Kolonel Dalam Pusaran Pergolakan Militer

Tentara Mengepung Istana (foto: Indonesia zaman doeloe)

(Tulisan-1)

JAKARTA, Kalderakita.com: Ribuan massa bergerak bergerak dari Lapangan Banteng dan Lapangan Gambir menuju Istana Merdeka setelah mendemo dan mengobrak-abrik ruang sidang parlemen.  Kebanyakan  tak beralas kaki, mereka membawa poster  berisi rupa-rupa seruan. “Bubarkan parlemen” itulah isi yang paling jamak. Setelah di depan pagar Istana mereka tidak berhenti melainkan merangsek terus lewat pintu utama.

Pagi itu Oktober 1952. Tak hanya ribuan manusia yang digerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat (dimotori dr. Mustopo) itu yang meramaikan suasana.  Tapi juga dua tank, empat kendaraan bersenjata berikut empat meriam yang dibawa satu batalyon artileri. Ditempatkan di lapangan yang berhadapan dengan Istana, moncong meriam terarah ke kediaman presiden tersebut. Yang mengarahkan adalah Kemal Idris dan anak buahnya.  

Presiden Soekarno keluar dengan tenang menemui para pengunjuk rasa di depan istana. Yang terjadi kemudian dia malah berpidato dan massa yang tadinya tampak liar kini balik tertib. Mereka yang menuntut pembubaran parlemen dan pelaksanaan pemilu selekasnya ini meneriakkan “hidup Bung Karno..hidup Bung Karno”, “berantas korupsi” atau “mana beras” seusai presiden berpidato. 

Inti pidato Presiden adalah  ia tak mau bertindak seperti diktator, pesan mereka (demonstran) akan disampaikan ke kabinet dan pemilu segera dilaksanakan. Setelah bertemu kepala negara pengunjuk rasa bubar jalan dengan damai.  

Penjaga Istana (foto: Arsip)

Tak lama berselang Bung Karno menerima para pembesar militer yang datang menghadap di Istana Merdeka. Bersama Wapres Hatta dan PM Wilopo ia bermuka-muka dengan Kepala Staf angkatan Perang (KSAP) Kol. TB Simatupang, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kol. AH Nasution, Wakil KSAD Letkol Sutoko,  para panglima teritorium yang terdiri dari  Kol. Simbolon, Kol. Kawilarang, Kol Bahrun, Kol. Kosasih, Kol. Suwondho serta anggota rombongan yang lain (Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX tak ikut). Setelah menyampaikan maksud kedatangan mereka pimpinan rombongan,  Kol. Nasution,  mempersilahkan Sutoko menjelaskan duduk masalah yang membuat mereka galau.

Dalam pertemuan ini Nasution, seperti diungkapkan Soekarno (dalam Soekarno, An Autobiography—Cindy Adams, 1965), menyatakan aksi mereka tidak ditujukan  kepada pribadi Soekarno melainkan terhadap sistem pemerintah. “Bapak harus segera membubarkan parlemen,” Nasution menegaskan.  

Soekarno menyebut matanya memerah karena amarah. Dia pun berucap keras ke Nasution: “Engkau benar dalam tuntutanmu, akan tetapi salah dalam caramu. Soekarno tidak sekali-sekali menyerah karena paksaan. Tidak kepada seluruh tentara Belanda dan tidak kepada satu batalyon Tentera Nasional Indonesia!” (Cyndi Adams, 1965  dan Kawilarang, 1988).   

Zulkifli Lubis dan Gatot Subroto (foto: Arsip)

Unjuk rasa di pagi 17 Oktober 1952 dan kedatangan para pembesar militer tak lama berselang adalah satu paket. Yaitu paket perlihatan kedongkolan perwira angkatan darat (AD)  sehubungan dengan intervensi luar, dalam hal ini para politsi, terhadap dunia dalaman mereka. Campur tangan yang sebenarnya sudah terjadi sejak awal kemerdekaan namun belakangan sudah terlalu jauh sehingga mempertajam friksi di AD.  

Pimpinan AD sedang terbelah akibat adanya rencana membenahi kesatuan tersebut. Berdisiplin, maju dan kuat adalah ciri keprofesionalan  yang hendak diwujudkan lewat rencana tadi. Dirancang bersama oleh Angkatan Perang yang dipimpin Simatupang dan Staf Umum Angkatan Darat (SUAD), rencana ini ternyata mengundang pro-kontra. Yang pro termasuk Simatupang, Nasution, Simbolon, dan semua panglima TT (tentara dan teritorium) lain serta para perwira SUAD. Yang menentang adalah kelompok Bambang Supeno-Zulkifili Lubis.   

Kelompok penentang mencurigai rencana pembenahan ini  dimaksud untuk menyingkirkan para perwira didikan Jepang. Sebab tingkat pendidikan, kesehatan dan usialah dasar penyaringan yang akan menentukan boleh tidaknya seseorang di dinas militer nanti. Jika kriteria ini yang dipakai niscaya sebagian besar perwira didikan Jepang (Heiho, Peta, Giyugun)  akan kandas. Yang akan banyak bertahan adalah perwira didikan Belanda macam  Simatupang, Nasution, dan Kawilarang.

Kecurigaan kubu penentang bertambah karena Lembaga Pendidikan AD Chandradimuka, Bandung—yang tadinya dipimpin Kol. Bambang Supeno dan pengasuhnya kebanyakan eks Peta—diitutup. Misi Militer Belanda, menurut rencana,  akan dimanfaatkan untuk menangani penggantinya. Padahal semangat anti Belanda masih kuat waktu itu. Soekarno sendiri kaget dan menentang penutupan sekolah tempat dia mengajar tersebut (Payung Bangun dalam Kolonel Maludin Simbolon—PSH 1996).

AH Nasution memimpin upacara (foto: Arsip)

Kejadian 17 Oktober 1952 membuat perpecahan di tubuh angkatan darat kian serius dan kemelut pun berlarut. Kubu yang menentang gerakan bertindak. Sejumlah perwira mengambil alih posisi komando dari panglima atasannya yang dianggap pendukung gerakan 17 Oktober. Di Makassar Letkol Warow mengkudeta Gatot Subroto. Di Brawijaya Sudirman menggusur Suwondo. Sedangkan di Sriwijaya Kretarto meminggirkan  R.A. Kosasih.

Pembersihan kelompok pro 17 Oktober berlangsung.  Pada 15 Desember 1952 PM Wilopo menskors Nasution, Soetoko dan S. Parman. Besoknya, Kol. Bambang Sugeng, sahabat Bambang Supeno diangkat sebagai pejabat KSAD.  Nasution memang tokoh sentral dalam gerakan yang ia sebut ‘setengah kudeta’ ini. Kemal Idris yang mengarahkan meriam ke Istana misalnya menyatakan Nasution-lah yang memanggil dirinya untuk membicarakan ihwal parlemen yang merongrong AD. Nasution pula yang mengatakan agar meriam ditaruh di depan Istana (Kemal Idris, 1996).

TB Simatupang (foto: Arsip)

Ali Sastroamijoyo yang menggantikan Wilopo sebagai PM, mempercayai Iwa Kusumasumantri sebagai menteri pertahanan. Iwa yang ideologi politiknya cenderung ke kiri segera meredam kekuatan kelompok pro 17 Oktober. Tanpa berkonsultasi lebih dahulu dengan KSAD Bambang Sugeng, Iwa mengangkat Zulkifli Lubis, pentolan anti gerakan 17 Oktober,  sebagai Wakil  KSAD, Desember 1953. 

Langkah besar lainnya yang diambil Iwa adalah menghapus jabatan KSAP tahun 1954. TB Simatupang   diberi posisi basa-basi yakni penasihat menteri pertahanan. Simatupang  de facto menjadi  penganggur. “...Sudah jelas tidak pernah ada maksud untuk meminta nasehat  saya, oleh sebab itu saya praktis tinggal di rumah saja,” tulis dia (Membuktikan ketidakbenaran suatu Mitos—PSH 1991).  Tahun 1959 akhirnya dia keluar dari dinas aktif militer. Jenderal ini pensiun di usia sangat muda: 35 tahun. (Bersambung)