Muchtar Pakpahan dan Yang Lain di Majalah `TATAP`

Majalah budaya Batak yang terbit setiap bulan (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

JAKARTA, Kalderakita.com: Suara para remaja yang menggebuki bedug sembari berseru “Saur…saur…” muncul dari mulut gang di kejauhan. Sebentar saja sudah keras bunyi itu. Kulihat jam di 'handphone'.

Ternyata pukul 02.00. Sungguh tak kusadari waktu yang terus berpacu. Serta-merta kuhentikan pencarian file di  hard disk eksternal 4 terrabyte yang sudah 3/4 penuh. Kejadian ini tadi subuh.

Kumulai tidur dengan pikiran yang lumayan longgar meski mata telah sepat akibat terlalu  lama memeloti layar laptop. Tak seperti di beberapa kesempatan sebelumnya, pencarian di antara timbunan file —berupa teks, foto, dan video—lama (mulai dari tahun 1990-an) yang berkelindan dengan arsip kekinian, lumayan melegakan diriku kendati yang paling kudambakan—foto-foto lawas terutama, termasuk hasil jepretanku di pantai Belitung seusai workshop Bank Indonesia dan di Pematang Siantar—tak kunjung kutemukan.

Lega, sebab ada materi yang sekian lama telah luput dari ingatanku ternyata kudapatkan secara tak sengaja. Salah satunya adalah transkrip hasil wawancaraku dengan pejuang buruh terkemuka, Muchtar Pakpahan.

Awalnya, di sebuah sub-folder kutemukan file bernama Muchtar Pakpahan.  Panjangnya ternyata 12 halaman. Begitu melihat jenis huruf dan spasi,  langsung kuyakin pewawancaranya adalah diriku. Apalagi setelah mencermati pilihan kata yang membangun beberapa paragraf pertanyaan.

Tapi sudah lupa betul aku kapan interview itu berlangsung. Kalau tempatnya masih ingat, yaitu di rumah Bang Muchtar di Tanah Tinggi. Sebebas dari Lembaga Pemasyarakat (LP) Cipinang, ia beberapa kali kujambangi di sana.

Lantas, dimana hasil wawancara itu dimuat? Lupa pula aku.

Penasaran, penelusuran yang saksama kulakukan kemudian sampai sejam lebih. Namun, tak ada file lain bernama Muchtar Pahpahan dalam bentuk apa pun termasuk pdf.

Di saat sudah hampir frustasi, iseng-iseng kubuka folder bernama TATAP. Eh…di sana ada sub-folder Pengacara Batak. Isinya kubuka. Ternyata ada file Pengacara buruh.

File itu tentu saja kubuka. Benar, itulah yang sedang kucari! Hasil wawancara dengan Muchtar Pakpahan dan Johnson Panjaitan tersebut telah berbentuk narasi berpanjang 8 halaman komputer. Penulisnya? Sama sekali tak tertera. Melihat gayanya, aku yakin itu tulisanku. Tapi keyakinan saja tak cukup, bukan?

Tadi pagi arsip 'TATAP' kusingkap.  Majalah bulanan ini umurnya 1 tahun saja dan nomornya tak sampai selusin. Nomor demi nomor kuperiksa dengan gaya 'scanning' (melihat judul dan foto saja). Sampai 5 nomor tak ada Muchtar Pakpahan! Mulai gundah lagi aku…

Ternyata tumpukan terbawah ke-2 bergambar depan Johnson Panjaitan. Edisinya  November-Desember 2007 (Nomor 3). Sangat akrab aku dengan hasil jepretan fotografer kawakan Edward Tigor Siahaan ini. Seketika anganku terbang ke masa silam.

Artikel di Majalah Tatap (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Ceritanya, kala itu aku dan dia mendatangi Johnson di kantornya yang sumpek saking mungilnya, tak jauh dari Stasiun Manggarai yang masih kumuh betul. Saat aku mewawancarai, Edward Tigor sibuk mengabadikan narasumber tersebut. Begitupun, belum puas juga dia rupanya. Ia menginginkan foto Johnson yang benar-benar mencerminkan karakter pengacara pembela rakyat kecil [sarjana hukum dari Universitas Kristen Indonesia tersebut memang masih demikian kala itu].

Esoknya, Edward Tigor Siahaan melakukan sesi pemotretan khusus. Tak ikut aku dalam pengabadian itu.  Johnson ia arahkan bergaya di rel Maggarai yang bercabang-cabang dan terkesan carut-marut. Latar itu dipilihnya untuk menggarisbawahi kesemrawutan lintasan bagi rakyat kecil pendamba keadilan di negeri bernama Indonesia.

Majalah bersampul foto hitam putih Johnson Panjaitan kubuka. Alam ingatanku seketika kembali. Kenangan saat mewawancarai (bersama tim 'TATAP')  Luhut MP Pangaribuan, Junimart Girsang, Yan Apul Girsang, dan yang lain bermunculan.

Kutemukan ternyata yang kucari! Senang betul, rasanya. Artikel itu  berjudul Pengacara Buruh Muchtar Pakpahan serta Johnson Panjaitan Pembela Rakyat. Namaku sebagai penulis termaktub di bawah sekali.

Di nomor ini ada pula perkisahan tentang Amir Sjarifoeddin Harahap. Sosok penting di masa perjuangan kemerdekaaan ini pernah  menjadi menteri penerangan dan menteri pertahanan sebelum menjadi perdana menteri yang menggantikan Sutan Sjahrir. Tapi dia akhirnya ditembak mati oleh pasukan republiken sendiri tak lama setelah Peristiwa Madiun 1948. Revolusi telah memakan anaknya sendiri! 

Nabisuk Naipospos (ini nama pena dari sobatku, seorang lulusan ITB yang kemudian berkarir puulhan tahun sebagai jurnalis di media terkemuka) dan aku berkesempatan mewawancarai 2 putri Amir Sjarifoeddin yakni Andrea (Ny. A. Simanungkalit) dan Helena Lucia (Ny. H. Lumban Tobing). Kesempatan yang sangat berharga tentu bagi kami berdua sebab sejak kehilangan ayahanda tercinta boru Harahap bersaudara tak sudi berbicara kepada media massa.

KECIL

'TATAP',  yang nomor perdananya muncul pada 1 Agustus 2007,  media kecil. Seperti tertera di halaman pertama pada nomor-nomor awalnya, dewan redaksinya terdiri dari Jansen H. Sinamo (Pemimpin Redaksi/Pemimpin Umum), P. Hasudungan Sirait (Redaktur Pelaksana), Benget Besalicto Tinambunan, Edward Tigor Siahaan, Hans Miller Banureah, Martin Lukito Sinaga, dan Eka Namara Ginting. 

Tulisan di Majalah Budaya TATAP (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Sebagai pengelola, kami semua tidak penuh waktu sebab sibuk dengan pekerjaaan utama masing-masing. Di masa itu kami sudah menerapkan konsep officeless agar serba efisien. Rapat redaksi bisa di mana saja tapi terutama di kedai. Suasananya tentu serba santai tapi kreativitas dan produktivitas   tak menjadi berkurang.

Kalau mau liputan tinggal berkoordinasi saja akan bertemu di mana. Sesekali kami ramai-ramai ‘mengeroyok’  narasumber. Termasuk ketika mewawancarai musisi yang lama memperkuat Godbless, Yockie Suryoprayogo,  di rumahnya di Bumi Serpong Damai (BSD). Atau tatkala menggali cerita dari Akbar Tandjung di kediamannya di Menteng. Juga manakala menginterview dedengkot Panber’s, Benny Panjaitan,  di Lapo Toba Tabo, Jl. Saharjo, Manggarai.

Kendati cuma 1 tahun, masa ber-'TATAP'-ria istimewa bagiku. Terbebas dari tekanan dan leluasa mengespresikan minat pribadi. Dimana lagi kita bisa mendapatkan atmosfir redaksi yang demikian?

Cover majalah TATAP (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Sajian khusus majalah untuk orang Angkola, Karo, Mandiling, Pakpak, Simalungun, dan Toba ini senantiasa kami garap dengan serius. Topiknya aneka. Termasuk Si Boru Batak [perempuan Batak yang mencuat di pelbagai lapangan] dan Sains Batak [orang Batak di dunia ilmu pengetahuan]. Untuk menyiapkan yang terakhir ini Jansen H. Sinamo, Nabisuk Nipospon, dan aku menjambangi kampus ITB di bilangan Taman Sari, Bandung, untuk mewawancarai fisikiawan utama, Profesor Pantur Silaban. 

Ada kesalahan fatal sekaligus dosa kami yang kemudian membuat 'TATAP' mati secara prematur. Kami semua terlalu syur mengurusi suguhan berita sehingga melupakan bagian lain yang maha penting: bisnis. Sama sekali tiada orang yang menangani non-redaksi,  termasuk 'parhepengon' [keuangan].   Maka, begitu Bang Jansen H. Sinamo yang merupakan Pemimpin Umum/Pemred terkena stroke, terbitan itu pun langsung limbung dan terhuyung sebelum tumbang selamanya. Konyol, bukan?

Ah, itu baru kami sadari setelah segalanya terlambat…