Tulisan-3
Pengantar dari Redaksi
Hari ini tepat 114 tahun Raja Si Singamangaraja XII (Patuan Bosar atau Ompu Pulo Batu Sinambela) kehilangan nyawa setelah diberondong anak buah Kapten Christoffel di hutan raya Sindias, Dairi. Dalam penyerbuan pada 17 Juni 1907 itu tewas juga 3 anak maharaja tersebut—Patuan Nagari, Patuan Anggi, dan Boru Lopian—serta sejumlah pengawalnya termasuk yang berasal dari Aceh.
Si Singamangaraja XII tak kurang dari 30 tahun memerangi Belanda si penjajah dengan strategi gerilya. Ia tak mengenal kata menyerah dan sangat pemberani. Tulisan-3 ini sengaja kami turunkan untuk memperingati kewafatannya yang hari ini persis 114 tahun.
JAKARTA, Kalderakita.com: Setelah berhasil mendapatkan sejumlah pusaka bertuah—termasuk senjata sakti mandraguna—dari pamannya, Si Raja Uti yang bermukim di Barus, Raja Manghuntal pun membangun kerajaan yang berbasis di Bakara, tepi Danau Toba. Ternyata rintisannya di paruh pertama abad ke-16 itu bertahan hingga tahun 1907. Dialah Si Singamangaraja pertama. Pewaris takhtanya sampai 11 generasi dan semua mereka pinomparna [keturunannya].
Seperti telah dikisahkan, Raja Manghuntal, bukan manusia biasa melainkan titisan dari Batara Guru yang lahir dari rahim boru Pasaribu. Bersama Soripada dan Mangala Bulan, Batara Guru merupakan Dewa Trimurti yang diciptakan langsung oleh Mulajadi Nabolon [Sang Khalik]. Saat persalinan boru Pasaribu, langit bergemuruh begitu hebat. Petir dan gempa ikut meraja. Orok lahir dengan gigi yang sudah lengkap. Lidahnya berbulu. Dikandungan memang ia sampai 30 bulan.
Nyatakah kedirian Raja Manghuntal dan para penerusnya ataukah itu cuma fantasi orang-Batak lama sehingga sefiksi dewa-dewi dalam mitologi Yunani: Zeus, Hera, Poseidon, Hermes, Athena, Apollo, dan yang lain? Kisah kelahiran mereka, konon, juga seajaib tokoh-tokoh mitologi tersebut.
Seperti halnya Raja Manghuntal, 11 orang keturunannya yang menjadi Si Singamangaraja dipersepsikan orang Batak zaman ‘baheula’ sebagai dewaraja. Artinya mereka raja titisan dewa sehingga sungguh nahasaktian [sakti betul]. Mereka sekaligus menjadi penguasa agung dan pendeta agung. Kata lainnya, rajadiraja dan pendetanya para pendeta. Mereka tidak akan meninggal namun di akhir kekuasaannya menghilang begitu saja ke surga. Sungguh luar biasa, bukan?
Sesungguhnya konsep dewaraja tidak hanya dikenal di Tanah Batak. Ia merupakan warisan pemikiran dari masa keemasan Hindu-Budha di kawasan Asia Tenggara. Untuk melegitimasikan kekuasaannya serta mentakjubkan dan meloyalkan rakyatnya para raja di Nusantara, Kamboja, dan negeri lain di kawasan menyatakan dirinya titisan dewa tertentu. Siwa, Wisnu, atau Brahma, misalnya. Atau inkarnasi dari Sidharta Gautama.
Lambang Si Singamangaraja (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Di candi-candi yang mereka bangun, hal tersebut mereka garisbawahi lewat relief. Pujangga-pujangga istana menggaungkannya lewat puspa naskah. Raja dari Tarumanegara (kerajaan tertua di Nusantara), Syailendra (berpusat di Magelang), Sanjaya (berbasis di Yogyakarta), Kahuripan (berada di Jawa Timur, didirikan oleh Airlangga), Singasari, dan Majapahit termasuk yang melakukan pengkultusan diri yang demikian.
Begitulah: sampai sekarang, misalnya, kisah perkawinan para raja Jawa dengan Ratu Laut Kidul (Nyai Roro Kidul) masih dipercayai kalangan tertentu di negeri kita, terlebih di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, sebagai sebuah realitas. Cerita ini sebenarnya warisan dari zaman Majapahit Islam, kerajaan yang kemudian melahirkan Kraton Kasunanan Solo dan Kraton Kesultanan Yogyakarta.
Syahdan, Panembahan Senopati merasa berutang budi kepada Nyai Roro Kidul. Sebabnya? Setelah berhasil mengalahkan Arya Penangsang—Bupati Jipang yang berhasil membunuh raja terakhir Kesultanan Demak, Sunan Prawoto—ia ingin mendapatkan Alas Mentalok, hutan di tenggara Yogyakarta yang dihuni para mahluk halus. Ia lantas meminta tolong ke Nyai Roro Kidul. Permintaan pendiri kerajaan Mataram Islam ini diluluskan. Sang ratu yang berkuasa atas laut selatan Pulau Jawayang berombak ganas dengan mudah mampu menghalau para penunggu yang tak berwujud tersebut.
Sebagai tanda terimakasih, Panembahan Senopati memberi sesaji saban tahun kepada Nyai. Bukan itu saja. Ia juga melamar perempuan yang beristana di jantung samudra itu sebagai pasangan spritualnya sekaligus pelindung spritual kerajaannya. Lamaran diterima.
Ternyata, sepeninggal Panembahan Senopati semua raja yang merupakan keturunannya meneruskan perkawinan spritual dengan Nyai Roro Kidul. Para raja dari Keraton Surakarta—dari Paku Buwono I hingga IX—termasuk yang memperistrikan Kanjeng Ratu Kidul. Absurdkah? Ya, kalau menggunakan akal sehat alias logika. Seorang rasionalis seperti Pramoedya Ananta Toer (Pram), misalnya, akan memiliki tafsir sendiri ihwal hal ini. Sastrawan terbaik Indonesia itu menyatakan Nyai Rorol Kidul cuma karakter rekaan pujangga keraton Majapahit Islam. Tujuannya melegitimasi dan mengukuhkan kekuasaan para raja semata (lihat kitab Pram Melawan—terbit tahun 2004).
Seminar memeringati wafatnya Si Singamangaraja XII (foto: Istimewa)
Orang lain, seperti halnya Pram, boleh bertafsir apa saja. Masalahnya adalah perkawinan para raja dengan Nyai Roro Kidul ini disebut bertataran spritual. Dengan begitu tentu saja tak bisa diverifikasi atau—meminjam konsep filsuf Karl Raimund Popper—difalsifikasi kendati tidak logis dan tanpa bukti emperik. Prinsip seing is believing tak berlaku. Ini soal kepercayaan sehingga tak cukup kalau hanya dinalarkan.
Yang pasti, Panembahan Senopati dan pewaris takhtanya nyata adanya kendati mereka dipersepsikan para kawula sebagai dewaraja. Ke-dewa-annya bisa kita ragukan tapi ke-raja-annya tidak. Demikian juga mereka yang pernah memerintah di Singasari, Kahuripan, Sanjaya, Syalendra, Tarumanegara, dan yang lain. Dinasti Si Singamangaraja yang lama berkuasa di Tano Batak juga begitu.
Seperti halnya Pulau Jawa dan sejumlah tempat lain di Nusantara, Tano-Bataklama jelas dipengaruhi oleh Hindu juga, selain Budha. Konsep Dewata Trimurti yang berunsurkan Batara Guru, Soripada, dan Mangala Bulan merupakan salah satu buktinya dari ranah religi. Batara Guru memiliki kuasa mencipta, Soripada menyelenggara, dan Mangala Bulan menetapkan. Bandingkanlah dengan Brahma (pencipta), Wisnu (pemelihara), dan Siwa (pelebur) dalam khazanah Hindu.Sangat mirip, bukan?
TAROMBO
Terlepas dari pelbagai mitos yang menyaputinya, dinasti Si Singamangaraja itu nyata adanya. Buktinya? Artefak budayanya masih bisa kita lihat sampai sekarang. Jejak keratonnya, misalnya, masih ada di Lumban Raja, Bakara, Kabupaten Humban Hasundutan, meski bangunannya replika saja. Lokasinya di kaki bukit terjal.
Keris sakti kerajaan, piso Gaja Dompak, hingga sekarang masih menjadi koleksi Museum Nasional Indonesia (Museum Gajah), di Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta. Kapten Christoffel memungutnya setelah anak buahnya menembak mati Patuan Nagari, Patuan Anggi, Boru Lopian, ayah mereka: Patuan Bosar alias Ompu Pulo Batu (Si Singa Mangaraja XII), serta yang lain di hutan raya Sindias, Dairi, pada 17 Juni 1907.
Gerbang istana Raja Si Singamangaraja (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Si Singa Mangaraja XII (berusia sekitar 17 tahun dia saat ditabalkan pada tahun 1875) dan anak-anaknya dimakamkan Belanda di tangsi militer Tarutung. Pada 14 Juni 1953 saring-saring [kerangka] sang raja dan kedua putranya--Patuan Nagari dan Patuan Anggi dipindahkan ke kompleks khusus yang dibangun di Soposurung, Balige. Jadi, sampai hari ini di sanalah mereka bermakam, bukan di tanah asal Bakara.
Tak hanya artefak budaya. Silsilah dinasti ini juga serba jelas. Kitab-kitab kuno [buku laklak] yang dihasilkan para datu-guru memuatsecara samar garis keturunan orang Batak dan itu kemudian disempurnakan oleh para ahli yang dikerahkan otoritas pemerintah Hindia-Belanda dan badan penginjilan asal Jerman, Rheinische Missionsgesellschaft (RMG). Johannes Gustav Warneck (doktor theologia, dia pernah menjadi Eforus HKBP periode 1920-1931), M Joustra (pernah menjadi pendeta di Tanah Karo pada 1895-1905),Kontelir ALE van Dijk, Asisten Residen/ Residen WKH Ypes, Jacob Cornelis Vergouwen, Kontelir/Residen Poortmen, Kontelir James, dan Demang WM Hutagalung antara lain pakar itu (lihat Batara Sangti, Sejarah Batak—terbitan tahun 1977).
Perlu diingat bahwa kalau bukan satu-satunya, Batak Toba merupakan satu dari segelintir etnik di Indonesia yang memiliki catatan genealogis (asal-usul keturunan) yang benderang. Setidaknya setiap orang Batak Toba bisa menelusuri leluhurnya sejak dari Si Raja Batak (manusia Batak pertama) berkat buku tarombo.
Lantas, siapakah Si Singamangaraja II hingga XI? Kalau yang pertama ya, Raja Manghuntal Sinambela dan yang terakhir Patuan Bosar atau Ompu Pulo Batu Sinambela. (Bersambung)