CEO Elisa Lumbantoruan Perlihatkan Cacat Ekonomi TPL, Begini Katanya

Elisa Lumbantoruan saat berbicara di diskusi virtual (foto: P Hasudungan Sirait)

JAKARTA, Kalderakita.com: Suara menentang keberadaan PT Toba Pulp Lestari terus menggelinding. Tuntutan agar perusahaan milik Sukanto Tanoto yang telah beroperasi di Sumatra Utara sejak 1989 ini makin lantang disuarakan sejumlah kalangan.

Saat diskusi virtual yang diselenggarakan Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL pada Senin (24/5), ahli keuangan yang pernah menjadi chief executive officer (CEO) dan kini komisaris Garuda, Elisa Lumbantoruan,  pun didaulat Ketua Umum YPDT (Yayasan Pecinta Danau Toba) Maruap Siahaan untuk memberikan analisanya.

Berikut penjelasan lengkap alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Matematika ini dalam diskusi yang juga diikuti awak Kalderakita.com:

Kalau kita lihat laporan keuangan perusahaan ini, 2019 mereka merugi. [catatan: sebagai perusahaan publik, laporan keuangan dapat di-download dari website resmi mereka. Red].

Artinya, perusahaan tidak perlu membayar pajak. Apakah ini disengaja atau rugi benaran, itu tidak ada persoalan. Tapi pasti tidak membayar pajak.

Dari laporan keuangan ini juga, [tercatat] masih ada US$ 570.000 pajak terhutang perseroan kepada pemerintah. Itu adalah salah satu fakta yang kita lihat.

Artinya, dari sisi manfaat bagi negara, sebenarnya perusahaan ini tidak ada.

Lalu bicara mengenai penciptaan lapangan kerja. Barangkali [isu] ini yang sering sensitif bahwa kalau perusahaan ditutup maka akan banyak masyarakat sekitar kawasan yang kehilangan pekerjaan.

Ternyata, dengan konsesi pemanfaatan lahan sekitar 270.000 hektar yang diberikan pemerintah, perusahaan ini hanya menciptakan lapangan kerja bagi 691 orang sebagai karyawan dan 486 orang sebagai mitra kerja.

“Jadi, kalau dikatakan ada 5.000 orang, saya gak tahu darimana datanya.”

Ada dua macam pekerjaan yang dilaporkan di dalam laporan keuangan TPL, yakni: pekerja yang merupakan karyawan, baik itu karyawan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Terbatas). Jumlahnya ada 691 orang.

Dan itu saya supsect lebih banyak karyawan PKWT bukan PKWTT.

Sedangkan mitra kerja adalah mereka yang bukan karyawan tetapi melakukan pekerjaan PT TPL seperti menanam, menjadi supir truk, dan melakukan penebangan, jumlahnya ada 486 orang. mereka adalah tenaga kerja harian.

Bentrokan warga Natumingka dengan karyawan TPL (foto: tribun news)

Dari sisi setoran pajak atau pendapatan: economic value creation dari pengusahaan lahan ini, sangat-sangat kecil.

“Kalau saya lihat revenue-nya, itu hanya sekitar Rp 2 triliun.”

Jadi, kalau kita bayangkan, misalnya 5 persen dari lahan ini diberikan sebagai konsesi untuk membuat kawasan wisata, barangkali bisa diciptakan 100.000 lapangan kerja.

“Dan value creation secara ekonomi juga akan sangat besar.”

Data ini perlu dikaji.

Masalah ekonomi nasional

Saya mengusulkan, persoalan ini jangan dibuat sebagai gerakan masyarakat adat atau masyarakat lokal. Selama ini kan dibuat seperti gerakan masarakat adat atau masyarakat lokal, maka akan dibenturkan dengan masyarakat lokal juga yang pro-TPL.

Saya usulkan agar inisiatif ini harus diangkat menjadi masalah ekonomi nasional.

Pemerintah sangat menginginkan penciptaan lapangan kerja yang banyak serta pengembangan ekonomi strategis.

Kalau kita lihat produk dari TPL ini adalah kertas; konsumsi kertas paling besar adalah koran. Sedangkan koran saat ini sudah banyak beralih ke elektronik media. Koran menjadi industri yang mati; tidak diperlukan lagi.

Kalau dikatakan kebutuhan kertas untuk buku, terutama pendidikan, sekarang semua sudah masuk ke e-book. Buku pelajaran juga sudah elektronik.

“Jadi, ini bukan lagi industri strategis. Saya gak lihat misalnya turunan dari industri ini akan menciptakan banyak sekali value creation dari sisi ekonomi nasional.’

Ini yang harus diangkat ke level nasional, sebagai kajian ekonomi strategis. Apakah [industri] ini sesuatu yang memang perlu bagi negara? Dengan kondisi lahan yang begitu banyak.

Untuk itu perlu dilihat dari aspek berapa tenaga kerja yang dibutuhkan, seberapa tinggi penciptaan lapangan kerja, tingkat pendidikan yang dibutuhkan seperti apa, juga produk yang dihasilkan apakah meruapkan prduk yang berkaitan dengan yang strategis, yakni pangan, energi, dan kesehatan.

“Dari tiga itu, [TPL] gak ada masuk sama sekali.”

Bila perlu diangkat ke ranah internasional dengan mengangkat isu global terkait masalah lingkungan hidup, yaitu deforestation dan pendangkalan danau. Itu akan menjadi isu internasonal.