Kesejarahan Penting dari Pangururan, Ibukota Kabupaten Samosir

Pangururan, kota terbesar di Pulau Samosir (foto: P Hasudungan Sirait)
Pangururan, kota terbesar di Pulau Samosir (foto: P Hasudungan Sirait)

SAMOSIR, Kalderakita.com: Pangururan, kota terbesar di Pulau Samosir. Sebab itulah ketika Samosir memekarkan diri dari Kabupaten Tapanuli Utara pada Desember 2003, ia menjadi ibukota kabupaten.

Telah lama Pangururan menjadi pusat pemerintahan Pulau Samosir. Di zaman Hindia-Belanda pun sudah demikian. Pada 1910 penguasa Nusantara membentuk Keresidenan Tapanuli yang terdiri dari 4 wilayah (afdeling) yakni Padang Sidempuan, Nias, Sibolga dan Ommnenlanden, dan Bataklanden.

Afdeling Bataklanden dibagi lagi menjadi sub-wilayah (onderafdeling). Samosir salah satunya, dengan ibukota Pangururan. Kontroleur sebutan untuk pemimpinnya, tinggal di sana.

Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com

Sebagai ibukota onderafdeling,  Pangururan tentu sudah memiliki fasilitas modern untuk ukuran zamannya. Kantor  pemerintahan, penjara, rumah sakit, sekolah, dan gereja, di antaranya. Begitupun, hingga lama sesudahnya kawasan tetap saja kurang maju. Sebabnya ia berada di pulau terisolir.

Jalan raya yang menghubungkan sekeliling pulau baru belakangan ini saja dibenahi dan kini masih dalam perampungan. Sekian lama, untuk keluar dari sana menuju Pematang Siantar-Medan, misalnya, orang harus menyeberangi Danau Toba dengan kapal-kapal kayu sebelum melanjutkan perjalanan dengan bus.

Pada 1936 misi Katolik mulai masuk ke Pulau Samosir.  Tentu, Pangururan yang terletak di kaki Pusit Buhit-lah yang kemudian menjadi pangkalan utama mereka selain tetangganya, Palipi dan Onan Runggu.

Mereka bisa leluasa bergerak sebab kala itu  Batakmission (sejak 1929 berganti nama menjadi Huria Kristen Batak Protestan) belum memberi perhatian terhadap pulau. Katolik akhirnya  berkembang dengan baik. Gereja megah berarsitektur Batak, Santo Mikael, yang kini menjadi ikon di jantung kota menggarisbawahinya.

Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com

Salah satu pencapaian penting mereka di luar pengabaran Injil  ada di lapangan pendidikan. Sekolah Budi Mulia mereka, misalnya, sejak lama menghasilkan siswa unggul. Alumni ini banyak yang menjadi ‘orang’ di Jakarta dan kota lain.

SIANJUR MULAMULA

Di tahun-tahun sebelum pandemi Covid-19 Pangururan kian ramai dikunjungi pelancong. Soalnya di sekitarnya terdapat sejumlah tempat wisata yang eksotik.

Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com

Berjarak sekitar 3 kilometer, dari pusat kota Pusuk Buhit tampak menjulang.Di  kaki gunung mito logis ini, umpamanya,  terdapat pemandian Aek Rangat (air panas).Kalau mau ke sana, kita mesti melewati Tano Ponggol yang termashyur. Terusan ini telah diperluas-diperdalam dan tak lama lagi akan rampung. Dengan pemandangan alamnya yang menarik, termasuk kedua ruas jalan di kiri-kanan yang lebar dan tertata rapi, ia pasti akan memikat pengunjung.

Gereja Santo Mikael, Gereja HKBP yang juga megah di kanannya (bukan yang tampak di foto), Aek Rangat,  dan Tano Ponggol merupakan ikon Pangururan. Yang lain masih ada. Termasuk Limbong-Sagala, yang menjadi bagian dari Sianjur Mulamula.

Menurut mitologi Batak, manusia pertama itu jatuh dari langit dan mendarat di puncak Pusuk Buhit. Dari sana lantas turun dan bermukim di Sianjur Mulamula. Berbiak, keturunannya kemudian menyebar ke 8 penjuru mata angin. Seru, bukan?