Illegalitas Kawasan dan Konsesi PT TPL

Masyarakat adat serukan Tutup TPL (foto: AMAN)

Oleh: Delima Silalahi (KSPPM), Tongam Panggabean (BAKUMSU), Roganda Simanjuntak (AMAN TANO BATAK), Rocky Pasaribu (KSPPM),dan Wilson Nainggolan (AMAN TANO BATAK)

Tulisan-2

JAKARTA, Kalderakita.com: Setelah mengalami revisi 8 (delapan) kali, terakhir SK 307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020, luas izin PT Toba Pulp Lestari kini menjadi 167.912  hektar, tersebar di 10 kabupaten.

KSPPM, Aman Tano Batak, dan Jikalahari melakukan pemantauan langsung di areal TPL untuk melihat kondisi terkini di sana baik dalam kawasan lindung  maupun kawasan lainnya dengan fungsi Areal Peruntukan Lain (APL). 

Setelah melakukan investigasi pada 2-16 Juni 2021 di sektor Tele, Habinsaran, Padang Sidempuan dan Aek Raja, konsorsium ini menemukan:

Pertama, PT TPL melakukan penanaman dalam kawasan Hutan Lindung di konsesinya. Areal yang seharusnya menjadi kawasan yang dilindungi, justru mereka ubah menjadi areal produksi. Ditemukan adanya penanaman eukaliptus yang berdekatan dengan tanaman hutan alam. Padahal kawasan dalam fungsi Hutan Lindung yang pastinya memiliki nilai high carbon stock (HCS, stok karbon tinggi, SKT) dan high conservative value (HCV, nilai konservasi tinggi, NKT)  dan menjadi rumah bagi berbagai flora dan fauna yang dilindungi. Nyatanya,TPL abai dan justru menanam eukaliptus di kawasan ini.

Kedua, PT TPL melakukan penanaman di dalam konsesinya yang berada dalam fungsi Areal Penggunaan Lain (APL).  TPL harusnya mengeluarkan areal dengan fungsi APL dari izin konsesi mereka. Karena pada hakikatnya, izin penggunaan kawasan hutan berada di atas fungsi kawasan hutan produksi atau hutan produksi tetap dan tidak dibenarkan berada dalam fungsi APL yang peruntukkannya jelas bukan untuk  kehutanan. Dengan tidak dikeluarkannya areal APL dari  konsesi PT TPL, hal ini meruncingkan konflik lahan dengan  masyarakat.

Ketiga, PT TPL memanfaatkan pola Perkebunan Kayu Rakyat (PKR) untuk menanam eukaliptus di luar izin konsesinya demi memenuhi bahan baku produksi. Pola PKR ini memanfaatkan areal milik masyarakat yang dikerjasamakan dengan TPL untuk ditanami eukaliptus.  TPL akan menanggung biaya untuk pembelian bibit hingga penanaman dan masa panen. Kayu yang ditanam akan dibeli oleh TPL. Pola PKR ini pada awalnya didukung pemerintah karena dianggap akan meningkatkan nilai guna lahan dan ekonomi masyarakat. Namun pertanyaan besar dari pola yang diterapkan PT TPL ini adalah:  benarkah dengan pola PKR, masyarakat di sekitar konsesi menjadi lebih sejahtera?

Keempat, TPL menebang kayu hutan alam jenis kulim dan kempas di dalam konsesinya. Ditemukan aktifitas pembukaan hutan alam yang diperuntukkan sebagai areal penanaman bibit eukaliptus baru di konsesi TPL sektor Habinsaran. Pembukaan ini menggunakan alat berat dan diperkirakan berlangsung sejak 2 bulan lalu. Bertempat di Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, tegakan kayu hutan alam ini berdiameter lebih dari 30 cm.


2. Bertentangan dengan UU Kehutanan dan Pertanahan

2.1. Kehutanan

Hasil investigasi memperlihatkan bahwa areal kerja atau konsesi TPL berada di atas kawasan hutan dengan Fungsi Lindung (HL), Fungsi Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK), dan Areal Penggunaan Lain (APL). Ini tidak dibenarkan menurut  UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Penggabungan 2 data atau lebih secara tumpang susun (overlay) berdasarkan  Geographic Information Systems (GIS)  dilakukan tim Jikalahari  untuk mengetahui kawasan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau IUPHHKHT TPL dengan fungsi kawasan hutan. Hasilnya? 

Areal TPL berada dalam kawasan Hutan Lindung (HL) seluas 11.582,22 hektar, Hutan Produksi Tetap (HP) 122.368,91 hektar, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 12.017,43 hektar, Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) 1,9 hektar,  dan Areal Penggunaan Lain (APL) 21.917,59 hektar. Dari 188.055 hektar konsesi TPL, setidaknya 28%  (52.668,66 hektar) adalah ilegal karena berada di atas HL, HPK, dan APL.

Merujuk pada aturan Kehutanan sebelum UU Cipta Kerja terbit, seharusnya total areal ilegal TPL seluas 141.537 hektar (HPTerbatas, HL, HPK, dan APL) dari 188.055 hektar atau 75,26% karena TPL hanya diizinkan di areal Hutan Produksi Tetap (HPTetap) seluas 122.368,91 hektar.  Namun, pasca UU Cipta Kerja terbit, HP Terbatas dilebur menjadi Hutan Produksi Tetap, sehingga total luasan TPL menjadi 135.386,34 hektar.

Pasal Peralihan 184 huruf b UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja berbunyi “Perizinan Berusaha dan/atau Izin Sektor yang sudah terbit sebelum berlakunya Undang-undang ini dapat berlaku sesuai dengan Undang-undang ini”.

Paska terbitnya UU Cipta Kerja, pemerintah menerbitkan antara lain Peraturan Pemerintah (PP) No 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan jo PermenLHK No 7 tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan serta Penggunaan Kawasan Hutan jo PermenLHK No 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi.

Nasib Hutan kemenyan di Tano Batak setelah kehadiran TPL (fotoL Mongabay)

Pasal 31 Ayat 1 huruf b dan c PP 23  Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan berbunyi mengatur Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi (HP). Hutan Produksi (HP) terdiri atas hutan produksi tetap (HPT) dan Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK).  Pengaturan legalitasnya diatur tersendiri. Dalam HL disebut  Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) pada Hutan Lindung, dalam HP disebut PBPH pada Hutan Produksi. 

PBPH Pada Hutan Lindung salah satunya Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu berupa rotan, madu, getah, buah, biji, jamur, daun, bunga, sarang burung walet dan atau hasil hutan bukan kayu lainnya dilakukan dengan ketentuan:  hasil hutan kayu yang dipungut harus sudah tersedia secara alami dan atau hasil rehabilitasi, tidak merusak lingkungan, tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya, dan memungut hasil hutan baku sesuai jumlah, berat atau volume yang diizinkan. Jangka waktu Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung paling singkat 35 tahun.  

PBPH pada Hutan Lindung Bukan Kayu pada prinsipnya melarang menebang pohon pada areal PBPH, melakukan pemanenan atau pemungutan hasil hutan melebihi daya dukung hutan, memindahkan PBPH kecuali dengan persetujuan tertulis dari pemberi Perizinan Berusaha, membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam, menggunakan peralatan mekanis dan alat berat dan atau meninggalkan area kerja.

PBPH pada Hutan Produksi Hasil Hutan Kayu budidaya tanaman berupa penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan, pengolahan dan pemasaran. PBPH pada Hutan Produksi diberikan untuk jangka waktu paling lama 90 tahun. PBPH pada hutan Produksi dilarang diberikan dalam wilayah kerja BUMN bidang kehutanan yang telah mendapat pelimpahan penyelenggaraan pengelolaan hutan, kawasan hutan yang telah dibebani PBPH, kawasan hutan yang telah diberikan persetujuan pengelolaan perhutanan sosial,  dan kawasan hutan yang telah diberikan persetujuan penggunaan kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan.

Khusus untuk HPK peruntukan pembangunan di luar kawasan hutan atau non kehutanan, itu  biasanya langsung dilepaskan dari kawasan hutan menjadi APL. Perizinan APL berlaku merujuk ke UU No 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria.

PBPH pada Hutan Lindung tidak boleh diberikan pada PBPH pada Hutan Produksi begitu pula sebaliknya. Rujukannya Pasal 31 Ayat 3 Huruf C PP 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang berbunyi “Hutan Produksi Tetap, di luar kawasan hutan lindung, kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam dan taman buru.” 

Hutan dibabat untuk tanaman monokultur eukaliptus (foto: Batak Indonesia)

Bila PBPH pada Hutan Produksi  Tetap berada di atas PBPH Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang Dapat di Konversi (HPK), selain dikenakan sanksi administrasi, juga dapat dikenakan sanksi pidana, apalagi sampai menebang kayu di dalam Hutan Lindung. 

UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana diubah dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 36 No 12 yang mengubah ketentuan Pasal  82 ayat 3 huruf a, b dan c yang intinya korporasi menebang pohon dalam kawasan hutan tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Hutan, penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha dari pemerintah pusat dan melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah, pengurusnya dipidana penjara paling singkat 5 tahun, paling lama 15 tahun, denda paling sedikit Rp 5 milyar, paling banyak Rp 15 milyar. Korporasi dikenai pemberatan 1/3 dari denda pidana yang dijatuhkan.

Temuan hasil investigasi, TPL menanam eukaliptus di dalam Hutan Lindung yang masuk dalam areal kerja PT TPL. Tahun 2007, alat berat mereka menebang kayu alam di titik N 04 62’ 725” E 02 74’ 03”, sekitar 318 meter dari jarak penebangan. Tahun 2021, tim investigasi menemukan bahwa areal tersebut telah ditanami eukaliptus. Artinya, tanaman eukaliptus yang ditemukan tim Investigasi 2021 bekas kayu alam yang ditebang oleh TPL tahun 2017.

Temuan lainnya, TPL telah melakukan penebangan hutan alam jenis kayu kulim dan kempas dengan diameter lebih dari 30 cm di dalam HPT. Dua jenis kayu ini termasuk tanaman yang dilindungi sesuai dengan PermenLHK No 20 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi terbit pada  29 Juni 2018.

Enam bulan kemudian, pada 28 Desember 2018, terbit PermenLHK No 106 Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas PermenLHK 20 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, di mana kempas dikeluarkan dari jenis tumbuhan yang dilindungi.  PermenLHK tersebut bertentangan dengan moratorium hutan sejak 2010 hingga 2019 yang diterbitkan oleh pemerintah dalam bentuk Inpres.

Hutan digunduli (foto: Hetanews)

Inpres terakhir bukan lagi moratorium tapi penghentian permanen merujuk pada Inpres No 15 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Hutan Gambut terbit pada 17 Agustus 2019. Salah satunya Menteri LHK harus menetapkan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPIB) hutan alam primer pada kawasan hutan yang telah direvisi serta melakukan upaya pengurangan emisi dari hutan alam primer melalui perbaikan tata kelola pada kegiatan usaha yang diusulkan pada hutan alam primer yang ditetapkan pada PIPIB.

Semestinya areal di dalam konsesi TPL yang masih berupa hutan alam secepatnya direvisi oleh KLHK untuk dimasukkan dalam PIPIB agar tidak ditebang oleh TPL. Penebangan akan  berpengaruh pada peningkatan emisi.

2.2. Pertanahan

Areal kerja TPL yang di dalam Areal Penggunaan Lain (APL)  umumnya berada di luar kawasan hutan sehingga  bertentangan dengan UU Kehutanan maupun UU Pokok Agraria. Menurut regulasi ini,  pada prinsipnya APL berada di luar kawasan hutan. Pula, tidak boleh ada izin atau perizinan berusaha di kawasan hutan dalam APL. Mengelola APL yang berasal dari kawasan hutan menjadi kewenangan Menteri  Agraria dan tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). 

Ketidakpatuhan TPL terhadap perkembangan produk perundangan-undangan di bidang kehutanan juga terlihat pada pola kerjasama yang dibuatnya bersama masyarakat dalam wujud  Perkebunan Kayu Rakyat (PKR) baik dalam konsesi mereka maupun di luarnya atau di APL. Pola PKR dalam konsesi TPL tidak dikenal dalam Khazanah  kehutanan.

Dalam kehutanan dikenal pola kerjasama antara masyarakat dengan korporasi berupa Kemitraan Kehutanan merujuk pada Permenhut 39 Tahun 2013 tentang pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan kehutanan. Lalu, pada 2016 terbit P.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial jo P9 Tahun 2021 tentang pengelolaan perhutanan sosial. Ringkasnya, kemitraan  TPL dengan pola PKR dalam areal konsesinya bertentangan dengan aturan kehutanan. 

Adapun pola PKR antara TPL dengan masyarakat sekitar di luar kawasan hutan, itu  dibenarkan jika merujuk Permenhut No 30 tahun 2012 tentang Penataan Hasil Hutan Yang Berasal dari Hutan Hak. 

Pola kerjasama dengan pendekatan PKR yang dilakukan oleh PT TPL sesungguhnya tidak diminati masyarakat; jadi,  dipaksakan oleh perusahaan. Hal ini tertuang dalam thesis yang ditulis oleh Dame S Lumbantobing pada 2015,  Analisis Stratejik Manajemen PT Toba Pulp Lestari untuk program pengembangan Perkebunan Kayu Rakyat (PKR).

Demi pertahankan hutan adat, masyarakat kerap diancam (foto: Mongabay)

Analisis Dame bertujuan untuk menemukan faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi keberhasilan program ini. Dia memaparkan bahwa TPL mengusung pola PKR bersama masyarakat dengan menanam eukaliptus di atas tanah hak milik masyarakat. Perusahaan akan menyediakan bibit. Pula, menanggung semua biaya dari penyiapan lahan hingga pemanenan dan pengangkutan hasil ke pabrik.

Dari kerjasama pola PKR ini masyarakat akan mendapatkan keuntungan  berupa upah atas pengerjaan lahannya serta hasil pemanenan kayu dengan pembagian persentase: 40% (untuk masyarakat) dan 60% (pengembalian modal investasi yang dikeluarkan perusahaan dari awal hingga proses penanaman).

Namun program yang sudah diusung sejak 1991 ini tidak terlalu diminati masyarakat. Pada 2013, jumlah area PKR menurun karena warga sudah tidak ingin melanjutkan perikatan. Rendahnya pendapatan dari hasil kerjasama—cuma Rp 2,5 juta per bulan atau Rp 30,8 juta per tahun—sementara daur atau jangka waktunya lama, 5 tahun, membuat pola  ini tidak disukai masyarakat.

TPL berupaya menarik masyarakat untuk tetap mempertahankan pola PKR ini dengan melakukan promosi hingga ke rumah-rumah serta menaikkan harga pembelian kayu. Tapi, hasilnya tidak maksimal. Masyarakat tetap tidak tertarik melanjutkan.

Keberadaan Konsesi PT TPL Tanpa Pengukuhan Kawasan Hutan di Wilayah Adat

Konsesi PT. Toba Pulp Lestari (TPL) diberikan berdasar peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) 1982. Peta TGHK ini sifatnya memberikan arahan ihwal alokasi kawasan hutan dan fungsinya. Statusnya dalam konteks tata perencanaan kehutanan berupa ‘penunjukan’ yang kemudian ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri. Peta TGHK 1982 belum masuk ke status penunjukan.

Bila mengacu peraturan perundangan-undangan, Pengukuhan Kawasan Hutan adalah rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan untuk memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas dan luas wilayah tertentu sebagai kawasan hutan. Status ‘penunjukan’ ini belumlah memiliki kekuatan  hukum tetap.

Dalam pengukuhan kawasan hutan untuk mendapatkan kepastian hukum, seharusnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dijadikan rujukan;  termasuk dalam penataan batas dan pemetaan kawasan hutan.

Pertama, Putusan MK No. 45/2011  Mengenai pengujian konstitusionalitas kawasan hutan tidak  sekadar penunjukan kawasan hutan. Itu harus dilakukan melalui penataan batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan.

Kedua, Putusan MK No. 35/2012 terkait status hutan adat yang tidak lagi berstatus hutan negara. Jadi status hutan terdiri dari: hutan negara,  hutan adat,  dan hutan hak.

Ketiga, Putusan MK No. 34/2011 terkait penguasaan hutan oleh negara, yang wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundangan-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Pengukuhan kawasan hutan harus menjadi pintu masuk untuk mendorong percepatan penyelesaian konflik tenurial (hak dan jaminan atas hak) yang merupakan permasalahan mendasar selama ini.

Proses pengukuhan kawasan hutan tidak lagi hanya sebatas untuk pemenuhan syarat administrasi legal formal. Aspek legitimasi dari sebuah proses pengukuhan kawasan hutan harus mengutamakan inventarisasi kepemilikan lahan dan social mapping (pemetaan sosial). Dan,  itu harus terbuka atau transparan.

Merujuk Pasal 22 ayat 3 PP 23 Tahun 2020 tentang Perencanaan Kehutanan, Hasil Penetapan Kawasan Hutan berupa berita acara tata batas kawasan hutan dan peta tata batas kawasan hutan yang telah temu gelang (artinya: telah bertemu kedua ujungnya laksana gelang; para pihak sudah bersepakat), terbuka untuk diketahui masyarakat.

Sampai sekarang, masyarakat  pemilik lahan yang berbatas dengan kawasan hutan tidak dapat mengaksesnya. Bukti penataan batas ini akan dikatakan selesai jika Berita Acara Tata Batas (BATB) ditandatangani sebagai bentuk persetujuan dari pemilik lahan yang berbatasan dengan kawasan hutan yang dikukuhkan.

Proses pemetaan pun akan dianggap selesai kalau sudah temu gelang. Artinya, bukan hanya sekadar pemajangan tata batas, tetapi pelaksanaan tata batas kawasan hutan sudah temu gelang dan telah disepakati oleh semua pihak.   Tahapan inilah yang bisa membuktikan bahwa semua hak  pihak ketiga sudah diakomodir dan diakui dalam proses tata batas. Setelah itu baru kawasan hutan itu dikukuhkan lewat keputusan menteri.

Dalam kasus TPL, status kawasan masih berupa arahan alokasi (penunjukan) tapi pemerintah sudah menerbitkan konsesi di atasnya.  Kawasan hutan yang masih berstatus arahan alokasi (penunjukan)  dan belum dikukuhkan (ditata batas, dipetakan, dan ditetapkan) sebagai kawasan hutan  sudah diberikan hak penguasaannya kepada perusahaan. 

Kampung/huta dan wilayah adat yang ada dan belum keluarkan dari  “peta alokasi/penunjukan kawasan hutan” langsung ditimpa dengan konsesi. Ini namanya pencurian atau pengambilan sepihak secara paksa hak-hak masyarakat adat.

Oleh karenanya, pengukuhan kawasan hutan di wilayah adat merupakan prioritas menteri. Menteri LHK memprioritaskan percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan pada daerah strategis;  salah satunya adalah hutan adat yang merupakan bagian dari wilayah adat masyarakat adat.  

Kerusakan Fungsi Hidrologi Daerah Tangkapan Air Danau Toba Akibat Aktivitas PT Toba Pulp Lestari

Luas Daerah Tangkapan Air Danau Toba adalah 390.000 hektar (luas perairan Danau Toba  sekitar 112.000 hektar dan luas daratannya sekitar 279.000 hektar).

Konsesi TPL berada di 4 wilayah Hulu DTA dan  DAS Danau Toba : DAS Aek Silang, DAS Aek Bolon, DAS Aek Nauli, dan DAS Aek Simare yang terletak di 4 kabupaten yaitu Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Toba, dan Simalungun. Ada sekitar 36.544 hektar areal konsesi TPL berada di Daerah Tangkapan Air Danau Toba, dimana terdapat 55 sungai besar dan 3.039 anak sungai yang menjadi pemasok air untuk Danau Toba yang rusak akibat aktivitas TPL di Hulu DTA tersebut.  Hal ini membuat lahan pertanian seperti sawah, salah satunya di Kabupaten Toba, beralih fungsi seluas 2.000 hektar lebih akibat terganggunya pasokan air dari hulu.

Banyak tanaman maupun aktivitas TPL berada sangat dekat dengan sempadan anak sungai maupun anak sungai. Jarak tanam eukaliptus yang seharusnya berjarak 100 meter dari sungai dan 50 meter dari sempadan anak sungai dan 200 meter dari mata air. Hal ini melanggar Permen KLHK  No12 Tahun 2015 tentang Pembangunan Tanaman Industri (Tata Ruang IUPHHK-HTI) Pasal 7.

Sekitar 17 ribu hektar aktivitas masif PT. TPL ini berada di Daerah Tangkapan Air Danau Toba sejak tahun 2001-2020

Hasil Analisis Tutupan Lahan (1990-2019) dan Deforestasi TPL selama Tahun 2001-2020

Unit Kerja Pemetaan Partisipatif (UKP3) AMAN Tano Batak  menganalisa hasil tutupan lahan yang bersumber dari data webgis Departemen Kehutanan Republik Indonesia dan beberapa data spasial lainya. Hasilnya menunjukkan perubahan signifikan tutupan lahan atau pun hutan di sekitar konsesi PT. Toba Pulp Lestari selama 30 tahun   terakhir.

  • Pada 1990, TPL  memiliki  Hutan Tanaman seluas  38.000 hektar dan tutupan hutan di wilayah konsesi tersebut 67.196 hektar.
  • Pada 1996, luas hutan tanaman ini  masih  seperti semula.
  • Dalam rentang 1996-2000, luas hutan tanaman tadi bertambah menjadi 44.565 hektar dan tutupan hutan alam (primer dan sekunder) berkurang menjadi 59.000 hektar atau menyusut sekitar 8.000 hektar dalam 4 tahun.
  • Pada 2000-2006,  perluasan hutan tanaman tidak terjadi.
  • Pada 2006 – 2009, atau dalam waktu 3 tahun, masif pembukaan hutan untuk perkebunan eukaliptus. Dari 44.000 hektar, sekitar 10.000 hektar hutan alam (primer dan sekunder) habis untuk perluasan tanaman eukaliptus. Dari 59.000 hektar, hutan tanaman menjadi 60.000 hektar. Pada sisi lain, tutupan hutan menyusut menjadi 49.000 hektar,  dari  44.000 hektar.
  • Pada 2009-2019,  atau dalam kurun 1 dekade, luas hutan tanaman bertambah menjadi 72.000 hektar atau naik sekitar 12.000 hektar.
  • Sejak masa Indorayon hingga sekarang (3 dekade lebih) perusahaan sudah membuka hutan dan lahan  72.000 ribu hektar. 
  • Dalam  2 dekade (2001-2020) kehilangan tutupan hutan/deforestasi (primer ataupun sekunder) oleh aktivitas TPL 67.000 hektar. Sebanyak itu bentang alam hutan yang hilang di seluruh konsesi. Demikian menurut analisis citra, analisis peta tutupan lahan, dan sumber data deforestasi dari Global Forest Watch.

Sungguh luar biasa, bukan kejahatan PT Inti Indorayon Utama yang belakangan hari ganti kesing menjadi PT Toba Pulp Lestari?

Parapat, 24 Juli 2021

 

Editor: P Hasudungan Sirait.