Tulisan-1
JAKARTA, Kalderakita.com: Setelah 30 tahun lebih beroperasi mengapa baru sekarang TPL dipermasalahkan? Begitu kira-kira bunyi sebuah komentar terhadap postingan seorang pegiat lingkungan-masyarakat adat, di ‘Facebook’. Sempat tertegun dan agak jengkel diriku sebaik membacanya.
Tapi, akal sehatku bicara kemudian sehingga diri ini menjadi mafhum. Kesimpulan kutarik. Si pemberi komentar itu—dia perempuan Batak—seorang yang lahir selepas dekade 1980-an dan jenis manusia yang tak memerhatikan-mementingkan sejarah. Itu kemungkinan ‘pertama’.
Atau, kalaupun dari generasi yang lebih tua, dia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri sehingga sampai tak memberi perhatian sedikit pun pada dinamika yang tak biasa di tengah masyarakat, termasuk gejolak hebat yang berlangsung sangat lama di Sumatra Utara. Ini kemungkinan ‘kedua’.
Bisa juga dia antek Indorayon/TPL. Kemungkinan ini yang ‘ketiga’.
Segera diriku teringat pada 3 kitab yang sudah lama kukoleksi dan telah kubaca di masa lalu. Ah, andai saja si pemberi komentar itu membacanya juga! Tentu tanggapan kelewat naif itu tak akan ia tuliskan. Kalau dia memang agen korporasi perusak lingkungan, lainlah ceritanya.
Hingga sekarang, menurutku, ketiga karya yang fotonya kuhadirkan ini masih merupakan catatan terbaik ihwal perlawanan rakyat terhadap perusahaan perusak lingkungan bernama PT Inti Indorayon Utama (sejak boleh beroperasi mulai 15 November 2024 namanya menjadi PT Toba Pulp Lestari. Nama yang sangat karikatural, bukan?). Sebab itu perlu dibaca oleh siapa pun yang ingin mengetahui sejarah kejahatan perusahaan asal Medan yang belakangan hari telah menjadi salah satu konglomerat Indonesia.
Saling melengkapi ketiga buku ini. Si sulung di antara mereka adalah ‘Limbah Pers di Danau Toba—Media Pers Menghadapi Gurita Indorayon Anno 2000’. Merupakan hasil telaah Tim KIPPAS yang dipimpin jurnalis kreatif J. Anto, ia terbit tahun 2001.
Sosiolog-aktifis terkemuka George Junus Aditjondro, menulis kata pengantarnya, Judulnya ‘Gurita RGM, Pers dan Kesadaran Palsu’. RGM singkatan Raja Garuda Mas, grup yang merupakan induk Indorayon. Pengusaha asal Medan, Sukanto Tanoto merupakan pemiliknya.
Sedangkan kata penutupnya ditulis oleh Direktur LP3Y, Yogyakarta, Ashadi Siregar. Judulnya ‘Mencari Tempat di Ruang Kebebasan Pers’.
Buku-buku sejarah kejahan pers asal Medan (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Kesimpulan kajian Tim Kippas adalah 3 media terkemuka di Sumatra Utara—'Sinar Indonesia Baru’, ‘Waspada’, dan ‘Analisa’—cenderung menjadi corong Indorayon. Lain halnya pemain baru bernama ‘Radar Medan’.
Tak cuma suguhan media massa yang dibicarakan dalam buku buah kerja sama KIPPAS-LP3Y ini tapi juga sejarah perusakan lingkungan yang dilakukan oleh RGM dan Indorayon serta imbasnya. Cerita ihwal 13 orang warga Bulu Silape, Desa Sianipar II, yang tewas tertimbun setelah Indorayon menggagahi lahan, juga dimunculkan. Kejadian itu pada 25 November 1989.
Kisah perlawanan hebat dari masyarakat yang dirugikan oleh korporasi juga dihadirkan. Termasuk cerita tetang 10 ‘ina-ina’ [kaum ibu] Sugapa, Desa Silaen, Tapanuli Utara, yang dipenjarakan Indorayon karena di tahun 1988 mencabuti eukaliptus di tanah mereka yang secara sepihak sudah dijadikan Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Para perempuan tangguh ini lantas melakukan perlawanan panjang termasuk dengan mendatangi Mendagri Rudini di Jakarta.
Sebuah kronologi aksi kekerasan termaktub di sana. Rentangnya dari 9 April 2025 (tatkala lagon penampung limbah Indorayon pecah saat diuji coba) hingga 21 Juni 2000 (ketika bentrokan terjadi di Desa Parparean III, Porsea terjadi. Saat itu Hermanto Sitorus, siswa STM tewas setelah kepalanya ditembur pelor aparat).
Sebelumnya, pada 23 November 1998, Panuju Manurung juga kehilangan nyawa. Paha kiri lulusan baru Fakultas Elektro Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga ini, terluka terkena peluru aparat. Tatkala hendak menyelamatkan diri ia melihat sejumlah ‘inang-inang’ [ibu-ibu] dihajar otoritas keamanan negara. Ia mencoba melerai. Yang terjadi kemudian ia diseret ke pabrik Indorayon. Di sana ia disiksa hingga kehilangan nyawa.
GERAKAN RAKYAT
Pada 5 Januari 2005 Victor Silaen memertahankan disertasinya di FISIP Universitas Indonesia, Jakarta. Karya ini kemudian diterbitkan tahun 2006 dengan judul ‘Gerakan Sosial Baru—Perlawanan Komunitas Lokal pada Kasus Indorayon di Toba Samosir’. George Junus Aditjondro juga penulis kata pengantarnya.
Victor Silaen menyebut dalam karya setebal 472 halaman ini bahwa J. Anto-lah informan kuncinya. Artinya, selain memberikan informasi yang berlimpah, Direktur KIPPAS itulah yang mempertautkannya dengan para narasumber penting terlebih para aktifis gerakan perlawanan rakyat dan mahasiswa serta orang-orang Ornop (NGO) yang giat mendampingi.
Sesuai judulnya, buku ini berfokus pada perlawanan rakyat sebagai gerakan sosial baru. Organisasi rakyat seperti Kelompok Anti Pencemaran/Pengrusakan Lingkungan (KAPAL; kelak berubah menjadi Relawan Anti Pencemaran Lingkungan alias RAPL) dan Suara Rakyat Bersama (SRB) menjadi hirauan utama.
Seruan tutup TPL terus menggelinding (foto: FB Aman Tano Batak)
Pula KSPPM, Walhi (Sumut dan nasional), Bakumsu, KIPPAS, Parbato, Forum Bona Pasogit, YPDT, dan Forum Parlemen untuk Lingkungan Hidup (dimotori Prof. K. Tunggul Sirait) dan yang lain yang bahu-membahu dengan mereka. Tentu saja lembaga-organisasi keagamaan, terlebih gereja, juga.
Karya ini dilengkapi dengan lampiran tebal berisi transkrip wawancara dengan sejumlah narasumber penting. Di saat sekarang dan di masa mendatang, siapa pun yang hendak memelajari sejarah konflik Indorayon/TPL akan sangat terbantu berkat transkrip ini.
Bagaimana Indorayon menyengsarakan rakyat lewat polusi limbah (gas, cair, dan padat) dan politik adu domba horisontal juga dipaparkan serba benderang.
Di tahun 2006 Dimpos Manalu memertahankan tesisnya di Magister Studi Kebijakan, Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Predikat ‘cum laude’ diraihnya. Tiga tahun berselang karyanya itu membuku dengan judul ‘Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik—Studi Kasus Gerakan Perlawanan Masyarakat Batak vs PT Inti Indorayon Utama di Sumatera Utara’. Dengan obyek telaah yang sama serta titik tekan serupa (gerakan sosial) tentu saja ada kesamanan kandungan tesis ini di sana sini dengan disertasi Victor Silaen.
Begitupun, karya Dimpos Manalu ini tak kurang menariknya dari kitab Victor Silaen yang terbit 3 tahun lebih awal. Latar belakangan kehidupannya yang membuat demikian.
Dimpos lahir di Sampinur, desa terpencil di Tapanuli Utara. Saat kuliah di Jurusan Adminstrasi Negara, FISIP Universitas Sumatera Utara (USU) ia bergiat di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Kelompok Studi Mahasiswa Merdeka, Medan. Rajin menulis di media massa, sejak tahun 2000 ia menjadi bagian dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) yang sudah bermarkas di Parapat (awalnya di Siborong-borong). Pada 2009-2011 ia menjadi direktur eksekutif di sana.
Sebagai orang KSPPM Dimpos acap turun untuk mendampingi masyarakat termasuk para korban Indorayon. Dengan demikian pengalaman lapangannya berlimpah. Pun, jagat teoritisnya luas. Wajar kalau tesisnya yang dibukukan ini kaya dengan ‘insight’ (informasi mendalam).
Pada sisi lain, KSPPM, tempat dia bekerja, merupakan salah satu aktor utama dalam pendampingan rakyat yang berkonfrontasi dengan Indorayon yang kemudian menjadi Toba Pulp Lestari. Hadir di tahun 1985 sebagai hasil transformasi dari Kelompok Studi Penyadaran Hak Asasi Manusia (KSPH) yang dibidani antara lain oleh Asmara Nababan, Nelson Siregar, Bungaran Antonius Simanjuntak, dan Muhtar Pakpahan pada 23 Februari 1983, ornop ini berperan sentral di Sumatra Utara sejak semula.
Terbilang pelopor, mereka mengilhami kelahiran sejumlah NGO yang kita kenal sekarang di provinsi ini (ihwal kepeloporan KSPPM, suatu waktu akan kutuliskan kisahnya).
Adapun Victor Silaen, ia lahir dan besar di Jakarta. Batak diaspora, sebutannya. Dari S-1 hingga S-3 kuliahnya di UI. Saat kuliah ia menyambi sebagai wartawan. Kemungkinan, kasus Indorayon baru benar-benar menarik perhatiannya setelah ia mengikuti program pascasarjana.
Mahasiswa GMNI demo tolak TPL (foto: FB Aman Tano Batak)
Begitupun, disrtasinya yang dikitabkan ini tetap kuat sebagai karya. Sebab digarap dengan mengawinkan penghampiran akademis yang ketat dengan standar jurnalisme yang baku.
‘Akhirulkalam’, untunglah ada J. Anto dengan Tim KIPPAS-nya, Victor Silaen, dan Dimpos Manalu. Berkat mereka kita bisa memiliki informasi berharga tentang perlawanan maha panjang terhadap Toba Pulp Lestari (‘also known as’ [a.ka.] Indorayon). Terimakasih banyak untuk mereka bertiga. Victor Silaen, kelahiran 1 Oktober 1964, berpulang pada 11 Oktober 2015. Pernah menjadi dosen tetap di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, pengamat sosial-politik ini kemudian berpaling ke Universitas Pelita Harapan.
Dimpos Manalu telah mendoktor di UGM. Ia kini menjadi pengajar di Universitas HKBP Nommensen, Medan. Sebagai pengamat sosial-politik, namanya terus berkibar. Wajar tentu, jika mengingat pengalaman hidup dan pengetahuannya yang kaya.
Adapun J. Anto, ia kembali bertekun sebagai jurnalis setelah lembaga yang dipimpinnya, KIPPAS, tutup di masa pasca Orde Baru. Sebagai pewarta, ia giat dan kreatif sehingga acap memenangi lomba jurnalistik.
Ah, andai saja ‘boru’ Batak yang berkomentar “setelah 30 tahun lebih beroperasi mengapa baru sekarang TPL dipermasalahkan” tersebut mengenal mereka bertiga dan mengetahui karyanya tentang Indorayon yang sangat menyengsarakan rakyat banyak….(Bersambung)