Kalderakita.com: DILI, Timor Leste, pada 12 September 2001.
Ajaib! Pagi itu televisi kecil kami menyala. Artinya, listrik mengalir. Biasanya, dalam sehari paling sejam saja energi yang maha penting ini bisa kami nikmati yakni sejak sekitar pukul 18.00. Tak pernah dimatikan, perangkat elektronik bermerek Polytron yang berada di dekat kasur tua dan dikelilingi pelbagai barang mengonggok akan hidup dengan sendirinya begitu listrik tersambung. Jadi, ia semacam petunjuk juga bagi kami di masa yang memang tak begitu mementingkan waktu: listrik sudah hidup.
Timor Leste belum lama menjalankan referendum (tepatnya pada 30 Agustus 1999). Instalasi listrik, air minum, telepon, dan layanan umum lain nyaris tak berfungsi sebab telah dibumihanguskan pasukan Indonesia saat akan angkat kaki. Perekonomian masih lumpuh betul sehingga bahan pangan pun langka. Dalam situasi yang serba payah seperti itu tentu tak banyak yang perlu kami lakukan di negeri yang pemerintahan sementaranya dijalankan otoritas PBB bernama UNTAET sejak 25 Oktober 1999.
Apakah orang-orang PBB di sana pada masa itu sesusah rakyat banyak? Tentu saja tidak. Mereka memiliki perlengkapan dan bekal yang lebih cukup. Standarnya pun internasional. Ya, namanya juga otoritas negara.
“Gedung WTC ditabrak pesawat!” seorang kawan berteriak sampai 2 kali. “Menara kembarnya terbakar.”
Teriakan itu kudengar dari ruang redaksi, tempat diriku saban hari menggelar ‘sleeping bag’ dan menggantung kelambu untuk mengamankan diri dari nyamuk yang ‘bejibun’. Dua teman yang sedang menampung tetesan air di belakang untuk dijerang, kudengar merapat ke dekat televisi. Ketiganya lantas berseru-seru sekerasnya.
Penasaran, diriku bergegas ke sana setelah menggulung perlengkapan tidur. Seperti biasa, ‘sleeping bag’ dan kelambu kutaruh di dekat Polytron berantena bawaan.
Peristiwa pemboman menara kembar WTC yang tak pernah terlupakan (foto: Istimewa)
Pemandangan di layar mungil itu memang sangat dramatik. ‘TVTL’ (semacam ‘TVRI’ kita) mengulang-ulang adegan 2 pesawat bajakan menabrak menara utara dan selatan dengan selang 18 menit. Asap pekat mengepul di titik sasaran. Puing, debu, kertas, dan manusia terjun bebas tampak jelas. Mereka yang tunggang-langgang di pelataran menara kebanggaan AS dan petugas pemadam kebakaran yang sedang berjuang keras menjalankan tugas, terlihat. Pun, para korban yang sudah tak bernyawa dan yang masih hidup.
Adegan menara utara dan selatan yang kemudian ambruk hingga rata dengan tanah berkali-kali tampak di layar. Melongo kami menyaksikannya. Sungguh tak kami duga serangan seperti itu bakal terjadi di negeri paling adidaya sedunia. Disebut di TV saat itu kelompok Al-Qaeda yang dipimpin Osama bin Laden pelakunya.
Tentu, yang kami lihat adalah tayangan yang sudah tak baru. Sebab, penabrakan pertama berlangsung pada 11 November pukul 08.46 waktu New York (sekitar 12 jam bedanya dari waktu Jakarta). Begitupun, baru pada pagi tanggal 12 itu kami menyadari apa yang sedang terjadi. Maklumlah, Dili dan kawasan Timor Leste lain sedang buruk betul infrastruktur telekomunikasinya. Jadi, berita telat adalah hal biasa.
Angkat Kaki
Tak lama berselang, teman-teman awak redaksi berdatangan dari kediaman masing-masing. Termasuk Helio Freitas yang menjadi Redaktur Pelaksana majalah kami, ‘Lian Maubere’. Sembari ngopi dan mengganyang mi instan murahan yang digodok tanpa telor, kami membahas aksi gila yang menggunakan pesawat komersial bajakan. Seperti biasa, hadirin tak selalu seia-sekata di kantor kami yang letaknya sepelemparan batu saja dari bekas kantor gubernur yang telah menjadi markas UNTAET.
Presiden AS George Walker Bush sesaat setelah WTC runtuh (foto: Istimewa)
Kawan-kawan belia yang muak terhadap kapitalisme dan penjajahan modern ada yang memuji aksi Al-Qaeda. Sebaliknya, mereka yang lebih senior umumnya mencela dengan pertimbangan kemanusiaan. Di saat diskusi sedang seru-serunya, seorang dari kami bersuara dengan nada yang lain dari yang lain.
“UNTAET bisa pergi lho dari Timor Leste ini sebentar lagi,” ucap Laurindo Deixas Miranda.
“Sebabnya,” sergahku.
“PBB sudah punya mainan baru sekarang: peperangan melawan teroris ini. Timor Leste tidak akan menarik lagi di mata mereka,” jawab sang Penanggung jawab Redaksi yang dulu kuliah di Malang.
Terhenyak kami semua akibat hal yang sebelumnya tak pernah terlintas di benak kami.
Kami lantas mengira-ngira apa gerangan yang akan terjadi kalau PBB sampai angkat kaki dari negeri yang pernah menjadi provinsi ke-27 Indonesia. Ternyata skenario suram yang muncul
“Kalau PBB pergi majalah kita ini akan mati karena ditinggal donor. Tapi bukan hanya kita, yang lain, yang sama-sama mengandalkan bantuan asing pasti bernasib sama. Sialnya, organisasi sipil yang mandiri secara keuangan belum ada di Leste ini,” kata Abilio Sarmento. Redaktur ini seorang yang rajin membaca dan mencari informasi lewat internet.
Terdiam kami mendengar ucapannya. Kendati hanya konsultan media, diriku ikut terhenyak. Soalnya aku sudah terlanjur merasa senasib-sepenanggungan dengan mereka.
KENYATAAN
Apa yang kami khawatirkan ternyata menjadi kenyataan kemudian. Pemerintah Presiden George Walker Bush menyatakan Osama bin Laden sebagai otak peledakan menara kembar WTC. Perburuan terhadap kaum Al-Qaedah segera mereka lakukan. Pakistan dan Afghanistan yang dianggap melindungi lelaki Arab Saudi yang semula sekutu AS itu menjadi sasaran.
Tragedi kemanusiaan (foto: Istimewa)
Orang-orang PBB di Timor Leste mulai berpaling. Ke Pakistan dan Afghanistan mereka pergi. Tapi yang paling banyak adalah ke Irak.
Pada Maret 2003 AS menduduki Irak dan menggulingkan Saddam Hussein. Alasannya, presiden itu sedang mengembangkan senjata pemusnah massal, selain menyengsarakan rakyatnya sekian lama. Tuduhan yang pertama ini hingga sekarang pun tak bisa dibuktikan kebenarannya.
PBB mengirimkan misi ke Irak. Staf internasional boyongan dari Dili menuju Baghdad. Mantan pimpinan UNTAET, Sergio Vieira de Mello, menjadi Kepala Perwakilan Khusus PBB di sana. Seusai bertugas di Timor Leste pada 2002, diplomat asal Brazil yang ramah ini sempat menjadi Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia.
Perpalingan PBB memang menjadi pukulan berat bagi Timor Leste. Ya, itu tadi: pelaksana sementara pemerintahan sekaligus pendana tak ada lagi. Siapa yang tak kelimpungan? Tapi, pada sisi lain, itu pula yang memandirikan mereka. Dengan sendirinya mereka mesti melakukan segala sesuatunya. Itulah hikmahnya.
Kawan-kawan kami yang sebelumnya mengandalkan donor, termasuk yang menelan pil pahitnya. Harus mencari uang sendiri jika mereka masih ingin melanjutkan kegiatan lembaganya. Sebagian besar dari mereka tak sanggup.
KONSTELASI BERUBAH
Ternyata, Sergio Vieira de Mello menjadi 1 dari 16 orang PBB yang tewas saat bom bunuh diri meledak di Baghdad, Irak, pada 19 Agustus 2003. Aku termasuk yang terkejut dan sedih mendengar kabar itu. Pemimpin yang beberapa kali kulihat dan kufoto saat berbicara di Dili, termasuk di konferensi pers, merupakan sosok yang ramah dan menyenangkan.
Runtuhnya simbol kedigdayaan AS (foto: Istimewa)
Saddam Hussein sendiri, setelah menjadi tahanan akhirnya ia menjalani hukuman mati pada 30 Desember 2006. Pamornya sudah sangat merosot kala itu. Adapun 2 putra yang sangat dikedepankannya, Uday dan Qusay, mereka telah tewas lebih dulu yakni saat pasukan AS menyergap pada Juli 2003.
Osama bin Laden akhirnya kehilangan nyawa di tempat persembunyiannya di kompleks Abbottabad, di utara Islamabad, Pakistan, pada 2 Mei 2011. Pasukan elit angkatan laut AS, Navy SEAL, yang menyudahinya. Inilah ujung perburuan sedekade.
Peledakan Menara kembar WTC 20 tahun silam telah mengubah banyak konstelasi politik dunia. Selama 10 tahun AS memburu Osama bin Laden, banyak hal yang terjadi. Dunia Islam, umpamanya, merasa disudutkan karena ditempeli label teroris. Mereka tentu saja tidak tinggal diam. Perlawanan kelompok garis keras berlangsung di sejumlah tempat, terutama di Timur Tengah dan Afrika. Aksi bom bunuh diri di beberapa kota Eropa termasuk wujudnya.
Tragedi itu tak akan terlupakan (foto: Istimewa)
Setelah 2 dekade silam, yang kian membayang adalah apa yang diramalkan oleh ahli politik terkemuka Samuel P. Huntington sebagai perbenturan antar-peradaban (the clash of civilization). Primordialisme yang membiakkan sentimen suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) mengemuka di seluruh dunia. Munculnya sejumlah kepala negara yang rasis menjadi semacam minyak pengobar apinya.
Kini, sesudah 20 tahun peledakan menara kembar, kaum kanan bangkit termasuk di Indonesia kita tercinta. Tak tahu aku apakah di bumi Timor Leste juga begitu. Pertanyaannya adalah: akan kita biarkankah kemanusiaan dicabik-cabik hanya karena perbedaan latar primordial? Kalau diriku yang ditanya, jawabanku tentu saja tidak kita biarkan!