Pendeta Gomar Gultom: Tuhan Sedang Berbicara kepada Kita Semua Lewat TIM 11

Pendeta Gomar Gultom saat khotbah di acara Doa Bersama TIM 11 dan Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL Minggu (1/8)

JAKARTA, Kalderakita.com: Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom mengapresiasi aksi jalan kaki Balige-Jakarta yang diinisiasi pegiat sosial Togu Sumorangkir.

Saat ini Togu dan kawan-kawan yang tergabung dalam Tulus Ikhlas Militan (TIM) 11 masih menunggu waktu untuk bisa bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Mereka hendak menyampaikan aspirasi masyarakat terkait keberadaan perusahaan bubur kayu milik taipan asal Medan Sukanto Tanoto, PT Toba Pulp Lestari.

Gomar Gultom menyebut aksi jalan kaki sejauh 1.700-an kilometer yang dimaksudkan Togu dkk. untuk membangkitkan kesadaran publik bahwa Danau Toba sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja, seharusnya menampar wajah kita.

“Menohok hati dan pikiran kita yang selama ini terkungkung di ghetto kita, asyik dengan ibadah-ibadah kita yang membahana, tetapi abai terhadap realitas, ketidakadilan di sekitar kita,” katanya saat berkhotbah di acara ‘Doa Bersama TIM 11 dan Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL’  siang tadi, Minggu (1/8).

Acara yang disiarkan secara virtual dan disiarkan langsung oleh sebuah stasiun radio di Tapanuli ini diikuti kurang lebih 300 orang, termasuk tokoh perlawanan terhadap Indorayon di tahun 1980-an, Profesor Dr. K. Tunggul Sirait. Sudah berusia 88 tahun, mantan Dekan ITB dan Rektor UKI yang juga adik kandung mantan Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan, Prof. Dr. Midian Sirait, ini masih lantang bersuara di acara ramah-tamah pasca kebaktian tadi.

Berikut ini khotbah lengkap Pendeta Gomar Gultom selama kurang lebih 25 menit yang juga disimak awak Kalderakita.com:

Terima kasih Pendeta Marihot [Pendeta Marihot Siahaan], Ibu Susi [host] dan Sodara Tonggor.

Sodara-sodari sekalian, sebelum kita membaca Alkitab dan merefleksikannya nanti, mari kita bersatu dalam doa.

Ya Allah Surgawi, bagaikan rusa merindukan sungai; demikianlah hati kami rindu kepadaMu dan mendengar firmanMu;Berkenanlah hadir dalam diri kami masing-masing dan biarlah rohMu yang kudus menyapa hati kami,melalui pewartaan saat ini di hambaMu ya Tuhan...

Bersabdalah ya Tuhan karena kami anak-anakMu sungguh haus akanfirmanMu. Amin.

Sodara-sodara saya akan membaca buat kita dari Yeremia 29 ayat 7.Tadi Pendeta Marihot sudah cukup banyak membaca untuk kita.Bagian terakhir yang beliau baca Amos 5 ayat 21 sampai 24 itu juga bagian dari renungan kita saat ini, tidak usah saya baca lagi, saya hanya akan baca Yeremia 29 ayat 7:“Usahakanlah kesejahteraan kota kemana kamu aku buang dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraan.”

Saudara terkasih, baik saudara-saudara yang mengikuti ibadah dan doa bersama ini lewat Zoom, YouTube dan pendengar setia Radio Samosir Green yang ada di Bonapasogit dan terutama secara khusus saudara-saudara dari TIM 11.

Berbahagia sekali rasanya bisa menyapa saudara sekalian meski hanya lewat pendekatan virtual saat ini.Sebagai akibat dari situasi yang sangat memprihatinkan oleh pandemi ini, kita harus menjalani kehidupan dengan segala aktivitas melalui berbagai bentuk pembatasan seturut dengan protokol kesehatan.

Ketua Umum PGI Pendeta Gomar Gultom (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Dan olehnya, kita hanya bisa saling menyapa termasuk pewartaan ini lewat virtual. Dunia kita memang sedang merintih saat ini. Apa yang sedang kita alami masa ini, tidak bisa dilepaskan dari krisis lingkungan yang sedang melanda dunia.

Pandemi ini merupakan konsekuensi logis dari krisis ekologi, krisis lingkungan yang sedang melanda dunia saat ini.Penebangan hutan yang begitu masif dan berubahnya hutan-hutan tropis menjadi hutan industri dengan tanaman monokultur entah itu sawit ataueukaliptus, telah mengubah struktur alam semesta ini.

Pemanasan global dan perubahan iklim adalah konsekuensi logisnya.Akibatnya musim panen dan musim tanam menjadi tidak menentu karena iklim yang makin sulit diprediksi.Mutasi genetika terjadi dan bermunculanlah ragam hama dan virus yang pada akhirnya membawa malapetaka dalam kehidupan umat manusia.

Kita sudah mengalami musibah matinya ikan-ikan di Danau Toba serta matinya ribuan bahkan mungkin ratusan ribu ekor babi di waktu yang lalu. DanCOVID-19 yang telah meluluhlantahkan kehidupan kita saat ini ditengarai adalah juga akibat mutasi genetika ini. Virus Corona yang bermutasi.Dan itu semua tidak dapat dilepaskan dari pemanasan global serta perubahan iklim sebagaimana saya sebutkan tadi.

Sangat jelas, perilaku kita yang telah memperlakukan alam melebihi maksud-maksud ketika Tuhan menciptakan dunia ini adalah akar dari semua malapetaka itu.Kita semakin kurang menghargai dan memuliakan alam yang oleh Allah sendiri justru dimuliakan. Allah memandang alam semesta ini sungguh amat baik. Kejadia 1 ayat 31.

Alam kini merintih karena parang-parang kepentingan yang selalu kita ayunkan, memporakporandakan bumi ini. Parang-parang kepentingan yang selalu menoreh permukaan bumi sehingga mengakibatkan luka-luka bumi yang bernanah dan begitu parahnya.

Hal ini juga menjadi keprihatinan gereja-geraja di Indonesia sebagaimana digumpuli pada Sidang Raya ke-17 baru lalu, 2019 di Waingapu [Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Red].

Sesungguhnya sudah sejak lama gereja-gereja di Indonesia bergumul dan berkomitmen penuh untuk ikut serta mengatasi masalah-masalah yang diakibatkan oleh krisis lingkungan ini, termasuk juga konflik-konflik agraria sebagaimana terekam dalam percakapan-percakapan eukumenis di Indonesia.

Krisis lingkungan yang menjadi concern Sidang Raya tersebut merupakan muara dari proses yang cukup panjang selama ini.Sejak akhir 70-an gereja-gereja di dunia telah bergumul cukup panjang tentang tema Justice, Peace, Integrity ofCreation. Dan gereja-gereja di Indonesia termasuk gereja di Sumatera Utara ikut serta dalam studi dan aksi yang hingga kini dikenal dengan tema Keadilan,Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan, KPKC.

Togu Simorangkir, penggagas aksi jalan kaki Balige-Jakarta (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Artinya saudara-saudara, untuk waktu yang cukup lama tema ini sudah menjadi keseharian pergumulan gereja-gereja di Indonesia termasuk gereja-gereja di tanah Batak.Yang menjadi soal adalah sejauhmana tema-tema ini dihidupi dan apalagi diperjuangkan dalam bentuk aksi nyata.Hal ini yang menjadi pertanyaan yang patut direnungkan secara jernih, termasuk dalam ibadah kita sekarang ini.

Misalnya,beberapa gereja acap mengangkat isu ini dalam berbagai bentuk, wacana, seminar bahkan khotbah tetapidiam seribu bahasa terhadap kenyataan perusakan lingkungan dan perampasan lahan oleh industri raksasa di sekitarnya.Ini juga yang menggejala sebagaimana saya konstantir [duga atau perkirakan.Red] di tanah Batak akan cukup banyak gereja yang memberi karpet merah kepada pengusaha perusak lingkungan. Mungkin ada motif sumbangan di balik semua itu.

Sodara-sodara, ini gereja-gereja di Indonesia belakangan ini memang menghadapi kenyataan sosial di masyarakat kita yang cukup mengenaskan terkait dengan isu lingkungan ini.

Dan isu lingkungan sering sekali berkelindan dengan masalah-masalah agraria.

Saya mau mencatat dua hal dalam percakapan dan reTanah adat Sihaporas telah ditempati turun-temurun oleh 8-11 generasi. Tanah ini diambil penjajah Belanda untuk ditanami pinus, sekitar tahun 1913. Kolonialis itu menerbitkan peta Enclave Sihaporas, pada 1916, atau 29 tahun sebelum Indonesia merdeka.  

nungan kita pada siang hari ini.Pertama, terjadinya pengelolaan tata ruang yang tidak berkeadilan karena berbagai bentuk perundang-undangan di negeri kita ini ternyata sangat tidak pro rakyat.

Undang-undang pokok agraria Nomor 1 tahun 60 yang sudah lama kita sahkan di negeri ini dalam kenyataannya tidak terimplementasikan. Apa yang terjadi kemudian justru adalah kontras terhadap semangat Undang-Undang Pokok Agraria tersebut. Distribusi tanah yang berkeadilan tidak pernah terjadi. Land reform selalu dianggap perjuangan kaum komunis.Bahkan pengelolaan dan proses pemilikan tanah memang sangat tidak pro rakyat.

Dengan bermodalkan selembar surat keputusan Menteri Kehutanan, misalnya, yang tidak jarang hanya dibuat sepihak, cukup sering terjadi masyarakat desa terusir dari pemukiman dan lahan pertanian yang sudah mereka huni dan usahakan beberapa generasi.

Kasus-kasus seperti ini juga terjadi di tanah Batak saudara-saudara.Antara lain, tiba-tiba saja daerah itu menjadi hutan negara, padahal didalamnya ada pemukiman penduduk, ada gereja, ada sekolah, dan sebagainya. Salah satu diantara produk hukum yang tidak memberi jaminan kepada masyarakat adat karena memberi otoritas kepada negara menjadikan tanah ulayat atau masyarakat adat menjadi hutan negara adalahUndang-Undang Kehutanan no.41 tahun 1999.

Prof. KT Sirait, tokoh pergerakan melawan Indorayon (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Memang Mahkamah Konstitusi lewat keputusan tahun 2013 nomor 35 telah memenuhi permohonan judicial review yang diajukan oleh Abdon Nababan [pegiat masyarakat Adat. Red] dan kawan-kawan AMAN [Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.Red] dan lain-lain, bersama kelompok masyarakat lainnya, yang Keputusan Mahkamah Konstitusi itu memberi peluang bagi masyarakat adat untuk mengklaim dan mengelola tanah ulayat mereka.

Namun demikian ini tidak usaha yang mudah, meski telah ada keputusan MK, tetap saja kita belum melihat titik-titik terang yang nyata bagi masyarakat adat dalam mengelola dan memiliki tanah ulayat miliknya.Apalagi ternyata sesudah putusan Mahkamah Konstitusi itu masih keluar Undang-undang nomor 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.Yang acap digunakan oleh aparat negara dalam mengkriminalisasi masyarakat adat yang berusaha mengelola tanahnya.

Ini secara nyata dialami oleh saudara-saudara kita di Pandumaan dan Sipituhuta.Saya lupa berapa orang, 30-an kalau tidak salah. Ada 30-an orang tua kita dari Pandumaan-Sipituhuta harus meringkuk di penjara di Mabes Poldasu. Dari Dolok Sanggul diangkut ke Medan hanya karena mereka mengusahakan tanah. Sangat absurd saudara-saudara.

Hal ini menimbulkan rangkaian konflik agraria di berbagai pelosok nusantara ini.Konflik-konflik Ini bukan saja bermasalah di sekitar pemilikan tanah tetapi ditengarai juga akan merusak lingkungan dan akan membuat masyarakat terserabut dari akarnya.

Petani haminjon[kemenyan]terserabut dari tradisi mengembangkan dan memanen haminjon.Dan tentu saja menjadi sebuah ancaman akan makin tergerusnya peradaban kita,dan makin rusaknya alam sekitarnya. Itu catatan pertama.

Catatan kedua,tergerusnya kualitas lingkungan alam sekitar kita pada gilirannya juga akan makin mengancam kualitas kehidupan kita sebagai umat manusia.Akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan kita telah diperhadapkan pada realitas degradasi tanah, air, dan udara. Deforestasi dan penggunaan hutan telah mengakibatkan banjir.

Di Parapat di waktu lalu banjir karena penggundulan hutan di sekitarnya. Samosir juga mengalaminya di waktu lalu. Bukan saja longsor dan banjir tetapi juga kepunahan berbagai jenis binatang dan tumbuhan.

Anita Martha Hutagalong alias Oni, anggota TIM 11 (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Kera-kera yang ada di sekitar Parapat itu sekarang berkeluaran dari hutan dan berkeliaran di sepanjang jalan antara Parapat-Siantar. Terusir mereka dari hutan dimana mereka hidup.

Masyarakat dan budaya lambat laun akan makin tergerus.

Semua realitas ini adalah akibat langsung ulah kita yang memaksa alam melebihi batas-batas yang ditetapkan ketika Allah menciptakan.Dan akibatnya adalah juga penderitaan manusia.Bencana alam dan sebagainya yang saya sebutkan tadi.

Epidemi penyakit yang terjadi sekarang, seperti COVID 19, tidak bisa dilepaskan dari kerusakan alam yang diakibatkan oleh ulah kita manusia.Dengan kata lain saudara-saudara, sesungguhnya ini semua berakar pada dosa kita semua, dosa manusia yang memperlakukan bumi sebagai objek kekuasaan danmengeksploitasinya semata-mata untuk kepentingan sesaat tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.

Apakah respons kita sebagai gereja terhadap kedua masalah tersebut?Saya kuatir saudara-saudara, beberapa gereja kita, termasuk diri kita pribadi, saya tidah hendak menghakimi kita masing masing-masing, mari kita berefklesi: jangan-jangan cukup menggejala perilaku yang agak mirip dengan komunitas Israel di pembuangan Babel, yang melatari pembacaan Alkitab sebagaimana saya baca tadi dari Jeremiah 29 ayat 7.

Satu hal yang sangat menonjol dari masyarakat Israel di pembuangan Babel ketika itu kalau kita baca misalnya termasuk Mazmur 137, yang melatari Jeremiah 29 ayat 7 ini,dua hal yang sangat menonjol dari perilaku mereka selama di pembuangan Babel:Pertama, mereka hidup di dalamghetto, mereka hidup dalam komunitas internal mereka dan mereka tidak hirau dengan persoalan di sekitarnya bahkan digambarkan mereka hanya nongkrong setiap hari di tepian Sungai Babel.

Dan yang kedua, seluruh mata hati dan pikiran mereka tertuju ke Jerusalem. Ada apa di Jerusalem? Di sana ada Bait Allah.Mata hati dan pikiran mereka selalu tertuju ke Jerusalem karena ingin beribadah di Bait Allah.Mereka nggakpeduli dengan keadaan sekitar.

Ketua Umum YPDT Maruap Siahaan (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Mata hati dan pikiran mereka hanya ibadah-ibadah di Bait Allah di Jerusalem. Hanya itu kerinduan mereka. Gak peduli dengan keadaan sekitar. Dalam konteks yang demikianlah Allah berkata melalui Jermiah kepada mereka yang selalu hidup di ghetto mereka, yang nongkrong di tepian sungai Babel itu, Hey usahakanlah kesejahteraan kota dimana kamu aku buang. Dan ini adalah ajakan kepada kita semua termasjuk gereja-gereja di tanah Batak termasuk kita semua untuk menghadapi realitas dimana kita berada, tidak hanya asyik berdoa-berdoa dan berdoa. Tidak hanya asyik di sekitar altar, tidak hanya asyik di sekitar gereja-gereja kita. Jangan sampai Amos katakan: Enyahkan semua ibada-ibadahmu, lagu gambusmu. Aku tidak mau dengar. Paduan suaramu aku tidak mau dengar karena engkau membiarkan ketidakadilan berlangsung di sektiarmu.

Ini adalah sebuah ajakan untuk tidak pasif menghadapi realitas dimana kita berada.

Sebaliknya harus ikut aktif mensejahterakan masyarakat. Ini adalah sebuah perintah imperatif buat kita semua untuk keluar dari ghetto kita dan sekaligus ajakan untuk mengarahkan mata hati dan pikiran kita tidak hanya tertuju pada ibadah ritual saja.

Ajakan yang sama berlangsung pada kita gereja-gereja di Indonesia sama halnya dengan gereja-gereja di tanah Batak.Ajakan untuk keluar dari zona nyaman kita dan melihat kenyataan sekitar yang pada gilirannya juga harus ikut mensejahterakan masyarakat kita dan ikut menentang segala bentuk kerusakan yang bisa menghancurkan kehidupan masyarakat.

Allah memberikan kepada kita mandat untuk menguasai bumi ini bagi kesejahteraan bersama.Itulah yang kita pahami dengan kata Oikumene.

Oikumene harus kita pahami sebagai sebuah gerakan untuk menata dunia ini untuk menjadi rumah yang lebih nyaman untuk kita diami bersama. Bukan menjadi rumah yang penuh dengan ancaman banjir, ancaman longsor, ancaman kerusakan lingkungan, dan sebagainya.

Dan salah satu langkah strategis dalam upaya penataan ini adalah mengadvokasi masalah-masalah agraria dan sumber daya alam. Serta merestorasi alam yang telah rusak.

Ini sebuah jalan panjang untuk menghindari tergerusnya masyarakat kita dari peradaban dan lingkungan kita, untuk menghindari tergerusnya masyarakat Batak dan peradabannya.

Pendeta Marihot Siahaan (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Dalam semangat seperti itulah, kita mengapresiasi TIM 11 yang mestinya menohok hati dan pikiran kita semua.

Perjalanan panjang dari Bonapasogit ke Jakarta pastilah meletihkan dan penuh dengan perjuangan fisik dan mental. Pastilah tidak semudah yang kita bayangkan. Ini adalah sebuah respons iman mereka atas berbagai bentuk ketidakadilan yang mendera tanah Batak.Baik oleh perilaku korporasi maupun ketidakadilan negara membenahinya secara bertanggung jawab.

Mungkin, ada yang berkata: Ah, ini terlalu didramatisir. Ya saudara-saudara ini memang drama.Drama yang mestinya menampar kita semua.Karena selama ini kita abai akan panggilan iman kita untuk mensejahterakan masyarakat. Untuk merawat alam semesta.Untuk menegakkan keadilan.

Ketika berbagai pintu telah diketuk dan para pengusaha dan penguasa tidak hirau untuk membuka pintu, harusnya ada upaya lain untuk meneriakkan hati nurani.

Perjalanan TIM 11 ini saya pandang agak sama seperti orang sakit dalam Lukas 5 ayat 17 sampai 73, nanti tolong dibaca dirumah.

Di sana dikisahkan Yesus sedang bercengkerama dengan begitu banyak orang di sebuah rumah, mengobati orang sakit dan sebagainya.Dan ini ada orang sakit yang diusung tetapi tidak bisa masuk ke rumah itu karena sudah penuh sesak; tidak ada yang menoleh mereka; tidak ada yang membuka pintu buat mereka; tidak ada yang memberi peluang mereka bertemu Yesus.

Tapi apa yang terjadi? Dia dan teman-temanmembantunya untuk masuk dari atap bubungan, membongkar atap rumah itu, masuk lewat bubungan turun hingga bertemu dengan Yesus. Menerobos lewat atap dan langit-langit sebuah dramatis yang sangat-sangat dramatis saudara.

Dengan itu mereka berjumpa Yesus dan Yesus menjangkaunya.

Itu yang saya maksud TIM 11 ini mestinya menampar wajah kita. Monohok hati dan pikiran kita yang selama ini terkungkung di ghetto kita, asyik dengan ibadah-ibadah kita yang membahana tetapi abai terhadap terhadap realitas, ketidakadilan di sekitar kita.

Irjen Pol. (Purn.) Erwin Tobing (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Terima kasih TIM 11,terima kasih Togu dan kawan-kawan,anda semua sungguh menohok kami. Tuhan sedang berbicara kepada kita semua lewat TIM 11.

Dan perjuangan TIM 11 ini belum berakhir.Tapi setidaknya ini menolong kita semua untuk merefleksikan Amos 5: 21-24 yang antara lain berkata, aku membenci, aku menghinakan perayaanmu, dan aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Jauhkanlah aku dari keramaianmu dan nyanyian-nyanyianmu.Lagu gambusmu tidak mau aku dengar, tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran sepertisungai yang mengalir.

Tuhan memberkati saudara-saudara sekalian dalam perjuangan yang tidak mudah ini.Amin. Mari kita berdoa.

“Allah surgawi kami bersyukur untuk sapaanmu melalui pemberitaan Firman hari ini.Pakai kami Tuhan menjadi alat, kami menjadi tanganmu Ya Tuhan untuk memperlakukan keadilan di bumi Nusantara, terlebih di Tanah Batak.Terima kasih ya Tuhan. Dalam kristus kami berdoa.Amin.”