Jakarta, kalderakita.com: Tanah Deli. Itulah yang dibayangkan orang biasanya sebaik mendengar perusahaan perkebunan di Sumatra Utara di zaman Hindia Belanda (‘onderneming’) disebut. Ya, memang di sanalah Jacob Nienhuys dan Peter Wilhelm Janssen memulai perkebunan tembakau pada 1869 dan sejak itu pula ‘onderneming’ berbiak di Sumatra Utara. Hingga hari ini jejak rintisan tersebut masih sangat nyata.
Sesungguhnya, di Sumatra Utara pada masa kolonial bukan hanya di Tanah Deli perusahaan perkebunan berkiprah. Tapi juga di beberapa daerah sekaligus, termasuk di Simalungun yang beribukotakan Pematang Siantar. Sampai sekarang pun, kantong-kantong perkebunan warisan era kolonial di kitaran Siantar— Bah Birong Ulu, Bah Butong, Bah Jambi, Balimbingan, Bukit Lima, Dolok Sinumbah, Dolok Ilir, Gunung Bayu, Marjandi, Mayang, Padang Matinggi, Tinjowan, Tobasari, Tonduhan, Sidamanik, Kasindir, dan yang lain—masih menjadi sumber pendapatan andalan Pemda Simalungun. Karet, teh, dan kelapa sawit terutama yang terus mengalir dari sana.
Seperti apa gerangan atmosfir kehidupan di perkebunan Tanah Deli pada mada masa Hindia Belanda terutama yang berkaitan dengan kaum ‘koeli’ [baca: kuli], itu sudah lumayan tergambar dalam karya klasik yang dihasilkan wartawan kawakan pendiri koran Waspada, H. Mohammad Said (dalam ‘Suatu Zaman Gelap di Deli—Koeli Kontrak Tempo Doeloe, dengan Derita dan Amarahnya’; terbit 1990). Tapi, penekanannya pada aspek eksploitasi kelas pekerja serta imbasnya yang berupa kemiskinan dan tindak kriminilitas. Sisi gaya hidup kaum proletar yang dimarjinalkan itu masih sangat sedikit yang diangkat.
Sedangkan karya Karl J. Pelzer (dalam ‘Toean Keboen dan Petani–Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria’; terbit pada 1985) lebih berfokus pada persekongkolan perusahaan perkebunan dengan penguasa setempat (sultan) yang merugikan rakyat banyak.
Belakangan hari muncul telaah sejumlah penulis angkatan muda tentang ‘onderneming’ di Sumatra Utara. Begitupun dimensi gaya hidup ‘orang kebun’ belum banyak disoroti. Fokusnya pun masih Tanah Deli. Kawasan lain tetap saja di bawah bayang-bayang sentra yang di masa kejayaannya sampai menyedot orang dari mana-mana. Ulama-penulis Haji Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo (HAMKA) termasuk yang mencari penghidupan di sana. Ia kemudian menulis roman ‘Merantau ke Deli’.
Adapun gambaran kehidupan di dunia perkebunan Simalungun pada era kolonial bisa dibilang jauh dari benderang sampai hari ini. Para penelaah masih kurang memerhatikannya. Dalam konteks kelangkaan literatur seperti inilah novel yang dihasilkan Abram Christopher Sinaga ini menjadi sangat penting. Dia mengangkat ke permukaan sebuah penggalan sejarah yang sesungguhnya sangat bernilai tapi diabaikan orang banyak hampir seabad.
Seketika ‘onderneming’ Simalungun menjadi masuk dalam hitungan berkat karya ini. Lapangan Simarito, Pajak Horas, Sembat (kolam renang), Siantar Hotel, Sinaksak, Bah Tongguran, Balimbingan, Pematang Raya, dan yang lain sontak menjadi dekat. Penulis memandu pembacanya berkelana ke sebuah alam yang eksotik. Serasa bauran antara kenyataan dan khayalan kehidupan di sana. Kegaiban dan misteri masih rajin menjamah.
Setting novel ini adalah zaman ‘malaise’ (diplesetkan orang kita menjadi zaman meleset) yakni ketika perekonomian global didera krisis parah yang berlangsung sekitar 10 tahun. Awal dari dari Depresi Besar ini adalah keruntuhan bursa saham New York pada 24 Oktober 1929. Dampaknya ternyata menjalar ke mana-mana. Perekonomian sejagat pun nyaris lumpuh. Ya, seperti yang terjadi di Asia Tenggara sejak penghujung tahun 1997 hingga hampir sepanjang 1998. Untunglah sejak 1939 perekonomian dunia mulai membaik. Perang Dunia II membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang terutama di industri yang berkaitan dengan persenjataan dan alat-alat untuk pertempuran lainnya.
Para investor di Eropa menginginkan kebun mereka di Sumatra Utara, termasuk Simalungun, tetap mencetak laba besar di zaman meleset pun. Para tuan kebun lantas menekan kaum kuli agar lebih produktif. Mandor dan centeng mereka manfaatkan untuk itu. Para pekerja kasar yang umumnya didatangkan dari Pulau Jawa kian frustasi karena ditindas lebih parah. Mereka yang gelap mata—ternyata saban tahun ada beberapa—lantas berlelaku brutal. Asisten kebun atau keluarganya ada yang mereka bantai.
Tentu pembesar kebun itu tak tinggal diam. Pembalasan mereka lakukan dengan pelbagai cara. Lewat ‘landraad’ [pengadilan] antara lain. Seperti yang mereka lakukan terhadap Salim, kuli asal Banten yang telah meghabisi dengan belati istri asisten kebun Landzaat.
Wartawan-sastrawan H. Mohammad Said menyitir kasus Salim di buku yang ditulisnya. Tentang kasus Parnabolon (tempat ini dikenal juga sebagai Bandar Betsy) yang menggemparkan dan mengguncang batin para tuan-nyonya kebun di seluruh Nusantara di masa itu antara lain ia katakan: “Nyonya Landzaat terbuhuh tanggal 6 Juli, Landraat bersidang tanggal 17 Juli berakhir sekaligus hukuman dijatuhkan tanggal 22 Juli. Bapak Tere memancung tanggal 23 Oktober 1929, ya, memang cukup cepat!”
BRENGSEK
Nyata bahwa Abram Christopher Sinaga menggunakan kritik postkolonial dalam menggarap novel perdananya ini. Lihatlah: kemanisan budi kaum ‘planters’ [sebutan lain untuk para ‘tuan kebun’] hampir tak tampak dalam sepanjang kisah. Sebaliknya, kebrengsekan mereka yang mengemuka di sana-sini. Kalaupun ada dari mereka yang sudi membantu, itu kemungkinan ada udang di balik batu. Bergundik mereka suka. Maka lahirlah para Indo yang sepanjang hidupnya terobsesi untuk dipersamakan dengan yang totok.
Pada sisi lain, kaum ‘boemi poetra’ yang menjadi korban penghisapan sistem kapitalisme yang dihadirkan onderneming pun tak kurang pahit perangai dan sepak terjangnya dalam gambaran dia. Para kuli lelaki yang gemar berjudi, suka mabuk-mabukan, dan doyan main perempuan. Sedangkan yang perempuan biasa melacurkan diri untuk sekadar menyambung hidup.
Potret buramlah yang dihadirkan sang penulis yang merupakan lulusan jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota , Institut Teknologi Bandung (ITB; ia tamat tahun 2012). Pelukisan serba natural. Tak ada yang diindah-indahkan atau yang dilembut-lembutkan. Diksinya (pilihan kata) terasa bukan dimaksudkan untuk menggapai efek puitik melainkan untuk kegamblangan penggambaran. Dengan demikian tentu ada deskripsi yang sangat telanjang di sana-sini yang mungkin akan menghadirkan efek ngeri di alam pikiran pembaca. Ada pula bahasa yang sarkas yang barangkali menurut pembaca tertentu perlu dihaluskan. Aku sendiri menyukai keterusterangan ini.
Setuntas mencerna karya ini, menurut dugaanku, sidang pembaca akan berubah persepsi tentang dunia perkebunan Nusantara di zaman kolonial. Segala keglamouran dan kegegap-gempitaannya yang dikagumi selama ini bakal dimaknai sebagai semacam pupur penghias belaka. Jangan-jangan persepsi tentang era pasca-kolonial juga akan demikian.
NOVEL, BUKAN CERPEN
Karya sastra sarat sejarah. Itulah yang dihasilkan penulis kelahiran Siantar (tahun 1989) dan berayahkan dokter Baren Sinaga (sudah almarhum). Seperti yang pernah diungkapkannya ke aku beberapa tahun silam dalam sebuah percakapan di sebuah kedai di bilangan Cikini sehabis acara diskusi tentang karya-karya Pramoedya Ananta Toer (Pram), sejak lama ia memang gandrung sejarah. Kala itu malah niatnya sudah bulat untuk pulang kampung secara permanen. Tujuannya? Menghimpun bahan yang terkait dengan sejarah ke-Simalungun-an, terlebih yang berdimensi budaya.
Dalam mengerjakan karya ini jelas ia terlebih dahulu melakukan riset sejarah yang intens. Ya, sama seperti penulis idolanya, Pram, tatkala mengerjakan proyek tetralogi Pulau Buru—'Bumi Manusia’, ‘Anak Segala Bangsa’, ‘Jejak Langkah’, dan ‘Rumah Kaca’—umpamanya.
Pram berfokus pada karakter terpentingnya, Minke, dalam sepanjang 4 kitab tetralogi. Interaksi Minke dengan lingkungan terdekatnya—Annelis Mallema, Nyai Ontosoroh (ibu Annelis), Darsam (sang centeng), dan yang lain menjadi pelengkapnya. Adapun hasil riset sejarah—yang dilakukan Pram terutama saat dia masih menjadi dosen sastra di Universitas Res Publica, Jakarta (setelah diambil alih rezim Orde Baru kampus ini berubah nama menjadi Universitas Trisakti)—menjadi latar kisah saja.
Saat menggarap cerita fiksi, Pram selalu mengutamakan realitas sastra. Perkisahan yang hidup, bertenaga, dan bergaya menjadi tujuannya. Adapun realitas lainnya—politik, ekonomi, sosial, budaya, dan yang lain—cuma pendukung. Dengan begitu karya yang lahir selalu berupa kisah kehidupan sang tokoh utama. Persisnya, ihwal jatuh-bangun sang karakter terpenting itu dalam meraih sebuah tujuan yang maha berarti bagi dirinya.
Di sinilah antara lain letak perbedaan mendasar Abram Christopher Sinaga (Abram) dengan Pramoedya Ananta Toer (Pram).
Abram terkesan terlalu mementingkan data sejarah. Akibatnya ia sampai mengorbankan karakter utama. Bahkan bukan cuma itu. Dia terlalu asyik menghadirkan perca-perca sejarah tapi kemudian lupa menjahitnya agar menjadi sehelai kain utuh. Akibatnya tak kunjung jelas siapa sesungguhnya tokoh utama dalam perkisahan ini. Apalagi ia memainkan sudut pandang orang pertama dan ketiga sekaligus. Tentu saja sudut pandang majemuk tak jadi masalah asal saja benderang sejak awal siapa karakter terpentingnya.
Jika tak cermat pembaca akan bisa berkesimpulan bahwa karya ini merupakan kumpulan cerpen yang berlatar perkebunan Simalungun. Unsurnya adalah kisah pendek ihwal sejumlah tokoh termasuk A Moeng (pemuda yang baru datang dari Hoakiau dan kemudian mengotaki pembakaran 7 anggota keluarga nyai bernama Jarwani), Salim (si pembantai istri asisten kebun Landzaat), Bapa Tere (algojo yang tiada duanya dari Tanah Betawi; selama belasan tahun ia telah menggantung lebih dari 100 orang), Jan Magouw (yang putus sekolah di MULO dan kemudian menjadi sopir merangkap spion Melayu untuk dinas intelijen [PID] dan kepolisian), Wiem Wijkerblooth (asisten kebun yang kemudian menjadi pegiat NAZI), dan Friedritch Martin Schmitger, arkeolog ambisius yang piawai soal situs-situs purbakala Sumatra. Orang Yahudi yang selama beberapa saat berhasil menyaru sebagai bagian dari bangsa Arya ini kemudian menjadi pilot peswat tempur NAZI. Namun ia akhirnya menjadi penghuni kamp konsentrasi di Mauthausen, Austria.
Setelah membaca ulang, aku berkesimpulan bahwa karya ini memang novel, bukan kumpulan cerpen. Keraguan pembaca, termasuk diriku, sebenarnya tak perlu ada jika saja tokoh yang diutamakan sejak semula adalah Jan Na Magouw [dari frasa ‘Na Mago’ yang berarti yang hilang]. Cucu dari seorang ‘datu’ [dukun] Pematang Raya, Simalungun, ini adalah murid ‘Juffrow’ Veldtman sewaktu di HIS Timbang Galung, Siantar. Bernama asli Catharina Patricia Woude Veldtman, ‘Juffrow’ Veldtman anak seorang nyai yang kemudian melarat. Ditekuk-tekuk nasib yang sungguh tak bersahabat terutama sejak ia dipaksa pacarnya, Wiem Wijkerblooth yang berambut merah, menggugurkan kandungan, ia kelak menjadi bagian dari organisasi kriminal bernama Tarantula Hitam.
Jan Magouw juga anak didik Jan Arius Kouwe, kepala asrama HIS Timbang Galung yang kemudian menjadi tokoh Vrijmetselarij (Freemason) Medan. Gandrung pada budaya lokal ternyata ia bagian dari jaringan internasional perdagangan artefak kuno.
KE-SIMALUNGUN-AN
Para banditlah [baca: kaum kriminal] yang dikisahkan Abram Christopher Sinaga. Mereka tak hanya berada di Pematang Siantar tapi di sejumlah titik di Tanah Simalungun. Selain tuan kebun, mandor, dan centeng, mereka adalah germo, penyeludup, polisi yang merangkap pengedar minuman keras dan narkoba, mata-mata, serta kaum ultra-nasionalis radikal.
Sesungguhnya penulis karya ini mampu menggambarkan karakter masing-masing mereka dengan baik. Untuk itu ia memainkan puspa teknik yang lazim dipraktikkan dalam penulisan fiksi termasuk novel yaitu narasi, deskripsi, adegan, dialog, alur, dan yang lain. Ketrampilan itu tampak, misalnya, saat mengisahkan bocah Jan yang hilang begitu saja dari rumah dan ternyata kemudian berada di sarang raja ular tedung yang sisiknya merah menyala. Aura magisnya mengemuka. Begitu juga ketika menceritakan Jan cilik yang nyaris menjadi mangsa ular besar ‘parpagaran’ [penjaga perbatasan] di ‘juma parmahanan’ [tempat penggembalaan].
Masalahnya adalah penulis terlalu mementingkan informasi sejarah sehingga berupaya memasukkan bahan itu sebanyaknya ke dalam cerita. Akibatnya tulisan terkadang seperti laporan jurnalistik. Contohnya, saat kesebelasan Siantar berhadapan dengan jawara lama, Tim Medan. Jalannya pertandingan terlalu panjang digambarkan.
Di bagian lain ada juga yang terkesan seperti sebuah telaah. Catatan kaki di bawah menguatkan impresi tersebut. Tatkala Jan Arius Kouwe menjelaskan isi ‘Kitab Henokh’ dan rujukan lain yang hingga hari ini tetap asing bagi kaum Kristen arus utama, umpamanya.
Bahwa penulis berwawasan luas dan berkesadaran sejarah itu memang terasa sedari awal. Saat mengedepankan ke-Simalungun-an, misalnya. Bagaimana zending Jerman (RMG) mensubordinasikan bahkan mengenyahkan nilai-nilai lama karena dianggap bagian dari paganisme [‘hasipelebeguon’; artinya penyembahan berhala], ia ceritakan dengan menarik meski pendekatan antropologi-sosiologinya masih terlalu kental.
Pun, bagaimana Toba-isasi berlangsung lama karena Zending menggunakan bahasa Batak Toba sebagai pengantar. Apalagi penguasa Hindia Belanda juga mendatangkan orang-orang dari Tapanuli (terutama bagian utara) karena mereka memang ahli menyulap tanah untuk dijadikan lahan persawahan. Kritik postkolonial kembali terasa di bagian ini. Dalam konteks ini, orang Toba pun kolonialis juga. Terobosan Pendeta Djawismar Ulung Saragih Sumbayak dkk. akhirnya yang menjadi pencair kebuntuan yang sangat lama dirasakan orang Simalungun.
Terlepas dari pelbagai kritik tadi, Abram Christopher Sinaga ini perlu kuacungi jempol sebab telah berjerih payah menuliskan karya fiksi yang penting terutama jika dilihat dari sisi kesejarahan Pematang Siantar dan kawasan lain Simalungun. Kuharapkan di masa mendatang bakat kepenulisan yang dimilikinya akan lebih diasahnya lagi sehingga dari tangannya akan berlahiran karya-karya bermutu terutama yang berjenis sastra. Sebagai sosok yang masih sangat belia ia punya banyak waktu untuk terus meninggikan mutu karya.