Tulisan-3 (habis)
JAKARTA, Kalderakita.com: Lalu apa kesamaan prinsip hidup di antara banyak agama dan aliran itu? Apa harta karun yang menjadi irisan semua agama?
Setidaknya ada tiga nilai terpenting yang muncul dari banyak agama besar dan Stoic Philosophy.
Nilai spritualitas itu tidak di mana-mana. Ia berada di dalam diri kita sendiri.
Sebut saja dengan Spiritual Blue Diamonds. Tiga berlian biru. Berlian biru adalah batu termahal yang ada di bumi.
Pertama adalah prinsip The golden rule. Prinsip kebajikan. Prinsip utama moralitas. Lakukan pada orang lain serbagaimana yang kau harap orang lain lakukan padamu. Atau, jangan lakukan pada orang lain apapun yang kau tak ingin orang lain lakukan padamu.
Prinsip ini tertulis di semua kitab suci agama besar. Bahkan prinsip kebajikan juga menjadi ajaran utama Stoic Philisophy, yang sudah ada tiga ratus tahun sebelum kelahiran agama Kristen, dan 900 tahun sebelum kelahiran agama Islam.
Kedua adalah prinsip Power of giving. Berikan apa yang kau bisa untuk menolong orang lain, untuk menumbuhkan orang lain, untuk membahagiakan orang lain.
Lakukan prinsip ini terutama kepada mereka yang tak beruntung.
Ini harta karun lain yang ada di semua agama besar.
Kau hidup dari apa yang kau ambil. Tapi kau bahagia dari apa yang kau beri. Derma atau pemberian tak selalu berarti materi.
Tapi yang utama adalah dedikasi untuk ikut menumbuhkan orang lain. Prinsip ini juga ada di begitu banyak agama dan aliran spiritualitas.
Ketiga adalah prinsip The oneness. Prinsip bahwa segala hal itu satu. Prinsip saling keterkaitan satu sama lain.
Sesama manusia itu satu. Di balik perbedaan identitas sosial, lebih mendasar persamaannya sesama homo sapiens.
Melukai satu manusia itu sama dengan melukai bagian tubuh kita sendiri.
Antara manusia dan lingkungan sekitar juga satu. Sungai, pohon, udara, mereka semua bagian dari keluarga manusia. Rawatlah lingkungan sebagimana kita merawat keluarga sendiri.
Antara manusia dan alam semesta juga satu.
Bumi hanya setitik debu saja. Tapi ia bagian tak terpisahkan dari keluasan alam semesta.
-000-
Provokasi Denny JA melalui bukunya cukup menggelitik banyak pihak. Data-data yang dianalisis menghasilkan kesimpulan pertanyaan yang menantang: apakah agama masih relevan di era Google sekarang ini?
Nasib agama di masa depan (Ilustrasi:BBC)
Buku ini memuat 10 tanggapan terhadap provokasi Denny JA tersebut.
Mengamini temuan Denny, Luthfi Assyaukanie memulainya dengan menambahkan bumbu provokasi. Bagi Luthfi, Denny tidak terlalu tegas membaca “kematian agama”.
Luthfi mengutip Daniel Dennet, seorang filsuf dan aktivis gerakan Ateisme Baru, yang meramalkan bahwa agama akan bertahan 500 tahun lagi.
Menurutnya, sebagian besar negara sekarang ini membuat sendiri aturan pemerintahan yang umumnya bersifat sekuler.
Semakin sekuler sebuah pemerintahan, semakin besar potensinya untuk berkembang. Semakin religius sebuah pemerintahan, semakin besar peluangnya untuk terbelakang.
Demokrasi dan kebebasan akan berkembang dengan baik pada pemerintahan yang sekuler, yang jauh dari intervensi agama.
Dengan kata lain, sebagai institusi, agama semakin tidak relevan buat kehidupan manusia modern.
Dan bagi Luthfi, umur agama mungkin tak sampai 500 tahun lagi. Agama akan mati dalam 100, atau paling lambat 150 tahun lagi.
Agak berbeda dengan Luthfi, Azyumardi Azra justru melihat ada semacam gairah baru kebangkitan agama, bahkan eksplosi keagamaan, terutama di kalangan kelas menengah.
Namun, kebangkitan ini justru orientasi agamanya cenderung intoleran dan bermusuhan dengan kaum beriman seagama tapi berbeda paham dan praksis agama, dan juga dengan penganut agama lain.
‘Hijrah’ kemudian berarti meninggalkan pekerjaan dan kehidupan arus utama, lalu mengalienasikan diri dari lingkungan sosialnya.
Karena itu, tantangan agama hari ini dan ke depan bagi warga yang yakin bahwa agama penting adalah membangun paradigma, pemahaman, dan praksis keagamaan yang holistik, komprehensif, dan menyeluruh.
Lebih lanjut, Azyumardi melihat bahwa berbagai argumen Denny JA dalam bukunya masih perlu dikaji dan diuji lebih lanjut.
Karena itu perlu dilakukan riset lebih luas, dan pemetaan yang lebih komprehensif.
Terdapat interdependensi dan interplay, saling memengaruhi antara satu bidang dan ranah kehidupan dengan bidang lain, yang pada gilirannya juga memengaruhi dinamika internal keagamaan.
Terkait temuan-temuan arkeologis mengenai kenabian dan juga biblical archeology. Wahyuni Nafis dalam tulisannya menggarisbawahi bahwa berbagai fakta rasional dan alami yang dipaparkan datanya oleh Denny seakan benar-benar telah memporak-porandakan fondasi keyakinan kaum beragama.
Kota suci awal Islam (foto: faktanews)
Jesus Kristus dibuat menjadi tidak jelas dari mana berasal. Musa dianggap tokoh fiktif, karena sebelumnya pernah ada kisah serupa Raja Sargon.
Mekkah sebagai kota asal kelahiran Islam digoyang dengan menyodorkan Petra. Banjir bah zaman Nabi Nuh diragukan terjadi karena tidak terdukung fakta-fakta alami.
Namun, Ahmad Najib Burhani dalam tulisannya menyebut bahwa sebagian intelektual dan mufassir Islam sebenarnya sudah memiliki jawaban alternatifnya.
Fazlur Rahman, misalnya, membahas tentang apakah Alquran itu kitab sejarah atau kitab yang lebih merupakan tuntutan etika.
Dia berkesimpulan bahwa Alquran bukan buku sejarah.
Beberapa terjemah Alquran dari Ahmadiyah, baik Lahore maupun Qadiani, juga menerjemahkan ulang cerita-cerita dalam Alquran yang seakan bertentangan dengan temuan ilmu pengetahuan.
Di antaranya terkait kisah Nabi Adam sebagai manusia pertama, Isra’ Mi’raj, keperawanan Maryam setelah melahirkan Nabi Isa, kemampuan Nabi Sulaiman memindahkan istana Ratu Balqis dan berbicara dengan semut, tongkat Nabi Musa yang mampu membelah laut, dan lain-lain.
Cerita-cerita seperti itu tak bisa diterima oleh nalar manusia dan karena itu beberapa rationalists muslim menerjemahkan ulang sehingga tak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Bagian penting dari buku Denny yang juga menarik perhatian adalah solusi yang ditawarkan Denny JA dengan memetik pesan-pesan universal agama yang disebut sebagai 10 mutiara yang dia sebut sebagai intisari agama.
Spiritualitas yang dibangun di atas 10 mutiara tersebut bukan saja akan menjadikan seseorang beragama secara otentik, tapi juga terbuka dengan kemajuan-kemajuan baru.
Inilah yang oleh Rumadi dalam tulisannya disimpulkan bahwa percikan pemikiran Denny JA ini merupakan wujud kecintaan Denny JA pada agama yang dia yakini.
Dia berusaha menyalakan lilin agar Islam menjadi agama yang menopang kemajuan, bukan agama yang justru mendestruksi kemajuan.
Sumber: Facebook Denny JA (konsultan politik dan pegiat media sosial)