JAKARTA, Kalderakita.com: Baru-baru ini netizen ramai membicarakan curahan hati seorang perempuan penenun Batak atau partonun. Namanya, Uli Artha Panggabean. Dia sedih karena pohon endemik yang banyak tumbuh di hutan-hutan kitaran Danau Toba kini mulai punah.
Padahal, menurutnya kayu pohon ini kerap digunakan untuk membuat alat tenun. Bahan baku pewarnaan alami untuk ulos [kain Batak] pun banyak bergantung pada hutan endemik.
Pohon-pohon yang ada di hutan Toba sebagian besar malah telah hilang karena aktivitas perusahaan hutan industri, sebut saja PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Perusahaan ini telah membabat habis hutan yang kemudian menggantinya dengan tanaman eucalyptus.
Partonun mandar sutra Silindung ini pun menggambarkan kerisauannya:
Kenapa aku terkesan sinting banget teriak-teriak #tutupTPL di postinganku?
Itu karena sebagian besar alat tenunku berasal dari pohon endemik yang tidak dibukukan dan didokumentasikan oleh Belanda maupun oleh departemen kehutanan negeri ini juga departemen kebudayaan negeri ini.
Jadi kemanapun kalian mencari, kurasa tidak akan kalian temukan nama-nama pohon yang kusebutkan itu. Akupun tidak hafal kali nama-nama pohon di hutan itu tapi kami saling mengenal dan memahami juga tahu peruntukannya. Ilmu memahami pohon-pohon yang tidak diajarkan disekolah modern manapun didunia ini.
Bulu inganan ni jarum (tempat jarum) milik sang penenun yang diwarisi ompungnya (foto: Istimewa).
Sejak balita dan sebelum ayahku stroke tahun 1995, aku selalu dibawa ayahku ke hutan. Dilarang ikut ke hutan pun, aku akan menguntit dengan banyak cara.
Bagaimanapun, aku tahu, ayahku tak mungkin marah kepadaku jika kami bertemu di hutan dan tahu kalau aku mengikutinya. Berkata kotor, berkata kasar itu dilarang keras dihutan.
Hutan adalah tempat para roh, roh jahat lebih banyak dihutan, kata kotor dan kata kasar bisa mengakibatkan kecelakaan seketika. Itulah yang kami percaya dan dirusak oleh TPL.
Ayahku meski pendeta dan anaknya pendeta tak pernah berkata bahwa ilmu kehutanan ala Batak itu sesat. Ayahku jika menemukan pohon baru, akan mengelus pohon itu dan mencari daunnya, dia kemudian bergumam, "oh, haumbang do hape. Oh, modang do on..." Dan banyak lagi nama pohon. Akupun melakukan hal yang sama. Menyentuh pohon itu, menepuknya lalu mendongak meneliti daun dan pucuknya.
Ayahku bisa menbedakan mana pohon untuk perkayuan (perabot dan rumah), mana untuk alat-alat tenun, mana yang untuk uning-uningan (alat musik).
Dan semua pohon itu tidak tumbuh berkelompok seperti tanaman eukaliptus milik TPL itu atau seperti akasia di Pekanbaru pun seperti pinus di Siatas Barita.
Hutan/tombak itu harus beragam pohon yang tumbuh, ada pohon kecil, ada pohon besar, ada pohon berbuah, ada pohon yang berulam, ada semak-semak, ada beragam tumbuhan pakis. Daun-daun mereka saling menutrisi.
alat tenun tradisional (foto: FB)
Sehingga tanah tetap subur dan tumbuhan jenis lain bisa terus tumbuh karena tiap pohon sepertinya membutuhkan nutrisi yang berbeda. Dan setiap daun pohon yang gugur menghasilkan nutrisi yang berbeda pula, sepertinya. Silahkan bantah pendapatku ini jika kalian sudah menelitinya ya.
Beda kalau pohonnya hanya pinus. Seperti di salib kasih, apakah kalian lihat ada beberapa jenis pohon yang bisa tumbuh disana? Dominan pinus, hanya ada sebatang kemenyan dan sebatang sitorngom kulihat disana.
Daun pinus itu, licin dan seperti jarum, jika menutupi tanah lebih mirip mulsa daripada daun. Mulsa sendiri dipakai untuk mencegah tumbuhnya tanaman lain disekitar tanaman yang dibudidayakan. Pun akasia, pun eukaliptus, adakah kalian lihat pohon atau tanaman lain bisa hidup berdampingan?
Jika kalian dari Tarutung ke Balige atau sebaliknya, perhatikan saja eukaliptus yang ditanam di sebelah kiri kanan menuju Si Pintu-Pintu.
Sementara alat-alat tenunku tidak boleh dari pohon bergetah dan berbuah. Sebagian besar kayu keras pula. Maka ketika hutan ini lenyap maka lenyap jugalah tradisi menenun itu selamanya... Dan besok2 kita akan mangulosi dengan ulos entah apa. Dan, atau, ya, gapapa juga sih tradisi Batak ini punah. Kan sudah ngga aptudet juga adat-adat itu. Yekan?
Tapi, selagi nyawa dikandung badan, aku akan mempertahankan produsen alat tenunku. Toh, paling banter aku juga hidup 30 tahun lagi, itupun kalau aku sehat-sehat aja. Kalau tiba2 didiagnosa mengidap kanker? Ya paling bisa hidup 14 tahun lagi.
Karena itu, saudaraku Batak sedunia, mau kau merasa Batak, Karo, Mandailing, Simalungun, kita sebenarnya sisada lungun, sisada tano, sisada tombak, kita punya adat yang dominan mirip. Kalau kita masih abai tentang tema yang kubicarakan ini, kita sebenarnya telah lama pensiun dari marga yang kita sandang kemana-mana.
Ini bukan bulu turak atau bulu suling (seruling). Ini bulu yang berbeda dari semua bulu yang pernah kulihat. Tidak ada penjelasan bulu ini jenis bulu apa. Tapi kemungkinan berasal dari Balige-Toba karena ompungku dinas kependetaan di Tampahan Balige hingga tahun 30 an.
#TutupTPL
#palaoTPL