JAKARTA, Kalderakita.com: Kehadiran PT Toba Pulp Lestari (dahulu bernama PT Inti Indorayon Utama) sudah lama dipersoalkan karena kerap berkonflik dengan masyarakat sekitar kawasan Danau Toba.
Perusahaan bubur kertas milik pengusaha Medan Sukanto Tanoto ini sudah beroperasi di sana sejak 1989. Sempat ditutup pada 1999 oleh Presiden BJ Habibie yang ingin menjadikan kawasan Danau Toba sebagai cagar alam, seni, dan budaya. Namun diizinkan kembali beroperasi di era Presiden Megawati Soekarno Putri.
Sejumlah syarat diajukan pemerintah kala itu jika perusahaan ingin beroperasi kembali.
Perusahaan kemudian mengadakan rapat umum pemegang saham luar biasa, tepatnya pada 15 November 2024 dengan menggaungkan paradigma baru yang antara lain berisi kesediaan mereka menjalin kerjasama bisnis dengan masyarakat, menyisihkan dana sebesar 1 persen dari nilai penjualan per tahun untuk masyarakat, menerapkan teknologi ramah lingkungan, mengutamakan putra daerah untuk bekerja di perusahaan, dan mengelola sumber daya alam berkeseinambungan.
Pada 26 Juni 2001, menteri negara lingkungan hidup menyatakan memberi izin PT Inti Indorayon Utama buka kembali selama setahun.
Selanjutnya pada 16 Oktober 2002, investor, pemerinta, dan tokoh masyarakat meminta perusahaan yang telah berubah nama menjadi PT Toba Pulp Lestari berjanji untuk menghentikan pendekatan kekerasan. Mereka juga diminta untuk bersepakat dengan masyarakat.
Konferensi pers virtual (foto: Istimewa)
PT TPL menyatakan bersedia meminta maaf kepada masyarakat berdasarkan Dalihan Natolu Paopat Sihal-sihal .
“Namun sayangnya paradigma baru itu tidak dilakukan TPL, tidak ada yang berubah dari Indorayon ke TPL, praktik devide et impera tetap dilakukan TPL, bagaimana mereka merusak harmoni di desa. Kalau dulu perlawanan di daerah Indorayon ada di dekatpabrik, sekarang perlawanan menjadi lebih luas, yakni dari wilayah konsesi hutan,” kata Delima Silalahi, Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Parapat dalam pernyataan tertulis yang diterima Kalderakita.com, Kamis (15/7).
Pernyataan Delima disampaikannya saat konferensi pers daring bersama sejumlah aktivis yang tergabung dalam Aliansi TUTUP TPL yang disiarkan lewat Youtube.
Perlawanan masyarakat pun kian solid dan terorganisir. Lewat Aliansi GERAK Tutup TPL, mereka membuat petisi yang hingga kini telah ditandatangani oleh lebih dari 17.000 pendukung.
Menurut Delima pemberian izin konsesi kepada PT TPL untuk menggarap wilayah hutan negara yang ternyata bersinggungan dengan hutan adat, tidak pernah melibatkan masyarakat adat. Izin itu keluar tanpa ada persetujuan warga lokal dan masyarakat adat secara resmi.
GTA54 sambangi kantor Bupati Toba (foto: pelitaonline)
“Negara tidak pernah memberikan informasi yang sebenar-benarnya kepada masyarakat dan negara pun tidak pernah mendapat persetujuan dari masyarakat adat memberikan izin kepada pihak ketiga, yaitu investor,” jelas Delima.
Dampak Buruk
Aktivitas PT TPL juga dinilai lebih banyak mendatangkan mudharat. Salah satunya bagi daerah tangkapan air di sekitar Danau Toba.
Hengky Manalu, aktivis AMAN Tano-Batak menjelaskan terdapat 45.886 hektar daerah tangkapan air, 55 sungai, dan 3.039 anak sungai yang terdampak wilayah konsesi PT TPL.
Selain itu, menurut Hengky ada konflik sosial dan adat di Desa Natumingka, di mana makam leluhur mereka menjadi korban aktivitas TPL. Padahal menurut Hengky, untuk masyarakat adat, hutan tidak hanya dipandang sebagai kebutuhan ekonomi, tetapi sangat erat hubungannya dengan kebutuhan spiritual.
“Di Natumingka, makam leluhur tidak bisa lagi diidentifikasi karena digusur PT TPL menggunakan alat berat untuk menanam eukaliptus. Di Sihaporas masyarakat adat kesulitan mencari tanaman obat dan ikan endemik, seperti iIhan Batak karena PT TPL mencemari dan merusak anak sungai,” jelas Hengky.
Pengelolaan limbah juga menjadi isu serius. Selama ini perusahaan dianggap belum maksimal memperhatikan aspek ini.
Pengakuan Pendeta Faber Manurung dan warda Desa Parbulu yang berlokasi dekat dengan pabrik menguatkan hal itu. Mereka mengatakah telah berupaya memperjuangkan persoalan limbah sejak 1990, namun hingga kini belum ada penyelesaiannya baik dari pihak PT TPL maupun pemerintah setempat.
Aksi Jalan Kaki Balige – Jakarta
Upaya untuk mendapat perhatian pemerintah pusat dilakukan pegiat sosial Togu Simorangkir bersama rekan-rekannya, Tim 11 dengan melakukan aksi berjalan kaki sejauh 1.800 kilometer dari Balige menuju Istana Negara untuk menemui Presiden Joko Widodo.
Ritual adat Batak saat melepas Togu Simorangkir dkk memulai aksi jalan kaki Balige-Jakarta (foto: Tribune medan)
“Banyak hal buruk yang dilakukan perusahaan ini sehingga tidak perlu lagi dipertahankan. Ini sudah hari ke-31 kami berjalan dan misi utama kami adalah ingin bertemu dengan Bapak Presiden dan menyerahkan bukti-bukti yang sudah disiapkan tim Aliansi GERAK Tutup TPL,” JelasTogu pada konferensi pers daring.
Kepada Kalderakita.com beberapa waktu lalu, Togu berujar dirinya menginisiasi aksi jalan kaki karena sudah muak dan geram dengan PT TPL yang dianggapnya sudah banyak menimbulkan masalah di tano Batak.
Ia pun menyebut aksinya ini bukan untunk menggalang dana. “Aksi ini untuk TUTUP TPL (Toba Pulp Lestar),” katanya. “Aku diajarkan Ompungku, Purnama Rea Sinambela, Putri dari Sisingamangaraja XII untuk melawan ketidakadilan dan penindasan.”
Keberpihakan pemerintah
Sementara itu Doni Latuparisa, Direktur Eksekutif WALHI Sumatra Utara yang turut hadir dalam konferensi pers menjelaskan upaya advokasi yang telah mereka lakukan di pemerintah daerah dan pusat.
“Kita kemarin ketemu dengan Gubernur, tetapi Kepala Dinas Kehutanan menyampaikan kalau Ibu Menteri sudah mengeluarkan SK untuk penyelesaian konflik dengan masyarakat adat seluas 10 ribu hektar dari total wilayah konsesi seluas 185 ribu hektar, kenapa harus minta PT TPL ditutup?”
Doni menilai, argumen tersebut menunjukkan keberpihakan pemerintah lebih kepada perusahaan bukan masyarakat adat. Sebab menurutnyas sudah banyak temuan dan kajian yang membuktikan bahwa TPL berdampak buruk kepada masyarakat di berbagai aspek, termasuk finansial, konflik sosial, masalah ekologi dan justru bertolak belakang dengan program Presiden Joko Widodo menjadikan Danau Toba sebagai Kawasan Pariwisata Strategis Nasional (KPSN).
Banjir bandang di kota wisata Parapat pertengahan Mei lalu (foto: Kompas)
“Berdasarkan investigasi koalisi Indonesia Leaks, PT TPL dilaporkan menyebabkan kerugian negara akibat upaya manipulasi pajak dan ekspor buburkertas, namun belum ada tindak lanjut dari pemerintah atas temuan ini. Dari segi konflik sosial, PT TPL sudah berkali-kali berbenturan dengan masyarakat adat dan berujung konflik dan kriminalisasi,” jelasDoni.
“Dari masalah ekologi, baru-baru ini terjadi banjir bandang di daerah Parapat, yang berdasarkan investigasi kami, terdapat perubahan wilayah tutupan hutan di hulu, sehingga ini bisa jadi menjadi penyebab banjir bandang,” tambah Doni.
Doni menambahkan, saat ini kita sedang menghadapi masalah krisis iklim yang makin memburuk. Perusahaan-perusahaan seperti PT TPL ini makin memperparah kerusakan lingkungan yang berimbas pada krisis iklim secara luas.
Saat menutup konferensi pers virtual, DelimaSilalahi kembali menegaskan bahwa tidak ada win-win solution bagi TPL karena ternyata setelah berubah dari Indorayon pun, tidak ada perubahan.
Delima yakin berdasarkan data-data yang dikumpulkan oleh aliansi dari berbagai aspek, semuanya mengarah pada penyelesaian bahwa PT TPL harus ditutup.