Mengungkap Kejahatan Finansial Toba Pulp Lestari

Transaksi fiktif TPL (Foto: Tempo)

Oleh: Prof. Adler Haymans Manurung*

Tulisan-1

JAKARTA, Uraian sebelumnya telah menjelaskan dampak kehadiran PT Toba Pulp Lestari (TPL) bagi masyarakat Toba dan menggemanya gerakan Tutup TPL di seantero Indonesia, bahkan dunia,  dalam 4 bulan terakhir.  Penjelasan tentang perusahaan ini, terlebih dari segi keuangannya, tentu saja sangat perlu dan itu bisa dilakukan dengan menelaah laporan keuangan mereka.  Dalam analisis ini saya memulai dengan membahas laporan keuangan perusahaan yang diterbitkan di media massa maupun website mereka.

Bila ingin mengetahui data laporan keuangan sebuah perusahaan, para analis biasanya akan mencari informasi melalui website dari korporasi yang bersangkutan. Bisa juga dengan menelurusi situs milik otoritas penerima laporan (terutama pajaknya). Ada juga analis yang mempunyai jalur komunikasi tersendiri ke direksi perusahaan,  terutama direktur keuangan. 

Saya sendiri mencoba mencari data laporan keuangan di situs TPL yaitu https://www.tobapulp.com.  Namun, data yang bisa dikumpulkan mulai tahun 2013 sampai dengan 2020 saja yaitu laporan keuangan. 

Biasanya pada laporan tahunan itu ada data laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik. Pada website ada terlihat laporan tahunan yaitu laporan akuntan publik sejak 2013; yang dari tahun sebelumnya tidak terlampir di  sana. Tindakan ini bukan tidak disengaja tetapi disengaja oleh direksi perusahaan. Kita tidak tahu apa yang disembunyikan pada laporan tahunan 2008 sampai dengan 2012.

Pihak luar, termasuk peneliti atau analis,  tidak bisa melihat historis laporan secara lengkap. Sangat disayangkan, tentu.  Artinya, transparansinya tidak ada. Padahal perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek wajib transparan. Untuk yang terdaftar di bursa, transparansi malah merupakan rohnya.

Dari Porsea ke China, pat-gulipat ekspor bubur kayu (foto: suara)

Di mana pun, para analis saham atau stakeholder  sangat menginginkan laporan keuangan. Tujuannya, agar bisa menjalin kerjasama  bisnis dan menilai harga saham perusahaan.  Kelihatannya, TPL tidak peka terhadap keinginan investor maupun pihak lain yang bermitra dengan mereka. Pada sisi lain, ada kemungkinan pihak-pihak tersebut tidak memerlukan informasi maha penting tersebut. Tapi, yang terakhir ini tentu kecil betul kemungkinannya. 

Dalam analisis ini saya hanya menggunakan data yang tersedia di website TPL itu saja.  Data yang terkumpul, laporan kinerja 8 tahun, sudah bisa saya gunakan untuk membangun argumentasi. Bahkan kemungkinan bisa menyimpulkan perilaku perusahaan,  terlebih di bidang keuangan. Analisis ini menggunakan series waktu 8 tahun. Saya mengkaitkannya  dengan data antar-laporan keuangan yang dipublikasikan.

Analisis terhadap laporan keuangan perusahaan dimulai dari laporan laba-rugi, dilanjutkan dengan analisis neraca.  Penjelasannya berikut ini.

Akuntansi Kreatif

Perusahaan harus membuat laporan keuangan untuk disajikan setiap periode. Satu periode bisa dibagi menjadi beberapa  sub-periode.  Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek wajib menyampaikan laporannya ke otoritas tersebut.   Laporan keuangan itu harus sudah diperiksa (diaudit) oleh seorang akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

OJK mengawasi dengan menerbitkan peraturan agar harga saham di bursa benar adanya. Dasar mereka adalah  informasi dari perusahaan.  Fama (1970) menyatakan bahwa harga saham di bursa efek merupakan refleksi dari semua informasi yang ada pada perusahaan.

Perusahaan yang tercatat di bursa efek akan mempublikasikan laporan keuangannya ke publik dalam rangka keterbukaan dan menjaga harga sahamnya di bursa.   Laporan keuangan yang dipublikasikan tersebut sudah melalui sebuah proses panjang di lingkungan internalnya. Perusahaan yang pertama kali menawarkan saham di bursa selalu memperbaiki dan bahkan memanipulasi laporan keuangannya. Tujuannya? Agar harga sahamnya  lebih tinggi (Manurung, 2021). 

Perapihan laporan keuangan perusahaan atau penyesuaian dengan berbagai metode dikenal dengan istilah creative accounting (Mulfrod and Comiskey, 200; Griffiths, 1995; Naser, 1993; Smith, 1992).  Kasus manipulasi laporan keuangan telah mendapatkan perhatian di Amerika Serikat sehingga di sana ada lembaga akuntan publik termashyur yang tidak beroperasi lagi karena dianggap ikut serta dalam kegiatan creative accounting.  Manurung (2021) menyatakan bahwa Bursa Efek Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan belum masuk ke wilayah pengawasan seperti itu. Bagi mereka, memenuhi pelaporan tepat waktu pun sudah sangat baik.

Dugaan manipulasi ekspor oleh TPL (foto: kbr)

Manipulasi laporan keuangan ini menjadi sebuah perhatian tetapi tidak banyak dibicarakan secara terbuka meski  selalu ada. Persentasi manipulasinya tergantung jenis bisnisnya (Manurung, 2021).  Adapun manipulasi laporan keuangan (Manurung, 2021), itu dilakukan di sektor:

  1. Industri pengolahan dan perdagangan. Penggelembungan persediaan perusahaan, modusnya.  Ini membuat penjualan lebih tinggi sehingga laba bersih naik. Hal yang mengakibatkan harga saham bisa meningkat pula. 
  2. Konstruksi. Manipulasi dilakukan dengan membesarkan nilai proyek yang dikerjakan. Dengan begitu perusahaan mendapatkan pendapatan atau penjualan yang lebih besar.
  3. Perbankan. Caranya adalah membuat kredit yang sudah macet menjadi lancar sehingga penerimaan bunga semakin meningkat. Meski tidak dibayar, ada akrual (kelebihan) bunga dalam pencatatan.
  4. Kehutanan. Modusnya adalah memanipulasi persediaan hasil hutan atau juga luas area yang dikuasai.
  5. Farmasi. Kiatnya, memanipulasi melalui penelitian obat baru dan persediaan obat-obat yang dimiliki. Kasus ini terjadi pada sebuah BUMN yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, misalnya.
  6. Perusahaan lain bisa memanipulasi laporan keuangan dengan membuat investasi yang terus-menerus sehingga laporan laba semakin kecil.   

Uraian ini secara jelas menyatakan bahwa manipulasi laporan keuangan itu ada di perusahaan yang terdaftar di bursa sekalipun.  Itu dilakukan untuk kepentingan perusahaan dan pemegang saham pendiri.

Pajak TPL

Jika kita ingin melihat pajak perusahaan yang harus dibayarkan maka laporan keuangan perusahaan harus dibaca secara rinci. Perhitungan pajak berdasarkan laba (rugi) fiskal yang dihitung dari laba (rugi) komersial dan koreksi fiskalnya.  Bila menggunakan laba-rugi saja,  tidak akan  begitu bagus hasilnya. Sebab itu, perlu dilakukan perhitungan seperti diperlihatkan di bawah ini.

Berdasarkan Tabel 5.1, sampai akhir Desember 2021, perusahaan mengalami rugi fiskal US$77,903 juta.  Besarnya rugi fiskal ini menjadi pertanyaan bagi para pihak yang mendalami nilai perusahaan karena hendak  membeli saham.  Jika keuntungan di tahun 2021 sebesar US$25,091 juta maka perusahaan tidak akan membayar pajak karena ada rugi fiskal US$25,09 juta pada 2016. Sesuai peraturan pajak, kerugian fiskal dapat diperhitungkan sampai 5 tahun. 

Kinerja TPL? (Foto: Bisnis)

Data pada Tabel 5.1 memperlihatkan bahwa TPL tidak membayar pajak sampai tahun 2026 karena rugi fiskal masih ada di tahun 2020 yang totalnya US$ 77,903 juta.  Hutan dihabisi  tapi pemerintah tidak mendapatkan apa-apa. Masyarakat di sekitar pabrik dan konsesi TPL sendiri bukannya menjadi sejahtera melainkan kian papa dan menderita. Sungguh ironis, tentu!

Kerugian fiskal yang besar ini dikarenakan  penyusutan aset yang cukup besar setiap tahun.  Bagaimana itu bisa terjadi? Itu pertanyaannya. Penyusutan aset tetap dan penambahan aset perusahaan setiap tahunnya dapat diperhatikan Tabel 5.2 di bawah ini.

Selama 5 tahun terakhir perusahaan menambah aset sebesar US$108.692.000 atau sekitar Rp 1,413 triliun.  Investasi di daerah Toba Rp 1,413 trilliun telah menjadi pembangunan yang mercu suar. Hutan hilang tapi tidak terlihat ada hasilnya untuk negara dan penduduk setempat. Sangat disayangkan ini terjadi.

Pada sisi lain, bila diperhatikan, di laporan arus kas perusahaan ada pengeluaran kepada pemasok yang cukup besar setiap tahunnya (perhatikan grafik di atas). Pengeluaran kepada pemasok bisa merupakan pembayaran untuk kayu-kayu yang diserahkan berbagai pihak.  Bisa saja kayu yang diambil bukan dari areal perusahaan  dan pelakunya adalah masyarakat yang kemudian menjual ke TPL. Toh, hanya ada satu penerima kayu asal Toba tersebut.  Jika TPL membeli kayu curian dari masyarakat berarti mereka ikut serta melakukan tindakan pidana.

Pabrik TPL (foto:okezone)

Besarnya pembayaran ke pemasok setiap tahun bisa diduga (hipotesis) merupakan tindakan manipulasi untuk persediaan.  Padahal, persediaan perusahaan tidak naik sebesar pembayaran ke pemasok tersebut. Secara kasat mata,  manipulasi ini semuanya bermuara ke pembayaran pajak atau juga transfer pricing.  Jika pembayaran ke pemasok besar maka kaitannya adalah jumlah persediaan. 

Dari grafik berikut ini kelihatan secara jelas tidak adanya hubungan yang signifikan antara persediaan dengan pembayaran ke pemasok. Sehingga besar dugaan transfer pricing telah dilakukan perusahaan. Perusahaan besar yang bisa melakukan transfer pricing seperti ini; yang kecil tidak.

Hipotesisnya, perusahaan membuat dirinya tidak perlu membayar pajak dengan cara membuat penyusutan yang besar. Caranya?  Membeli aset bernilai besar setiap tahunnya.  Pembelian aset yang besar diduga (hipotesis) bertujuan agar perusahaan tidak perlu membayar pajak.  Pembelian aset ini tidak sulit pencatatannya; sebab itulah hal ini dilakukan.

Berdasarkan data yang dikemukakan di atas sudah selayaknya pemerintah melakukan due-dilligence (menginvestigasi riwayat keuangan) atas investasi yang dilakukan TPL. Pengecekan secara langsung perlu betul  karena itu sangat berpengaruh terhadap kewajiban pajak perusahaan ini. (Bersambung)

*Penulis adalah guru besar keuangan dan pengamat bursa.

Editor: P. Hasudungan Sirait