PEMATANG SIANTAR, Kalderakita.com: Nama Raminah Garingging tak asing di kalangan penggiat budaya Simalungun. Ia kerap dipanggil Oppung Pirang karena rambutnya tak memutih tapi justru pirang. Meski usia lanjut, semangatnya malah serasa ABG 17 tahun.
Di usia senja, ia masih bisa memperagakan tortor sombah (salah satu tarian Simalungun). Dengan badan membungkuk, kedua telapak tangannya terbuka dan ditaruh di depan kepala yang menuduk. Lakonnya seolah-olah sedang mencium lantai. Semangat yang luar biasa.
Lahir pada 10 Oktober 1934 di Sorbadolog, Kecamatan Silou Kahean, Kabupaten Simalungun, dia merupakan anak pasangan Tuan Ikan Sorbadolog dan Panakboru Panis Purba Tambak.
Ia juga menekuni berbagai seni tradisi Simalungun seperti inggou (lagu), turi-turian (cerita rakyat) dan mamulung tawar (meramu obat tradisional). Uniknya lagi, dalam keseharian dia tidak memakan daging dan ikan tawar. Laksana seorang vegetarian, meski tak pernah belajar apa pun tentangnya.
Sanggar Rayantara
Sebelum menemui Raminah Garingging, wartawan Kalderakita.com menghampiri Sanggar Seni Rayantara yang berada di Jalan Gotongroyong, Kelurahan Sigulanggulang, Siantar Utara, Kota Pematangsiantar. Tepatnya di Parluasan, dekat loket Bus Intra.
Di sana Sultan Sumbayak, penggagas Sanggar Seni Rayantara, banyak bercerita ihwal awal perjumpaannya dengan Raminah Garingging. Pada 2013, tutur dia, Sanggar Seni Rayantara diminta untuk ikut mengisi pertunjukkan di Taman Budaya Sumatera Utara. Kala itu basisnya di Jalan Perintis Kemerdekaan, Medan.
Sultan kemudian membentuk tim. Krunya 12 orang, mulai dari panggual (gendang), parsarunei (alat musik tiup), dan panortor (penari). Dia lantas mencari orang yang paham betul tentang tortor Simalungun.
Atas usul Tiowena Saragih Garingging, ia pun menemui Raminah Garingging di Jalan Rambing-Rambing, Siantar Estate, Kecamatan Siantar (Rambung Merah). Seiring berjalannya waktu, Raminah Garingging pun dipercaya menjadi koreografi sekaligus Pembina Sanggar Seni Rayantara.
Pelestari budaya (foto: Rano Kambo Hutasoit)
Setelah melalui proses belajar dan latihan yang panjang, Sanggar Seni Rayantara berhasil mementaskan tortor Simalungun di panggung Nusantara. Juga mengikuti beberapa ajang. Termasuk pertunjukkan Tuan Rondahaim dan Tuan Sangnawaluh, serta Puang Sorma. Selain tampil di Batak Fiesta (Tuktuk, Pulau Samosir), Jangga Dolok, Cirebon, Pagaruyung (Sumatera Barat), mereka beberapa unjuk kemampuan di Jakarta.
Aneka Tortor
Usai membuat janji, kru Kalderakita.com menemui Oppung Raminah Garingging di kediamannya di Jalan Rambing-Rambing, Siantar Estate, Kecamatan Siantar. Tepatnya di samping Gereja Adven Jemaat Rambung Merah.
“Maraha do parroh nasiam (Apa tujuan kedatangan kalian),” sambut dia usai mempersilakan duduk.
Setelah berkenalan, ia lantas berkisah. Semula yang dikenalnya bukan tortor Simalungun melainkan tarian Melayu. Dia memang tinggal di perbatasan dengan wilayah Melayu (Tebing Tinggi). Saat itu ia dibimbing oleh Datuk Bustami, keturunan dari Raya Panribuan.
“Ada 6 dasar tortor Simalungun. Dimulai dari Somboh hingga Sitalasari, Martonun, Ija Juma Tidadahan, Haroan Bolon, dan Manduda,” jelas Raminah sambil menggunyah demban (sirih).
Tortor Sombah itu biasanya digelar untuk menyambut raja, pejabat, atau tamu terhormat. Dulunya, itu tidak sembarangan dipertunjukkan. Setidaknya di acara Rondang Bittang (acara budaya). Biasanya menjadi pembuka, sekaligus bermakna bahwa jika ada kesalahan, kehilafan, atau kekurangan mohon dimaafkan.
“Anggo Tortor Sitalasari artini tarsunggul bani adat sapari. (Kalau Tortor Sitalasari itu artinya mengingatkan kita pada budaya dan adat terdahulu). Nahinan lang dong halak marhiou tapi mamakei laklak do. Dop ai, itandai halak ma tonun, dong ma tortor martonun. (Zaman dahulu tidak ada orang menggunakan baju seperti sekarang ini tapi memakai kulit kayu. Kemudian dikenallah tenun dan itu menjadi cikal tortor martonun),” lanjut Ruminah dengan semangat.
Setelah mengenal pakaian atau busana, kemudian dikenallah tortor ija juma tidahan (tortor tentang bercocok tanam). Dalam bekerja, orang Simalungun bersemangat gotong royong. Ini dapat dilihat dari tortor haroan bolon. Pasca panen padi, ada namanya tortor manduda (pesta panen).
“Dong do halak manortor tortor sombah tapi jongjong janah lang unduk. Ija dong manombah hun atas. Maningon do songon na mangapus tanoh, unduk janah sombah. (Ada orang menari tortor sombah tapi posisinya berdiri tegak. Mana ada menyembah dari atas. Menyembah itu harus dengan posisi di bawah, bak orang sejajar dengan tanah, tunduk dan menyembah). Tortor Simalungun lang pitah hiburan, ibagas tortor ai dong do ritual adat sakral naporlu torus ipertahanhon janah i lestarihon. (Tortor Simalungun tak sekadar hiburan. Di dalamnya tersirat ritual adat sakral yang perlu dipertahankan dan dilestarikan).”