Kisah Teror dan Pelarian Seorang Jurnalis`Investigasi Barnyali

Kawan lama (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

JAKARTA, Kalderakita.com: Sangat singkat kesempatan Bambang Soedjiartono (Bambang Soed) untuk rehat seusai bekerja keras mengerjakan liputan investigasi tentang mafia judi Medan. Soalnya, intimidasi langsung terjadi.

Seperti dikisahkannya ke aku esoknya lewat telepon, suara sepeda motor berputar-putar ingar-bingar di depan rumahnya di suatu malam. Istri dan anak-anaknya yang masih kecil  yang ada di kediaman itu. Tentu saja mereka sangat terusik. Namun, begitu penghuni keluar untuk mengetahui keadaaan, para pengendara itu langsung kabur. Begitu berkali-kali hingga gelap telah sangat mendekap.

Ternyata itu baru awal teror. Pelbagai aksi dilakukan para pengintimidasi untuk meruntuhkan mental wartawan majalah D&R tersebut dan keluarganya. Ancaman datang bertubi-tubi lewat telepon dan sms setelah lelaki berwajah sangar tapi berhati lembut yang dulu kuliah di  Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta jurusan Fakutas Hukum tak mau tunduk.

“Mereka meminta awak minta maaf dan mencabut berita. Nggak maulah! Yang kita beritakan itu kan fakta,” dia menjelaskan ke aku pada kesempatan lain.

“Siapa mereka itu”

“Siapa lagi kalau bukan kaki tangan mafia judi yang kita beritakan….”

Merasa sangat terancam, ia lantas mengungsikan anak dan istri ke tempat kerabat. Ia sendiri mulai sporing [istilah orang Medan untuk menghindar dari pengejaran]. Di rumah para kawan dan kerabat terpercaya ia menumpang kalau sudah malam. Begitupun, dirinya tetap sangat rawan. Bagaimana tidak?

Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com

Jejaring mafia judi yang laksana untouchable[tak tersentuh] itu luas, terlebih di Sumatra Utara. Mereka dekat dengan sejumlah pembesar birokrasi,  tentara, dan polisi. Pun dengan pentolan organisasi kepemudaan (OKP, sebutan di sana untuk kelompok-kelompok preman).

“Kawan-kawan wartawan di Medan ini pun banyak yang mereka bayar,” lanjut Bambang Soed.

Organisasi wartawan (saat itu masih monolitik) Sumatra Utara saat itu masih  kisruh. Sejumlah anggota menyoal pimpinan, termasuk ketua dan sekjen, yang menurut mereka selain tak becus juga menjadi beking para bandar judi. Bambang Soed menurunkan beritanya di majalah kami pada edisi 27 Juni 1998 [lihat foto di atas]. Tentu artikel ini telah menggalaukan sejawat yang diwartakannya.

Hubungan dia dengan 2 OKP utama Sumut yang lama menjadi musuh bebuyutan—Pemuda Pancasila  (PP) dan Ikatan Pemuda Karya (IPK) tengah terganggu. Sebabnya adalah berita ihwal perkelahian mereka yang ia tulis dan kami turunkan pada edisi 22 Agustus 1998  [lihat foto].

Dalam liputan ihwal mafia judi ia juga menyinggung tewasnya Erwin Lubis, Wakil Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI)  Medan Kota yang juga aktifis IPK. Erwin tewas diterjang  peluru Serka Tigor Simajuntak, pada  April 1997.

“Pasalnya adalah rebutan tempat (ancak) di Jalan Bakti,  Medan. Erwin yang dianggap melintas batas, bertengkar dengan kakak anggota Shabara Poltabes Medan itu. Serka Tigor yang dilapori abangnya, lalu turun tangan. Erwin ia dor.  Adapun Tigor, sebelumnya  pernah ditangkap petugas provos Poltabes karena membeking pengelola togel. Hukumannya waktu itu, dipindahkan dari Satlantas Poltabes Medan ke unit Shabara,” tulisan bambang Soed dalam laporan itu.

Sedang dimusuhi mafia judi yang sangat berkuasa, sejawat sesama wartawan,  termasuk pimpinannya dan 2 OKP terkemuka: PP dan IPK. Sungguh gawat, bukan? Dimana lagi dia bersembunyi?

“Keuanganku makin berat, Lae.  Anak-istri mengungsi sementara aku masih harus sporing. Bisa nggak kantor kita membantu? Tolong dibicarakanlah…,” ucapnya dengan nada genting tatkala kami bertelepon lagi.

Tentu saja aku harus bertanggung jawab. Selain redakturnya, seperti kesepakatan kami sebelumnya diriku merupakan mitra kerjanya dalam proyek investigasi mafia judi tersebut. 

Saat rapat redaksi kusampaikan permintaan dia.

BUKAN ‘SINAR HARAPAN’

Ternyata apa yang kukhawatirkan akhirnya menjadi kenyataan. Kantor kami tak punya pos anggaran untuk keadaan darurat seperti itu. Memang kami masih berfokus pada peningkatan mutu suguhan, belum memikirkan dengan serius perlindungan wartawan peliput.

Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com

“Pesan Mas sudah kusampaikan. Kantor nggak bisa membantu. Katanya nggak ada mata anggaran untuk itu,” ucapku di suatu siang.

Sejurus dia terdiam. Kupikirkan dengan saksama ucapanku selanjutnya agar dirinya bisa mafhum.

“Oh, cuma segitu rupanya orang Jakarta. Padahal awak sudah menyabung nyawa,” ucap dia. Nadanya lirih.

Aku menjadi semakin merasa bersalah.

“Ya sudahlah. Cuma segitu rupanya. Awak akan cari cara lain.”

Aku merasa sangat berdosa karena tak bisa meringankan beban dia di saat maha sulit seperti itu. Keuanganku sendiri pas-pasan.Sampai sekarang pun rasa tersebut belum kunjung hilang.

Ah, andai saja majalah kami, D&R, sudah sepertiSinar Harapan di zaman kepemimpinan Pak  Hendricus Gerardus Rorimpandey (Pak Rorim); atau setengahnya saja!  Nestapa Bambang Soed niscaya tak akan berkepanjangan.

Koran sore yang bermarkas di Jl. Dewi Sartika, Jakarta, di masa itu berjaya betul berkat laporan seri investigasinya yang memang dahsyat. Dalam hal kesungguhan dan konsistensi mengerjakan liputan penyelidikan sebenarnya mereka masih unggul dari surat kabarnya Pak Mochtar Lubis, Indonesia Raya (media pemberani ini mati abadi akibat bredel pasca Peristiwa 15 Januari 1974, alias Malari) yang legendaris. Sehebat apa mereka?

Sinar Harapan waktu itu memiliki Tim Khusus. Tugasnya hanya menginvestigasi dan kemudian mewartakan kasus. Dikomandani Aristides Katoppo (Bang Tides), organisasinya ramping; anggotanya Panda Nababan (Bang Panda), Daud Sinyal, Jopie Lasut, Gandjar Ilyas, dan Suryohadi. Begitupun, mereka bernas. Cerita tetang penyelundupan, korupsi, dan yang lain yang melibatkan aparat negara rutinmereka hadirkan. Termasuk kisah macam skandal tenggelamnya kapal Tampomas di perairan Pulau Masalembo, Laut Jawa, saat akan menuju Sulawesi pada 27 Januari 1981.

Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com

Koran ini tersandung kemudian akibat pemberitaan tentang APBN 1973/1974. Bocoran yang didapat Panda Nababan dan dimuat pada edisi 30 September 2024 itu dianggap lancang sebab mendahului pidato Presiden Soeharto. Bredel terjadi. Sepuluh hari berselang pelarangan  dicabut namun dengan sejumlah syarat dari penguasa Orde Baru. AristidesKatoppo dipecat sebagai redaktur pelaksana, antara lain.

Manajemen berkompromi. Bang Panda kemudian mengantikan Bang Tides sebagai komandan Tim Khusus. Anggota direkrutnya yakni Atmadji Sumarkidjo, Upa Labuhari, Albert Situmorang, dan Derek Manangka. Ternyata kinerja satuan ini juga optima.

Sejak awal Tim Khusus diperlakukan istimewa oleh Pak Rorim, mantan pejuang Permesta yang kemudian menjadi pengusaha. Mereka hanya mengerjakan proyek investigasi; tak perlu mengurusi yang lain termasuk running news. Anggarannya  tak terbatas dan pertanggungjawabannya  tak perlu dengan memerlihakan kwitansipengeluaran segala. Rumah aman [safe house] disediakan. Manakala keadaan genting setelah berita investigasi turun, mereka akan diungsikan ke sana. Tim hukum siap membela. Perekonomian keluarga dijamin. Mereka yang beprestasi tinggi diberi bonus.

Cerita ini kami dapat dari beberapa mantan anggota tim tersebut (termasuk Bang Panda dan Bang Daud Sinyal) saat mengerjakan buku Jurnalisme Investigatif Panda Nababan, Menembus Fakta (terbit tahun 2009).

Ah, D&R dan Sinar Harapan memang ibarat bumi dan langit dalam hal mengerjakan proyek investigasi. Semangatnya saja yang sama;  lainnya tidak termasuk proteksi ekonomi.

‘PANGLING’

Jelas Bambang Soedjiartono sangat kecewa. Sejak percakapan tentang sikap kantor kami tersebut dia tak bisa kukontak lagi. Handphone-nya tak pernah diangkat. Kemungkinan besar bukan semata karena ia masih terus gonta-ganti nomor agar tak bisa dilacak para suruhan mafia judi. Pada sisi lain, ia tak pernah menghubungiku lagi. Begitu hingga berbulan-bulan.

Kawan-kawan yang kutelepon di Medan bilang tak tahu dimana ia berada; katanya mereka juga sudah putus kontak. Ah, aku merasa serba salah…

Setelah ia menghilang, kami mengandalkan J. Anto (Buntomi) dan Edrin Ardiansyah untuk meliput Sumatra Utara. Kedua wartawan yang lebih belia ini dekat dengan Bambang Soed. Edrin bahkan terbilang cantriknya.

Di satu pagi menjelang siang teleponku genggamku berdering. Kalau tak salah,  sudah menjelang penghujung 1998.

“Horas, Lae. Apa kabar, sehat?”

Suara berat yang bernada sumringah itu akrab di telingaku. Diri ini sangat girang selepas tercengang.

“Mas Bambang! Sampeyan dimana sekarang?”

“Lagi di kantor, ya…merapatlah. Aku di Blok M.”

Ia menerangkan posisinya. Berpesan dia agar aku datang sendiri saja tak memberi tahu siapa pun.

Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com

Jarak dari kantor kami, di Jl. Iskandaryah No. 1/16, Kebayoran Baru (kami pindah dari Jl. Proklamasi No. 72 ke sana pertengahan September 1998) ke Aldiron Plaza paling 100 meter. Melewati pintu masuk terminal Blok M yang bersebelahan dengan Pasar Raya, tak sampai 7 menit aku sudah sampai  di lantai dasar pusat perbelanjaan tersohor itu.

Dari kejauhan, di sebuah kedai yang menyiapkan minuman ringan dan cemilan,  seseorang melambai-lambai.

Rambutnya yang melampaui bahu ditutupi topi yang cap-nya agak diturunkan sehingga menutupi sebagian  wajahnya yang telah semakin menyoklat. Jaket hijau muda seperti yang lazim dikenakan penerbang angkatan udara membalut tubuhnya. Jins dan sepatu kets yang ia kenakan. Aku mengamati dari atas ke bawah. Diakah?

Pangling ya?” ucapnya sembari berdiri menyongsong.

Suaranya tiada duanya. Betul, dia Bambang Soed!

Kami baku peluk sebelum bercakap untuk melepas rindu. Seperti moncong mitraliur, mulutku kemudian menyemburkan tanya. Ke mana saja dia selama menghilang sekian bulan dan apa saja yang sudah terjadi, itu intinya.

Untuk kali pertama kudengar lagi tawanya yang lepas.

“Panjang kali ceritanya, Lae.  Pelarianku sudah macam   yang difilm-film spionase itu. Suatu waktu nanti akan kuceritakan versi lengkapnya.”

Aku sempat tertegun ketika ia berucap kemudian, “Sekarang aku mau pamit…mau pulang ke Medan. Baru saja dapat  jaminan akan aman di sana.”

Kuajak ia ke mampir ke kantor D&R yang jaraknya cuma sepelemparan batu dari Aldiron Plaza. Ternyata ia menampik. “Aku cuma  ‘pengen ketemu Lae saja.”

Kami kembali baku peluk,  saat hendak berpisah. Kutitip salam untuk istri dan anak-anaknya. Dia pun bersalam ke Rin, pacarku. Keduanya memang saling kenal dan kelak akan berhubungan selamanya. 

Dalam perjalan pulang ke kantor benakku diganduli sejumlah pertanyaan. Seperti apa gerangan cerita pelariannya yang serupa adegan film-film spinoase? Siapa yang menjamin bahwa dia akan aman setelah pulang ke Medan nanti dan bagaimana itu bisa dipercaya? Itu antara lain.

Jawabannya kudapatkan saat menginap di rumahnya di Medan, pada suatu kesempatan, kemudian. Seperti apa kisahnya? (bersambung).