JAKARTA, Kalderakita.com: Salah satu program prioritas Kementerian Pertanian adalah pengembangan pangan skala besar atau food estate. Saat ini food estate yang berfokus pada penanaman tanaman hortikultura seperti kentang, bawang merah, dan bawang putih tengah dikembangkan di dua lokasi, yakni Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara.
Khusus di Sumut, pemerintah mencanangkan food estate seluas sekitar 61.042 hektar yang tersebar di empat kabupaten, yaitu Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Utara.
Baru-baru ini Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut di akun instagram resminya @luhut.pandjaitan bahwa pemerintah menargetkan penanaman di lahan lumbung pangan ( food estate) Humbang Hasundutan bisa mencapai 3.000 hektar pada tahun ini.
Ia menjelaskan, pada tahap awal luas areal tanam yang dipersiapkan mencapai 1.000 hektar, namun saat ini fokus penggarapannya baru pada lahan seluas 215 hektar.
"Sementara sisa lahan 785 hektar tersebut itu sedang berjalan (dalam persiapkan untuk penanaman)," ujar Luhut dikutip dari video pada postingan akun instagram resminya @luhut.pandjaitan, Minggu (14/2/2025).
Bagi sebagian kalangan, proyek berskala besar ini dinilai positif karena dianggap dapat mempercepat modernisasi pertanian. Kelak, mekanisasi alat-alat modern akan diterapkan dengan tentunya melibatkan petani.
Menurut pejabat Kementerian Pertanian inilah yang mereka sebut pengembangan korporasi petani agar mereka menguasai produksi dan bisnis pertanian dari hulu ke hilir.
Benarkah demikian? Abdon Nababan, aktivis dan pegiat masyarakat adat, berpendapat lain. Menurutnya masih ada konsep yang disembunyikan. Dia mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebenarnya sudah sepakat akan membentuk satgas masyarakat adat untuk memberesi hal-hal terkait hak-hak adat.
“...supaya seluruh program prioritas termasuk infrastruktur dan macam-macam ini, didahului dengan kepastian hukum terhadap hak-hak adat. Yang terjadi kemudian kan kami ditipu. Urusan hak adatnya tidak diberesin, tetapi proyek-proyek, megaproyek investasinya jalan terus. termasuk di wilayah-wilayah adat anggota Aman. Yaaa.. jadi ini soal cedera janji nih.”
Ladang jagung di Kabupaten Humbang Hasundutan (foto: Pemkab)
Untuk mengetahu lebih detil apa yang dimaksud sebagai cedera janji oleh aktivis jebolan IPB Fakultas Peternakan ini, awak Kalderakita.com P Hasudungan Sirait dan Rin Hindryati mewawancarai Abdon Nababan via zoom. Berikut petikannya:
Kalau konteks proyek food estate, pemerintah kan hendak mengundang investor untuk menggarap tanah di Sumatera Utara yang ada miliknys masyarakat adat atau tanah ulayat?
Iya itu konsepnya kan corporate [korporasi petani. Red)
Nampaknya semua pihak telah membuka tangan lebar-lebar
Karena yang keluar itu...Jadi antara konsep yang sesungguhnya food estate itu disembunyikan Kak. Jadi kira-kira komunikasinya itu seperti ini: nanti tanahnya akan dikasih sertifikat ke kalian semua.
Memang tidak ada sosialisasi. Dan kebetulan yang menjadi penompang dan loyalisnya Jokowi sekarang ini kan banyak para elite batak. Jadi semua kelemahan konsep yang keluar dari Jokowi, yah, ditutupi. Dan pasukan ini, pasukan buser-buser ini banyak halak kita. Itu sangat nyata di dalam food estate ini. Juga sangat nyata di dalam yang namanya, 10 Bali baru.
Apa kekhawatiran Bang Abdon? Nampaknya Anda kecewa berat.
Ya, saya kecewa besar. Karena salah satu janji, salah satu kesepakatan kami...
Kan saya bernegosiasi mewakili organisasi, maka keluarlah 6 komitmen di Nawacita untuk urusan dengan hak-hak masyarakat adat. Jadi, saya bilang pada waktu itu, Presiden sudah sepakat misalnya membentuk satgas masyarakat adat. Supaya apa? Supaya seluruh program prioritas termasuk infrastruktur dan macam-macam ini, didahului dengan kepastian hukum terhadap hak-hak adat.
Yang terjadi kemudian kan kami ditipu. Urusan hak adatnya tidak diberesin, tetapi proyek-proyek, megaproyek dengan investasinya jalan terus, termasuk di wilayah-wilayah adat anggota AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).
Kunjungan kerja Presiden Jokowi ke Danau Toba (foto: kbr)
Jadi ini soal cedera janji. Karena apa? Karena di dalam bayangan saya, kalau urusan hak-hak masyarakat adat ini sudah dibereskan, katakanlah 2 tahun, gak terjadi seperti di Sigapiton itu (konflik tanah leluhur di Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba, Sumut. Red), gak akan terjadi seperti food estate sekarang, tiba-tiba mengamuk orang Pandumaan Sipituuta di Humbang Hasundutan. Ada 2.051 hektar hutan-hutan adatnya dialokasikan untuk food estate tanpa mereka tahu.
Kalo hak adat yang dimaksudkan Bang Abdon dan kawan-kawan AMAN itu seperti apa yang menjadi prioritas untuk ditegakkan sebenarnya?
Kalau di batak kan itu sangat jelas: marga namarhuta, huta namar marga; marga namarhuta, huta namar marga itu tanah. Jadi tanahnya ompung. Untuk orang batak gak susah mengidentfikasi hak adat. Karena tarombonya jelas. Dan tarombo itu dudukannya huta. Jadi ini daftrakan dulu. Oooh, ini tanahnya marga apa, opung apa, di huta mana. Jadi, kalau ada investor, berundinglah dengan yang punya huta, dari marga mana, ompung mana.
Sebenarnya sangat sederhana. Tapi kan konsep sederhana ini adalah konsep dekolonisasi. Sementara pemerintahannya memang kolonial, memakai alat-alat kolonial, doktrin-doktrin kolonial. Jadi, bentrokannya bukan karena ini sulit. Sebenarnya ini mudah sekali.
Prakteknya seperti apa ya Bang, kalo di lapangan?
Di lapangan itu, mereka ini petanya kan peta kawasan hutan, bukan peta tanah. Jadi kawasan hutan itu dianggap hutan negara.
Zaman dahulu, hutan-hutan itu dipinjamkan oleh masyarakat adat untuk ditanami pinus, ada proyek reboisasi dulu. Jadi tanahnya gak pernah dikasih ke negara, tapi dikasih, dipinjamkan supaya pemerintah bisa nanam pinus.
Tapi secara sepihak, di petanya kehutanan dimasukkan sebagai kawasan hutan. Masyarakat bilang: gak pernah kami kasih tanah, yang kami kasih itu izin supaya orang dinas kehutanan bisa menanam pinus.
Duduk persoalannnya belum selesai?
Ya belum. Itulah yang harusnya dibereskan.
Tapi food estate ini kan seizin beberapa bupati.
Nah itu dia. Itu kan bukan tanahnya bupati. Sejak kapan bupati punya tanah? Karena setiap jengkal tanah, di tanah batak itu, itu tanah marga yang punya huta. Siapa? Yang punya huta yang jelas adalah marga pembukanya. Gak ada tanah negara dari dulu juga, apalagi bupati.
Ini kan akibat tumpang tindih itu tadi, hukum itu ya. Negara mengklaim sendiri dan mengabaikan hak ulayat jadi semua diklaim sebagai tanah negara
Artinya kan itu, itu negara kolonial
Nah setelah reformasi kan ada kecenderungan untuk reclaim dimana-mana termasuk di tanah Melayu ya. Tanah-tanah perkebunan kemudian diambil, tapi celakanya kemudian mafia juga, ikut menggerakan massa?
Betul. Karena mestinya kan claim-claim sana seperti sekarang; mestinya claim-claim ini harus disalurkan dan dibuat koridornya. Supaya claim itu tercatat. Ini pemerintah dibiarkan begitu saja. Artinya apa? Memang pemerintah juga memfasilitasi mafia ini. Kan logikanya sangat sederhana ini Bang.
Kalo saya bilang ini tanah saya, daftarkan dulu deh. Kalau sudah didaftarkan, juga semua claim ini tunjukkan bahwa itu hakmu. Apakah itu lewat sejarah lisan atau kesaksian-kesaksian orang-orang tua. Kan gitu. Nah itu tidak dilakukan. Karena rakyat ini mentok di pemerintahan, masuklah para mafia, broker.
Ilustrasi mafia tanah (foto Rmol)
Jadi ini mafia-mafia tanah itu muncul karena pembiaran. Dari pemerintah tidak segera memproses claim-claim yang sudah bersifat turun temurun, yang sudah ratusan tahun ini. Dimanfaatkanlah oleh para petualang-petualang ini… “nanti kami urus, saudara saya kan kepala BPN, saya kan satu marga dengan gubernur, ya kan? Saya satu sekolah dengan Bupati, nanti saya omong, sini surat-suratnya semua”. Kan begitu awal berkembangnya mafia-mafia itu.
Nah itu bang, tadi tuh konsep huta namar marga, marga namar huta kan di tanah batak. Bagaimana dengan di kawasan lain Indonesia yang tidak mengenal sistem marga. Apakah problem pertanahan serupa juga terjadi?
Problem! Problemnya terjadi. Kita kan hanya lebih muda karena tarombonya clear. Tempat lain, cara dia membangun silsilahnya kan berbeda. Jadi kalau yang tidak punya marga misalnya, mereka pake yang namanya totem.
Macam-macam. Jadi sebenarnya bukan sesuatu yang sulit, asal pemerintahnya, aparat pemerintahnya mau mendengar saja. Bagaimana sejarah setiap kelompok sosial yang ada di masing-masing tempat.
Berarti masih ada perbedaan persepsi tentang kepemilikan tanah. Apakah seluruh tanah yang ada di negeri ini milik negara? Bagaimana masyarakat adat bisa mengklaim bahwa tanah itu milik mereka? Dan ketika kepentingan negara dianggap lebih penting atau diutamakan maka hak adat menjadi dikalahkan.
Iya, nah itu dia. Kalau masyarakat kan biasanya protes. Persoalannya masyarakat ini kan tidak berhadapan dengan gubernur atau dengan bupati atau dengan menteri yang kasih izin kan? Mereka berhadapannya dengan Brimob sama Kopasus.
Ini yang jadi masalah, karena itu kan menjadi kekerasan, menjadi pelanggaran HAM yang berlapis-lapis itu. Jadi, kira-kira inilah pemerintah kita ini: ngeluarin izin tapi tidak diawasi izinnya. Jadi bisanya hanya memberikan izin. Kalau terjadi masalah karena izinnya ini, maka urusannya bukan ke dia. Inilah masalah kita sekarang dengan birokrasi.