Kisah Tewasnya Insinyur Panuju Manurung di Tangan Pegawai Indorayon

Laporan penganiayaan oleh Indorayon (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

JAKARTA, Kalderakita.com: Kekerasan! Pendekatan ini disukai PT Inti Indorayon Utama (IIU alias Indorayon) yang sedari 15 November 2024 berganti kesing dengan menggunakan nama PT Toba Pulp Lestari, TPL.  Sejak pabrik mereka beroperasi untuk kali pertama di Desa Sosor Ladang, Porsea, pada 1988, sudah demikian. 

Bau busuk yang harus dihirup saban hari sangat meresahkan warga sekitar. Selain bubur kayu (pulp) dan rayon, bahan kimia dalam jumlah yang sangat besar ternyata secara diam-diam dihasilkan Indorayon di sana. Tujuannya? Ya, untuk dipakai dalam proses produksi. Hal ini baru terungkap jauh hari kelak, yakni sesudah Labat Anderson Incorporated, perusahaan konsultan AS yang ditugasi pemerintah Indonesia (tepatnya: Bapedal),  mengumumkan hasil auditnya pada 1996

Bau busuk baru satu hal yang membuat warga sekitar resah dan tersiksa. Masih ada sederet perkara lain, termasuk lahan pertanian yang rusak akibat air,  tanah, dan udara  yang tercemar;  kulit yang menjadi gatal-gatal;  dan atap seng yang bolong-bolong.  Tak tahan lagi, mereka bersama dengan kalangan lain yang solider akhirnya bangkit melawan. Namun, penindasan oleh kekuatan besar yang melibatkan aparat negaralah yang senantiasa mereka rasakan sebagai jawabannya. Seperti yang terjadi dalam aksi akbar di Porsea, pada 23 November 1998, misalnya. 

Sekitar 10 ribu warga Toba Samosir turun ke jalan hari itu untuk menolak korporasi milik pengusaha kelahiran Belawan, SukantoTanoto (Tan Kang Hoo) tersebut. Seperti biasa, aparat keamanan pun menghadang dan menghalau. Bedil ikut mereka gunakan. Korban berjatuhan. Salah satunya adalah Panuju Manurung. Paha pemuda berusia 28 tahun yang baru meraih gelar insinyur elektro dari Universitas Satya Wacana (UKSW), Salatiga, dihajar peluru aparat. Tapi, bukan itu yang membuat dia kehilangan nyawa 2 hariberselang.  Aniaya oleh sejumlah karyawan Indorayon di lingkungan pabrik mereka di Sosor Ladang, menurut sejumlah saksi mata, penyebabnya. 

Majalah kami, D&R, menurunkan  kisah Panuju Manurung ini pada edisi 12 Desember 1998 (lihat foto di atas).Edrin Adriansyah, koresponden kami di Medan, yang melaporkan dan aku yang mengedit. Berikut ini penggalannya. 
***
ANIAYA MEMATIKAN DI INDORAYON
Akibat aniaya di pabrik Indorayon, Porsea, seorang pendemo tewas dan beberapa orang lainnya cedera berat. Mengapa aparat keamanan masih saja sangat represif? 

Pada hari pemakamannya, insinyur muda itu dinobatkan sebagai pejuang rakyat Toba. “Panuju adalah pejuang bagi rakyat Tapanuli Utara yang menginginkan semuanya bebas dari kerusakan,” kata Mangaliat Simarmata, anggota Forum Bonapasogit Jakarta, yang ikut melayat. 

Kekerasan oleh Indorayon (foto: projustisia news)

Acara pemakaman Panuju Manurung, 28 tahun,  di tanah leluhurnya,  Lumban Kuala,  Porsea Sumatera Utara,  28 November silam,  penuh orasi. “Tubuh yang terbujur ini hanya menegaskan bahwa Inti Indorayon Utama (IIU) harus tutup,” kata seorang anak muda yang mewakili Kampung Patane IV, Porsea.

Hawa panas politik menjalari Lumban Kuala saat itu. Kiriman 30-an karangan bunga dari berbagai kampung mengentalkan suasana. Jalan masuk menuju rumah duka dipasang pengumuman “Tidak menerima karangan bunga dari aparat Polres (Kepolisian Resort) Porsea”. 

Panuju meninggal pada Rabu 25 November lalu. Aniaya yang mengantarkannya ke akhir hayat telah menggumpalkan kesumat para pelayat. Mereka menilai kekerasan aparat keamanan sudah kelewatan sehingga mau tak mau harus dilawan. Sekujur tubuh dan wajah Panuju memang biru penuh luka. Itulah yang membuatnya kehilangan nyawa,  bukan luka tembak di paha kirinya sehari sebelum tewas. Darah segar mengucur dari mulut, hidung, dan telinganya. 

Lulusan Fakultas Teknik Elektro Universitas Kristen Satya Wacana,  Jawa Tengah,  itu ada di tengah ribuan warga Porsea yang berdemonstrasi menuntut penutupan pabrik PT IIU pada 23 November lalu. Bekas siswa teladan yang pernah ikut pertukaran pelajar ke Jepang sewaktu masih bersekolah di Sekolah Menengah Atas di Jakarta tersebut ditangkap ketika berusaha menyelamatkan inang-inang (ibu-ibu)  yang dipukuli aparat keamanan sewaktu demo berubah menjadi bentrokan. 

Dengan paha yang tertembus peluru karet,  penduduk Ciputat, Jawa Barat,  yang baru tiga bulan tinggal di Lumban Kuala itu mencoba menghentikan para anggota Brigade Mobil yang memukuli inang-inang. “Kalau tak ada mereka kalian tak lahir,” dia mengingatkan. 

Ucapan itu justru membuat ia yang disasar. Pukulan dan tendangan sepatu lars berkali-kali mendera wajah dan dadanya;  juga popor senjata.

Bersama belasan warga yang ditangkap, ia dibawa dengan truk militer ke pabrik IIU. Joni Marpaung, 45 tahun,  salah seorang yang ditangkap,  mengungkapkan bahwa mereka disuruh jongkok dan tak henti-hentinya dipukul serta disundut dengan api rokok selama di dalam truk. Kepada D&R Joni memperlihatkan bekas sundutan di punggungnya. 

Di pabrik, lanjut Joni,  mereka diserahkan kepada karyawan. Yang terakhir ini menyambut mereka dengan pukulan linggis, kayu, dan bambu. Mereka diperlakukan bagai maling yang tertangkap. Dihajar terus-menerus, tak terkecuali Panuju yang sudah terluka oleh peluru. Sorenya baru dibawa ke Kepolisian Sektor (Polsek) Porsea untuk didata. Sesudahnya dikirim ke Polres Tarutung. Dari sana berapa orang yang terluka dibawa ke Rumah Sakit Umum Tarutung.

Bentrok terkini dengan PT TPL (foto: CNN)

Khusus Panuju, pengawalannya di rumah sakit ekstra-ketat. “Keluarga pun tak boleh besuk,” kata R. Manurung, Kepala Desa Lumban Kuala. 

Sehari sebelum meninggal, menurut perawat yang menanganinya, Panuju  masih bisa mengobrol dan baca koran. Dia mengeluh sulit bernafas. Akan halnya luka tembak di paha kirinya, tak terlalu parah. 

Kepada keluarganya tak diberi tahu apa persisnya penyebab kematian Panuju. Namun, seorang dokter di Rumah Sakit Umum Tarutung menyebutkan kepada D&R bahwa kemungkinan besar penyebabnya adalah penyumbatan pembuluh darah akibat hantaman benda-benda keras.

Disiksa di kamar mandi

Putra sulung dari 4 bersaudara ini pulang ke kampung leluhurnya sebenarnya justru agak terseret dalam aksi unjuk rasa di Jakarta. Ceritanya, ayahnya yang pensiunan perwira marinir,  tidak ingin si putra sulung ikut dalam demo-demo yang di Ibukota. Karena itu, anak muda yang pernah menjadi juara nasional ‘Cerdas Cermat’ sewaktu di sekolah dasar itu disuruh pulang kampung dulu. Itu menurut kerabat menuju Panuju.

Ternyata,  di kampung pun Panuju tak bisa diam melihat kesewenangan. Sewaktu masyarakat Tapanuli Utara demo di kantor  gubernur di Medan pada 19 November untuk memprotes IIU, dia ikut sebagai tanda solider. Tatkala ribuan penduduk Porsea kembali menuntut agar pabrik yang telah 10 tahun merusak lingkungan itu ditutup, dia juga turun. Ternyata nahas baginya. Setelah tertembak dia menjadi korban aniaya aparat keamanan dan karyawan PT IUU.