Berubahnya Pemahaman Agama di Era Google

Bergesernya pemahaman agama (foto: medcom)

Tulisan-1

JAKARTA, Kalderakita.com: Data survei dari Gallup Poll yang dipadukan dengan World Happiness Index dari PBB menghasilkan temuan itu. Agama tak lagi dianggap penting oleh mayoritas penduduk yang negaranya dianggap paling bahagia.

Justru di negara-negara yang penduduknya menganggap agama faktor penting dalam hidupnya, tingkat ukuran kebahagiaannya biasa-biasa saja.

Fakta-fakta inilah yang ditelaah dan dianalisis dengan tajam oleh Denny JA dalam buku 11 Fakta di Era Google: Pergeseran Pemahaman Agama, dari Kebenaran Absolut Menuju Kekayaan Kultural Milik Bersama.

Sebanyak 10 pakar merespon buku Denny JA. Respon 10 pakar itu kini juga dibukukan, karena kandungan informasinya penting sebagai bagian public discourse.

-000-

Dengan piawai Denny JA membedah fakta-fakta yang menggeser posisi dan peran agama dalam kehidupan manusia.

Meski fakta-fakta mencengangkan ini tak juga menggoyang keyakinan manusia terhadap ajaran agamanya.  Namun ia menyentak kita. Betapa alasan dasar kehadiran agama telah pula bisa dijawab oleh elemen non-agama.

Buku karya Denny JA ini dengan apik memotret perubahan itu. Buku ini tidak sedang berteori, apalagi berimajinasi.

Fakta-fakta perubahan peradaban dipotret menggunakan banyak hasil riset berbasis ilmu pengetahuan.

Perubahaan cara beragama adalah fenomena faktual.

Semakin banyak manusia yang memosisikan agama lebih sebagai kekayaan kultural milik semua manusia.

Mereka beragama atau mereka tidak beragama secara rileks saja.

Mereka lebih rileks bahkan untuk ikut menikmati perayaan hari besar berbagai agama.

Bersama mereka merayakan Tahun Baru. Bersama merayakan Thanksgiving Day. Bersama merayakan Gong Xi Fat Chai. Bersama pula merayakan Natal. Pada waktunya, bersama pula merayakan Hari Raya Idul Fitri dan Bulan Ramadan.

Buku ini menganalisis dengan cermat perubahan peradaban itu, lalu merekomendasikan seperangkat kearifan penting dalam melihat masa depan agama, masa depan manusia.

Bagi Denny, sebelas fakta era Google yang dipaparkannya perlahan akan mengubah pemahaman agama dari kebenaran mutlak menjadi kekayaan kultural milik bersama.

Anggap saja umusan ini sebagai Denny JA’s Law of The Future of Religions.

-000-

Sebagai pengantar untuk membaca review buku ini, ada baiknya saya ringkaskan lima gagasan utama yang ditulis oleh Denny JA dalam bukunya:

SATU: Pada Top 10 negara yang paling bahagia, paling bersih pemerintahannya, paling sejahtera, mayoritas penduduknya tak lagi menganggap agama penting dalam hidupnya.

Ada tiga data riset dari lembaga kredibel yang selalu dirujuk untuk membuat kita semua belajar menjadi manusia yang lebih baik.

Riset tentang kebahagiaan manusia (World Happiness Index). Riset tentang kesejahteraan manusia (Human Development Index). Dan riset tentang persepsi korupsi (Corruption Perception Index).

Tiga riset ini kemudian dihubungkan Denny JA dengan riset mengenai seberapa pentingnya agama bagi masyarakat (The Importance of Religions, Based on Countries: World Gallup Poll).

Hasil riset ini mencengangkan bagi sebagian orang.

Negara yang tingkat kebahagiaannya tinggi (World Happines Index), yang negaranya paling bersih (Corruption Perception Index), yang kualitas pembangunan manusianya paling tinggi (Human Development Index), mayoritas warganya tidak menganggap agama itu penting bagi hidupnya.

Begitu pun sebaliknya: negara yang mayoritas warganya menganggap agama itu penting, tingkat kebahagiaan penduduknya, tingkat kebersihan pemerintahannya dari korupsi, dan kualitas pembangunan manusia di sana, hanya di papan tengah hingga di bawah rata-rata.

DUA: Arkeolog memberi fakta berbeda soal kisah para nabi yang sebenarnya.

Perkembangan ilmu pengetahuan sudah sedemikian rupa, sehingga fakta sejarah peradaban manusia bisa diteliti dan dianalisis, bahkan sejarah ribuan tahun yang lalu.

Penelitian arkeologi dan antropologi sampai pada kesimpulan faktual bahwa beberapa hal yang tertulis dalam kitab suci agama-agama bukanlah fakta sejarah.

Nabi Adam, Nabi Nuh, dan Nabi Musa bukanlah tokoh sejarah. Tak ada bukti arkeologis yang mendukung keberadaan mereka, dengan segala cerita sejarahnya.

Fakta lain yang merupakan salah satu temuan riset Dan Gibson selama tiga puluhan tahun, misalnya. Temuan itu, ditambah bukti arkeologis dan dokumen sejarah lainnya, melahirkan sebuah hipotesis, bahkan klaim: Bahwa awal kelahiran Islam itu bukan di Mekkah tapi di Petra.

Seratus tahun pertama berdirinya Islam, masjid-masjid di Jordania, Irak, Yaman, Suriah, Mesir, hingga India, mempunyai arah kiblat yang sama.

Ketika masjid itu dipetakan, ia mengarah ke satu kota. Dan kota itu ternyata bukan Mekkah, bukan Jerusalem. Kota itu adalah Petra di Jordania.

Tapi apakah fakta-fakta seperti itu mengubah keyakinan pemeluk Islam? Tidak!

Agama adalah soal keyakinan. Agama-agama masih bertahan ribuan tahun hingga saat ini, dan dipeluk oleh miliaran manusia.

Agama adalah lompatan iman yang menyeluruh. Bagi penganut agama yang yakin, bahkan fakta sejarah yang salah tidaklah mengganggu.

Umat kristen meyakini fakta Yesus (Nabi Isa) wafat disalib. Umat Islam meyakini fakta Nabi Isa tak mati disalib.

Umat Kristen meyakini anak yang akan dikurbankan Nabi Ibrahim adalah Ishak. Umat Islam meyakini anak yang akan dikurbankan Nabi Ibrahim adalah Ismail.

Ini dua fakta yang berbeda. Pasti salah satu fakta itu salah. Ternyata kesalahan fakta sejarah tetap bisa diyakini oleh lebih dari satu miliar manusia, dalam kurun waktu lebih dari seribu tahun.

Sumber: Facebook Denny JA (konsultan politik dan pegiat media sosial)