Menulis Pustaha Laklak

Laklak, aksara Batak kuno (foto: FB Manguji)
Laklak, aksara Batak kuno (foto: FB Manguji)

Oleh: Manguji Nababan*

MEDAN, Kalderakita.com: Tradisi menulis pustaha laklak sudah lama usai. Kejayaannya hingga di masa ahli bahasa Van der Tuuk (1857) bermukim di Barus.

Gong kematian aktifitas datu, kaum terdidik penulis pustaha profesional dipasung aktifitas zending. Dogma penginjilan memposisikan datu dan turunan produknya sebagai paganisme dan objek kekafiran. Situasi yang demikian lah salah satu pemicu konfrontasi penginjilan dan kebudayaan Batak.

Di awal penginjilan, aksara batak masuk ke dunia percetakan. Temuan tehnologi digital ini menghasilkan varian font semisal varian; zending, landsdukkerij, van der tuuk, dan versi surat Pustaha (versi penyatuan varian ke lima sub etnis batak-1987).

Buku pelajaran sekolah yang  terakhir beraksara Batak adalah tahun 1926 karangan Arsenius L. Tobing. Sedangkan kiamat bagi keberadaan perjalanan tradisi beraksara Batak adalah pemberlakuan ejaan Ophasyian (memberlakuan aksara Latin, 1901).

Laklak, aksara Batak (foto: FB Manguji)

Undangan UNESCO untuk menghadiri book fair di Frankfruf Jerman September 2015, adalah sebuah kehormatan buat Indonesia, pun suku Batak. Perpustakaan Nasional sebagai liding sektor meminta kami mempersiapkan manuskript (reproduksi koleksi kuno) untuk dipamerkan di ajang terhormat itu.

Petunjuk atau sumber tertulis  yang menjelaskan cara menulis pustaha laklak sangat minim. Untuk melanjutkan tradisi literasi nenek moyang ini kami melakukan tahapan pengerjaan naskah sebagai berikut:

1. Laklak sebagai "kertasnya" adalah kayu alim (latin: aquilaria). Bahan tempat menulis ini diperoleh cukup dengan menguliti pohon alim, tanpa harus menebang. Kulit kayu yang didapat digulung lalu dijemur dengan cara dianginkan untuk beberapa lama supaya mempermudah sewaktu melepas kulit arinya.

2. Laklak yang sudah dikupas kulit terluar/ari dipotong sesuai kebutuhan kemudian dihaluskan dengan kertas pasir. Pada jaman dahulu sebelum ada kertas pasir, leluhur kita menggunakan jenis dedaunan bertekstur kasar untuk menggosok/menghaluskan permukaan laklak.

3. Setelah ukuran (p x l) yang diinginkan sudah didapat, lalu permukaan laklak diolesi dengan parmagan. Pengolesan ini bertujuan untuk mengawetkan (tahan rayap) dan mempercantik tekstur pustaha. Pada jaman dulu, pengawetan cukup dilakukan dengan metode pengasapan.

4. Sebelum ditulisi, bahan menulis Pustaha (laklak) dilipat hingga berbentuk akordeon.

5. Laklak yang sudah dilipat lalu dirapikan dengan cara memukul lipatannya dengan menggunakan martil kayu.  Kedua sisinya harus berbentuk persegi.

Laklak ditulis dari kiri ke kanan (foto: FB Manguji)

6. Saatnya laklak siap untuk ditulisi. Laklak ditulis dari kiri ke kanan dengan menggunakan kayu ingul sebagai alat tulis. Alat tulis dicelup ke tinta lalu dituliskan ke laklak. Sekali celup bisa menghasilkan 2-3 aksara.

Pada jaman dulu, tinta terbuat dari jelaga, arang kayu andulpak, arang ranting kayu jeruk purut yang dicampur dengan air tebu merah. Sedangkan alat tulisnya adalah tarugi (kalam). Untuk menulis yg berwarna merah digunakan batu hula, air perasan kunyit dan bahan alami lainnya. Sedangkan warna putih diperoleh dari tano buro.

7. Untuk mempercantik dan kenyamanan pustaha sering dibuat lampak "sampul". Pada bagian atas sampul terkadang dibuat ukiran berupa ukiran binatang. Duplikat Pustaha laklak ini berukuran panjang 12, 25 m dan lebar 16 cm (tergolong panjang dan lebar). Sebagai layaknya datu jaman dulu,  penulis mensimulasikan cara membaca pustaha batak.

8. Cuplikan sebagian naskah dengan gambar-gambar yang berwujud magis.

9. Dua duplikat pustaha yg disalin ulang dari koleksi Perpustakaan Nasional yg berisi Ilmu hitam/magis dan ilmu pengobatan, siap dipamerkan pada acara Book Fair Frankfruf- Jerman.

*Penulis adalah ahli sastra Batak.