Belanda tahun 1966 tak lama setelah beroleh doktor kehormatan dari Universitas Vrije—yang sebelumnya telah 3 kali dikoreksi.