Lebih Banyak Mudharat TPL daripada Manfaatnya

Pabrik TPL di Sosor Ladang (foto: Waspada)

Oleh: Sintia Simbolon, Hengky Manalu, Samuel Purba, dan Abdon Nababan*

Tulisan-1

JAKARTA, Kalderakita.com: Untuk memotret dampak kehadiran PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Provinsi Sumatera Utara terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar pabrik di Sosor Ladang dan di areal konsesi hutan tanaman industri (HTI) mereka yang tersebar di 13 kabupaten, tim kecil ini menggunakan data dari berbagai sumber serta hasil pengamatan yang dilakukan KSPPM, AMAN Tano Batak, dan Gerakan Tuntut Acta 54 (GTA54) tentang 5 hal: perubahan pendapatan, kesempatan berusaha dan mata pencaharian, mutu layanan pendidikan dan kesehatan, serta mutu lingkungan hidupnya. Temuannya seperti berikut:

Gagal menciptakan lapangan kerja

Data yang tersedia dan hasil observasi terhadap kehadiran pabrik pulp di Sosor Ladang, Kecamatan Parmaksian,  tidak menunjukkan adanya pembukaan lapangan kerja bagi warga yang hidup turun-temurun di sana. Baik karyawan tetap maupun buruh harian lepas (BHL) yang bekerja di pabrik ini mayoritas pendatang dari luar Parmaksian.

Karyawan berstatus asisten pun tak adaKecamatan, Porsea. Semula mitra Lokal TPL banyak warga sekitar pabrik. Lambat laun mereka  tersingkir karena digantikan orang luar daerah.

Gagal meningkatkan taraf hidup masyarakat 

Secara umum, kehadiran pabrik TPL di Sosor Ladang tidak meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat.  Mata pencaharian utama mereka sejak dahulu sampai sekarang tidak banyak berubah, yaitu bertani dan berdagang. Di bidang pertanian yang terjadi justru penurunan produktifitas lahan sawah.

Sebelumnya, sawah di daerah ini mampu menghasilkan gabah 30 kaleng/rantai. Sejak TPL hadir angka ini berkurang menjadi 20 kaleng/ rantai. Menurut para petani, penurunan produktifitas sawah disebabkan oleh sumber air untuk pengairan (irigasi) yang kian berkurang, cuaca tidak lagi mendukung, dan kerusakan padi akibat hama tanaman yang meningkat dikarenakan pabrik yang di Sosor Ladang.

Segelintir saja warga sekitar pabrik yang menjadi BHL perusahaan. Namun, kesejahteraannya juga tidak bisa disebut layak. Rerata gaji BHL sudah bagus bisa menerima Rp 1,6 juta per bulan bersih; pendapatan yang tidak lebih baik dari warga lainnya yang menjadi petani.

Para BHL ini selalu mengeluh bahwa pendapatannya tidak cukup untuk menyekolahkan anak ke perguruan tinggi. Perusahaan memang punya program bantuan untuk pengembangan pertanian. Tapi,  hasilnya tidak cukup nyata meningkatkan taraf hidup petani di sekitar pabrik. Bantuan-bantuan dari perusahaan ke mereka, kata sejumlah petani,  selama ini hanya untuk pencitraan belaka.

Kompleks perusahaan pulp PT TPL (foto: Tempo)

Kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang stagnan ininyata dari penampakan rumah mereka yang tidak banyak berubah selama 30 tahun terakhir. 

Memusnahkan mata pencaharian 

Bukan hanya penurunan produktifitas lahan sawah yang terjadi.  TPL juga menghilangkan mata pencaharian yang sebelumnya sangat penting bagi masyarakat. KSPPM mencatat hilangnya mata pencaharian beternak kerbau.

Dahulu masyarakat di Sosor Ladang juga hidup dari berternak kerbau. Mata pencaharian ini punah sudah  karena lokasi penggembalaan (parjampalan) telah menjadi peruntukan bangunan TPL. Di daerah ini, seperti kata Sindar Manurung, warga berusia 70 tahun, dulu 1 kepala keluarga minimal memiliki 10 ekor kerbau. Sekarang itu tinggal kenangan. 

Nasib yang sama juga dialami para petani pembudi daya ikan. Dulu daerah ini dikenal sebagai penghasil ikan bermutu tinggi. Para petani ikan tidak dapat lagi memproduksi ikan seperti itu.

Pencemaran udara oleh limbah gas juga mengganggu tanaman buah-buahan dan tanaman kehutanan. Produksinya nyata merosot drastis.

Tidak memperbaiki layanan pendidikan dan kesehatan masyarakat

TPL tidak memberi kontribusi nyata dalam peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan masyarakat sekitar pabrik. Pemerintahlah yang paling banyak berperan selama ini.

Layanan pendidikan dan kesehatan masih menjadi masalah serius di kitaran pabrik. TPL memang aktif mempromosikan bantuan beasiswa dan bantuan pendidikan lainnya lewat berbagai media massa. Tapi, menurut masyarakat, penerimanya adalah para siswa dan mahasiswa dari luar Parmaksian dan daerah Porsea lainnya.

Berdasarkan hasil observasi GTA54,  sebelum tahun 1990 masyarakat petani mampu mengkuliahkan anaknya hingga ke Pulau Jawa. Sejak TPL hadir, tak ada lagi petani terdampak yang sanggup melakukannya.

Memperburuk lingkungan hidup dan mutu kehidupan

Sejak pabrik pulp TPL Sosor Ladang beroperasi tahun 1988 mutu lingkungan hidup di kawasan ini terus memburuk. Hal-hal berikut menjadi penandanya.

Setiap hari di sekitar Sosor Ladang tercium bau limbah TPL. Munculnya teratur yakni sekitar pukul 10.00 dan 02.00, kadang pada sore hari juga. Dari jarak 100 meter ke pabrik pun aroma tak sedap itu sudah menyergap hidung.

Pabrik PT TPL (foto: media andalas)

Sungai dan sumur  tidak layak pakai lagi. Dahulu,  di sungai sekitar Sosor Ladang orang masih sangat gampang menemukan ikan pora-pora dan ihan. Kini  sudah tidak ada lagi ikan di sungai. Air sumur di Sosor Ladang pun  tak bisa lagi dikonsumsi  sehingga masyarakat terpaksa harus membeli air galon untuk dimasak dan diminum.

Sekitar tahun 1996, saat masih bernama Indorayon,  warga Sosor Ladang menderita sakit gatal-gatal dikarenakan limbah. Pabrik kala itu masih memproduksi rayon dan limbahnya mencemari air warga. Mereka  juga resah akibat limbah cair dan padat yang sesekali dibuang perusahaan ke Sungai Asahan pada malam hari. Limbah gas menyebabkan atap rumah penduduk cepat keropos.

Saban minggu, sampai sekarang, nursery (tempat pembibitan atau pembesaran) TPL sangat masif menggunakan pestisida. Air pestisida dari misting (pembasmian hama dengan cara mengembunkan) dan air  nursery terbuang ke persawahan penduduk. Kematian ikan emas dan gatal-gatalah akibatnya.

Satu lagi, jalan-jalan yang dilalui truk-truk besar TPL selalu berdebu. Lintasan itu lekas pula rusak dan korporasi tak bertanggung jawab memperbaikinya.

Infrastruktur yang dibangun  tidak menyamankan warga

Salah satu manfaat yang biasanya dirasakan masyarakat sekitar pabrik adalah fasilitas umum. Nyatanya, hal seperti itu tak dinikmati  penduduk Sosor Ladang selama ini. Efek menetes ke bawah (trickle-down effect) hampir tidak terjadi di sana.

Gagal menggerakkan ekonomi lokal 

Bukan hanya infrastruktur yang tidak dinikmati masyarakat. Pabrik TPL juga tidak berkontribusi untuk memperbaiki dan menyediakan sarana ekonomi di kawasan ini. Sekali lagi,  konsep trickle-down effect tak terjadi  di daerah ini.

*Penulis adalah para pegiat lingkungan dan masyrakat adat

Editor: P Hasudungan Sirait