Pesona Sihir Ananda di Kaldera Toba

Konser TOBA Ananda Sukarlan (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

JAKARTA, Kalderakita.com: Dari Bakara [baca:Bakkara] Ananda berbagi cerita. Beberapa hal penting—tapi sampai hari ini bukan pengetahuan khalayak luas—ia ungkapdan garis bawahi. Gayanya, seperti biasanya,  tentu saja meyakinkan sebab riset datanya tak main-main.

Di Bakara-lah beristana dinasti Si Singamangaraja yang berkuasa hingga 12 generasi. Di antara semuanya, raja pamungkas, Patuan Bosar (Ompu Pulo Batu), yang paling dikenal khalayak luas. Sebab, dia pahlawan nasional dan  gambarnya yang dibuat karikaturis-pelukis kenamaan Augustin Sibarani dulu lama menghiasai uang kertas berlatar biru, pecahan Rp 1.000. Si Singamangaraja XII ini diberondong anak buah Kapten Christoffel di hutan raya Sindias, Dairi. Dalam penyerbuan pada 17 Juni 1907  itu tewas juga 3 anak maharaja tersebut—Patuan Nagari, Patuan Anggi, dan Boru Lopian—serta sejumlah pengawalnya termasuk yang berasal dari Aceh.

Sampai 3 kali singgasana Bakara dihanguskan. Pertama,  oleh pasukan berpedang-berjubah putih, Padri, pada1824. Lantas, 2 kali oleh tentara Hindia Belanda yakni pada 30 April 2024 dan 13 Agustus 1883. Adapun istana yang bisa kita saksikan sekarang adalah tiruan yang usai direkonstruksi pada 1978.

Si Singamangaraja bukan orang Minang melainkan Batak tulen. Dan, Parmalim alias ugamo [agama] Batak, bukan Islam meski ada kesamaannya yaitu penganutnya tidak memakan daging babi. Begitu penegasan Ananda Sukarlan. Dua hal terakhir ini—Si Singamangaraja sebenarnya orang Minang dan Parmalim itu Islam—merupakan sinyalemen lama yang rapuh dasarnya namun masih saja dipercayai kalangan tertentu sampai detik ini.

Sebagai narator, Ananda Sukarlan, berbicara di halaman 4 rumah Batak yang tegak di Istana Bakara. Pada kesempatan itu dia juga menjelaskan pertunjukan yang akan ditampilkan timnya di sana. Antara lain tortor sawan [tari cawan putih] yang dibawakan 3 penari perempuan yang masih belia. Saat pertunjukan, satu dari mereka melenggak-lenggok tanpa menjatuhkan satu pun dari sekian cawan yang bertengger di pundak dan lengannya. Mereka diiringi panggorsi[pemusik tradisi] yang seperti di zaman doeloe mengambil tempat di palas-palas [balkon] depan ruma [rumah] Batak.

Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com

Trio gesek yang terdiri dari Christopher Robin, Edward van Ness, dan Vahur Luhrsalu unjuk kemampuan di depan ruma tersebut. Sedangkan sopran Vetalia Pribadi bernyanyi di harbangan [pintu masuk kampung] yang berupa celah yang dibentuk oleh bongkahan bebatuan besar bersusun. Pada kesempatan lain dan di spot yang berbeda, ia melantun di palas-palasdepan yang di kiri-kanannya bergelantungan bawang berdaun yang sedang dikeringkan. Tentu saja penampakan biduan itu menjadi lebih eksotik.

Bakara hanyalah 1 dari sekian spot yang dimunculkan. Lainnya termasuk kampus-sekolah DEL di Sipituama, Laguboti. Ananda juga berkisah tentang  lembaga pendidikan yang didirikan oleh Luhut Binsar Panjairan (LBP) ini. Tak hanya bangunan berasramanya yang megah tapi lulusannya juga serba berprestasi. Saat ini SMA DEL, kata Ananda, menjadi yang terbaik se-Indonesia. “Almamater saya, SMA Kanisius Jakarta, berada di peringkat ke-7,” ucap dia sembari tersenyum.

Institut Teknologi DEL juga gemilang. Dosennya umumnya dari ITB. Belum lulus pun, lanjut Ananda,  sebagian mahasiswanya sudah dilamar oleh korporasi besar,  termasuk Gojek dan Tokopedia. Perguruan tinggi ini juga sedang bersiap untuk menjadi pusat pengembangan tanaman herbal di Nusantara.

PANORAMA KALDERA

Narasi yang disampaikan Ananda Sukarlan serba menarik. Apalagi diayakan dengan gambar-gambar yang disyut di pelbagai kawasan dengan aneka angle [sudut bidik]. Drone dimanfaatkan untuk mengambil video dan foto dari pelbagai jurusan sehingga dinding terjal perbukitan dan lembah yang membentang di kakinya begitu nyata adanya.  Lembah Bakara yang luas dan subur itu, di antaranya.

“Dimana ini? Kok kayak di  pegunungan Alpen, Swiss, tempat syuting film ‘Sound of Music’…” kata seorang remaja pecinta film tatkala menyimak konser Toba di YouTube selepas maghrib kemarin.

Anak muda itu memang tidak melebih-lebihkan. Lokasi di ketinggian yang menjadi tempat Ananda Sukarlan memainkan grand piano, umpamanya, memang serasa di negeri orang. Kalau saja tak terlihat sekawanan kerbau asyik merumput di dekat sang pianis, kesannya seperti di Eropa saja. Tampaknya itu di kitaran Holbung, tempat 4 bukit berbaris yang berkakikan Danau Toba.

Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com

Pada spot lain, sawah tampak menghampar luas dengan gradasi warna kuning (sesuai dengan umur padi) yang dipisahkan tegalan.  Ini akan mengingatkan kita pada sistem subak di Bali.

Permukaan air yang terbelah di sepanjang lintasan feri juga menjadi pemandangan memikat. Namun, yang tak kalah hebat dari narasi dan bentang alam tadi adalah konser itu sendiri.

SIHIR ANANDA

Ananda Sukarlan menghasilkan komposisi  sendiri kalau bukan mengaransir karya orang lain. Atau, ia memusikkan krya sastra (puisi). Sesuai tema pagelaran, yang digarisbawahinya kemarin adalah ciptaan 3 komponis—Cornel Simanjuntak, Liberty Manik, dan Alfred Simanjuntak—dan seorang sastrawan: Sitor Situmorang. Keempatnya dari Sumatra Utara.

Karya ketiga komponis menjadi bahan dasar yang diayakan Ananda. Improvisasinya yang bertumpu pada khazanah musik klasik (ditambah dengan jazz dan cengkok gamelan Jawa dan Bali di sana-sini) membuat segala sesuatunya menjadi segar-nikmat.

Dalam memainkan karya-karya tersebut dia berkolaborasi dengan musisi lain termasuk dari Sumatra Conservatoire dan para pemenang di lomba yang ia gelar (Ananda Sukarlan Piano Competition dan Ananda Sukarlan Vocal Competition). Calvin Abdiel Tambunan (pianis yang sedang belajar di Konservatoriun Sydney, Australia) adalah produk ajang kompetisi tersebut. Juga vokalis Vetalia Pribadi (sopran) dan Nikodemus Lukas (tenor).

Sumatra Conservatoire adalah kelanjutan dari Medan Music School yang didirikan SY Lemye-Tjong (putri orang kaya Medan, Tjong A Fie) tahun 1950. Edward van Ness (biola alto;  ia warga AS yang sudah puluhan tahun bermukim di Indonesia), Vahur Luhrsalu (pemain cello; dia diplomat Estonia yang berdinas di Medan), dan Hannah Jonina Ivy menjadi pengajar di sana. 

Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com

Mumusikkan karya sastra sudah lama dilakukan Ananda, seniman kelas dunia yang sejak berusia 18 tahun telah bermukim di Eropa.  Semula ia berfokus pada karya raksasa sejagat seperti Garcia Lorca,  Walt Whitman, dan Robert Frost.  Dalam pertunjukan virtual kemarin ia memainkan puisi Robert Frost, ‘Nothing Gold can stay’.  Pula ciptaan penyair terkemuka Indonesia kelahiran Harianboho, Sitor Situmorang. ‘Surat kertas hijau’ dan ‘Malam Kebumen’ yang dibawakannya.

Sastrawan Sanusi Pane dan Amarzan Loebis tak ia lupakan. Juga komponis Karo kenamaan pencipta lagu ‘Piso surit’, Jaga Depari. Tentu saja karya sendiri yakni‘The Angry Birds’ Holiday in Bali’.  Begitu yang terakhir ini dimainkan, 2 remaja yang menonton lewat YouTube langsung terperangah. Hingga pukul 18.00, jumlah penonton Konser Online Andana Sukarlan sudah 8.205.

“Oh…sound track Angry Bird itu karya Oom Ananda Sukarlan…” kata seorang dari mereka. Keduanya lantas menirukanmelodinya yang ternyata sangat populer di kalangan anak-anak ‘zaman now’.

Kepiawaian Ananda Sukarlan—sang pencipta Rapsodia Nusantara (sudah 21 nomor) berpiano sungguh menakjubkan. Itu nyata, kemarin. Setiap tuts laksana dikuasainya luar kepala. Alhasil, seperti kata 2 remaja tadi—sejak zaman TK hingga sekarang anak kelas 1 SMA dan klas 3 SMP ini les piano klasik di Yamaha—jemarinya tak pernah meleset apalagi tergelincir. Kedua tangannya bergerak begitu leluasa di sepanjangbentangan dan terkadang bersilangan pula.  Kakinya yang menginjak-injak pedal memparipurnakan bahasa tubuhnya yang sangat ekspresif. Kemaestroannya sebagai pianis sungguh mengemuka.

Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com

Semesta mendukung (mestakung)! Tanpa direncanakan, konser Toba Ananda Sukarlan dkk. yang didukung Dirjen Kebudayaan ternyata ditayangkan di YouTube hanya 8 hari setelah Togu Simorangkir, utusan TIM 11 (yang merupakan bagian dari Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL)  diterima oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara (pada Jumat, 6 Agustus 2021). Siang itu Togu menyerahkan sebuah buku kepada RI-1 tentang kejahatan yang dilakukan Toba Pulp Lestari (TPL), korporasi perusak lingkungan Kaldera Toba tersebut selama 34 tahun terakhir. Jadi, pagelaran musik klasik ini dengan sendirinya menggongi perjuangan rakyat kawasan Danau Toba yang kini semakin berkobar saja.

Ah…semesta telah mendukung insan-insan yang menghargai mahluk hidup dan lingkungannya. Termasuk Ananda Sukarlan dkk. yang sihirnya begitu memesona.

https://www.youtube.com/watch?v=wza1aurH1M0