Tulisan-1
DAIRI, Kalderakita.com: Di sisi bendera Merah Putih, seorang ibu berdiri dengan wajah sedih. Lirih membatin. Mengenakan masker hitam bertuliskan, “alam pun menangis jika tersakiti.”
Mata yang mulai memerah, mengering, seperti kehabisan air mata membayangi ingatan atas peristiwa banjir bandang tahun 2018 lalu di sekitaran Desa Bongkaras. Saat kejadian itu, ada enam orang kehilangan nyawa akibat banjir. Satu diantaranya tidak ditemukan mayatnya.
Pada Senin (3/5) pagi, ia dan puluhan warga lainnya dari desa-desa yang dimasuki konsesi tambang sudah tiba di Kantor Yayasan Petrasa. Mereka datang dengan menumpang mobil angkutan, membawa bekal sendiri, dan menggunakan masker. Perlahan, rombongan lain tiba, hingga jumlah mereka ada ratusan.
Hari itu, mereka bersiap melakukan aksi unjuk rasa, memprotes kebijakan negara yang telah memberikan izin kepada perusahaan pertambangan.
Ada resah dan gelisah yang teramat dalam. Seperti dalam cerita yang diutarakan Op. Mikael di rumahnya sambil menunjukkan gambir kering yang diambil dari atas para-para.
“Ini semua sangat melimpah di desa kami, namun hati kami sangat gelisah akibat tambang yang beroperasi di bawah tanah kami,” ucapnya dengan lirih.
Lantas apa hubungan melimpahnya gambir dengan kandungan lahan seluas 24.636 Ha yang kini ditambang?
Direktur Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) Sarah Naibaho menjelaskan, bahwa jika bicara gambir bukan hanya bicara ekonomi, tetapi juga berbicara tentang alam. Apakah gambir harus tumbuh dengan adanya ketersediaan pepohonan di alam yang berbukit bukit itu?
Gambir terbukti menjadi tumpuan ekonomi rakyat hingga kini. Di masa dahulu, gambir pernah dijual hingga ke India. Katanya untuk membikin bahan pewarna pakaian, obat-obatan, dan kosmetik.
Gambir, teman menyirih pernah dijual hingga ke India (foto: Greeners)
Ada pikiran yang paling dalam, bagaimana filosofi gambir bagi orang Pakpak sendiri? Ada relasi besar dengan menanam gambir sama dengan merawat alam.
Sementara itu, Op. Gideon Br. Sitorus dari Desa Bonian yang sangat getol menyuarakan berujar bahwa mereka bisa hidup dari hasil pertanian.
Jika divaluasi nilai ekonomi taninya, durian menjadi komoditas andalan bagi masyarakat yang tinggal di sekitaran Parongil.
Durian menjadi ekonomi tahunan. Ada juga hasil tani lainnya seperti pinang, kelapa, jagung, padi, hingga ke tanaman muda lainnya.
Bahkan, dahulu di sekitaran Lae Bongkaras sangat terkenal sebagai tempat budidaya ikan mas kolam. Namun, pada tahun 2018, banjir bandang menyapu petak-petak kolam tersebut. Kini, di sana tersisa batuan-batuan gunung yang diseret arus sungai.
Banjir bandang yang terjadi tahun 2018 lalu menjadi ruang bagi masyarakat sekitar Parongil semakin sadar untuk mempertahankan ruang hidup. Jika terjadi operasi tambang dengan lahan yang besar, dalam keyakinan mereka, ruang hidup akan semakin rusak.
Padahal, seorang ahli geologi sudah mengingatkan para pihak, bahwa lokasi tambang tersebut berada di daerah rawan bencana, tepatnya di dua patahan gempa.
Tuntutan Aksi
Semakin siang, warga Dairi yang tergabung dalam Sekber Tolak Tambang, tiba di kantor DPRD Dairi.
Ada empat anggota dewan yang menerima massa aksi meski tanpa kehadiran Ketua DPRD. Mereka adalah Wan September Situmorang, Rukiatno Nainggolan, Alfriansyah Ujung, dan Fitri Tarigan.
Di depan gedung anggota dewan tersebut, terjadi dialog yang begitu alot. Warga terus mendesak DPRD segera membentuk Pansus terkait kasus PT. DPM.
Soal pembentukan Pansus ini, keempat anggota DPRD berjanji akan mengusulkan ke rapat sehingga meminta waktu untuk proses pembentukan. Namun sayang, anggota dewan belum bisa memastikan tenggang waktu.
Ratusan warga demo memprotes rencana kegiatan tambang (foto: Rindu Hartoni Capa/Kalderakita.com)
Bahkan, massa aksi mengajak anggota DPRD tersebut untuk menemani rakyat ke Kantor Bupati. Namun, keempat anggota DPRD tidak bersedia. Dengan kecewa, warga lanjut bergerak ke depan Kantor Bupati.
Peserta aksi akhirnya melakukan longmarch menuju kantor Bupati dengan pengawalan pihak kepolisian sambil menyanyikan lagu-lagu yel-yel penyemangat.
Di kantor Bupati, Koordinator aksi dan korlap melakukan orasi dan menyampaikan kekhawatiran mereka bahwa Dairi berada di daerah patahan gempa dan tidak layak untuk ditambang.
Petani di Dairi selama ini juga hidup dari hasil pertanian dan akan terancam akan kehilangan sumber air mereka ke depan.
Aksi berlangsung hingga siang hari, meski aspal di depan Kantor Bupati makin panas, warga tetap bertahan, menyuarakan satu tuntutan agar Bupati Dairi Eddy Kelleng Berutu mencabut Surat Keterangan Kelayakan Lingkungan Hidup (SK KLH) No. 731 yang terbit pada November 2005 lalu.
Sebab, SK KLH tersebut menjadi landasan hukum bagi tambang untuk terus beraktivitas. SK tersebut dikeluarkan pada masa kepemimpinan Bupati periode sebelumnya.
Masyarakat juga mendesak Bupati untuk mengambil sikap yang berpihak kepada rakyat dan bukan kepada investor tambang. Bupati juga diminta mengeluarkan surat rekomendasi penolakan pembahasan Addendum Andal RKL, RPL Tipe A.
Tuntutan juga ditujukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menghentikan pembahasan addendum Analisis Dampak Lingkungan (Andal), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL-RKL) tipe A yang saat ini sedang diajukan oleh PT. DPM di Jakarta.
Beberapa peserta aksi juga membacakan puisi, teatrikal mangandung yang disertai dengan tor-tor.
Menurut Sarah Naibaho, mangandung bermakna meratap. Dalam konteks kasus tambang, ada suasana yang sangat sedih menimbulkan kesedihan. Teatrikal itu disampaikan melalui gerakan tarian, lakon tubuh menyatu dengan batin para ibu-ibu.
Mereka larut, hingga isak tangis pada wajah, dan kaki yang tak beralas mampu menahan suhu aspal yang makin memanas di siang itu.
Demo menolak tambang (foto: Rindu Hartoni Capa/Kalderakita.com)
Peserta aksi yang diterima oleh Sekda Leonardus Sihotang meminta masyarakat untuk kembali ke rumahnya karena Bupati Dairi tidak berada di kantor. Sekda menegaskan akan mengundang kembali perwakilan masyarakat berdiskusi untuk membahas lebih dalam terkait kekwatiran mereka.
Dalam dialog Tim Negosiator bersama Bakumsu diterima oleh Sekda Leonardus Sihotang dan perwakilan pemkab lainnya.
Koordiantor Aksi Mangatur Sihombing meminta adanya keputusan mencabut SKKLH dan Bupati mengeluarkan rekomendasi untuk penolalakan pembahasan addendum Andal RKL, RPL tipe A milik PT DPM.
Inang Rainim Purba perwakilan masyarakat dari Pandiangan meminta keseriusan Pemkab untuk membantu masa depan masyarakat yang terancam dengan hilangnya sumber air dan hasil tani.
Perwakilan masyarakat Desa Bongkaras, Gerson membeberkan ketakutan akan bencana gempa karena Dairi berada di daerah rawan bencana gempa. Menurutnya seluruh desa Bongkaras masuk kawasan areal tambang.
“Kejadian banjir bandang tahun 2018 yang lalu sudah menewaskan 6 orang. Apakah hal ini akan terulang kembali,” katanya.
Sedangkan Rohani Manalu dan Diakones Sarah Naibaho dari YDPK mengatakan seluruh hasil kajian sudah disampaikan dalam pertemuan sebelumnya. Sehingga, masyarakat mendesak Pemkab Dairi melaksanakan seluruh tuntutan masyarakat di lingkar tambang.
Aksi unjuk rasa tersebut adalah gerakan bersama Aliansi Masyarakat Sipil di Lingkar Tambang, Aliansi NGO Dairi dan Sekretarian Bersama Advokasi Tolak Tambang (terdiri dari Yayasan Petrasa, YDPK, Bakumsu, dan Jatam).
Semua elemen tersebut bertujuan untuk menyelamatkan ancaman lingkungan hidup dari pertambangan yang dipaksakan berada di kawasan risiko gempa dan banjir bandang, akan menggusur ekonomi setempat.
Editor: Dedi Gumilar