`Ruma` Batak dan Kisah Pohon Kehidupan yang Semakin Dihancurkan Indorayon

Halaman luas yang multi-fungsi (foto: P. Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Tulisan-3

JAKARTA, Kalderakita.com: Keaslian kampung yang terletak di Sitorang, Porsea, itu masih  terjaga saat kami bermalam di sana pada 1992.  Kekhasan seperti yang digambarkan dalam kitab-kitab klasik ihwal dunia Batak Toba—termasuk karya  JC Vergowen, The Social Organisation and Customary Law of the Toba - Batak of Northern Sumatera, yang terbit tahun 1964—nyata. Hanya saja kebersihannya kurang. Ternak—babi, anjing, dan ayam—yang berkeliaran seenaknya serta jemuran yang membentang sembarang, antara lain isyaratnya.

Ruma Batak berada dalam 2 barisan yang saling berhadapan. Sederet  menghadap ke barat dan yang sebanjar lagi ke timur. Harbangan [gerbang]  ada di utara dan selatan.

Halaman luas-memanjang di hadapan kediaman itu berfungsi ganda. Di sanalah warga menjemur hasil sawah (padi) dan ladang.  Pun memberi makan ternak, termasuk babi yang dibiarkan merdeka (lihat gambar yang kuabadikan). Saat perhelatan besar, di pekarangan itu  mereka manortor [menari] diiringi gondang sabangunan [seperangkat lengkap gendang]. Demikian juga saat perkabungan. Kegunaan lainnya adalah tempat bermain kanak-kanak.

Ruma Batak di kampung ini kala itu  umumnya sudah ujur tapi didirikan tak semasa. Satu darinya merupakan ruma sitolumbea [pintu masuknya dari bawah]. Merupakan bangunan utama, tentu si pungka huta-lah [perintis kampung] pemiliknya. Dahulu, anak-beranak mereka bermukim di sana (bisa sampai 4 keluarga sekaligus).

Berangkat ke sawah (Foto: P. Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Kediaman lainnya berupa ruma si baba ni amporik [pintu masuknya di depan].  Tangga masuknya [balatuk] juga dari kayu. Satu darinya sudah dimodifikasi dengan menambahkan  pegangan di sisi kanan dan kiri. Tapi, pemermakan yang ekstrim adalah di kediaman kenalan baruku, si anak muda bergaya Meksiko. Tangga  kayunya telah ditukar   dengan semen menjulang. Titian pun terlihat curam dan jauh dari mecing.  

Senantiasa berhiasan klasik yakni cukilan dan patung yang ditempelkan, ruma Batak. Sebutannya, gorga [ukiran]. Sedangkan bangunan yang lebih muda,  hiasannya disemarakkan dengan aneka gambar di dinding dan di depan. Pada sebuah sisi rumah, misalnya, terlihat lukisan modern. Tak menggunakan warna khas Batak (merah, putih, hitam), gambarnya sudah  kekinian.  Gunungan (gunung dalam wayang) memperantarai sepeda ontel dan Soekarno. Di kiri proklamator itu berdiri perempuan berkebaya biru dan berpayung. Orang itu berhadapan dengan lelaki bertopi seperti polisi lalu lintas zaman ‘baheula’.  

Beratap ijuk, demikianlah aslinya ruma Batak. Adapun yang di Sitorang ini, satu saja yang demikian; selebihnya berseng. Seperti rambut kita,   ijuk akhirnya akan marurus [berontokan] dimakan usia. Menggantinya dengan bahan yang sama bakal merepotkan. Materinya masih gampang didapatkan tapi perajinnya langka sudah. Maka, seng saja penukarnya. Selain memasangnya mudah, bahan ini tak rawan terbakar. Artinya,  lebih praktis dan aman meski kurang estetis (elok).

Yang bukan bangunan tradisional ada juga di tempat ini tapi jumlahnya sekitar sepertiga saja. Kalau bukan di celah, letaknya di belakang rumah adat. Bahannya juga kayu. Atapnya seng. Bedanya, tak berkolong, bentuknya kotak, dan lantainya semen. Tak seperti ruma atau bangunan sejenis yang bersebutan sopo [tempat menyimpan padi], fungsinya saja yang dipentingkan sedangkan estetikanya diabaikan.   

Marnangkok Panjaitan (kawanku sesama wartawan koran Bisnis Indonesia) menyukai dan mengagumi keeksotikan bangunan tradisional yang masih serba tegak kukuh di tanah kelahiran ayahandanya: Sitorang.  Diriku pun demikian.

Sebagai karya arsitektur, ruma Batak memang istimewa. Fungsi dan bentuk sekaligus diutamakannya. Arsitek-novelis-aktifis kenamaan YB Mangunwijaya (Romo Mangun) ikut  memuji di bukunya yang istimewa, Wastu Citra (1988).

Rumah panggung yang puncaknya melengkung laksana punggung kerbau, begitulah bangunan etnik ini. Kecuali atapnya, kayu belaka bahannya. Paku, besi, dan semen terbebas darinya. Kayu enau yang dipakai sebagai pengganti paku.  Sedangkan yang mengikat atap adalah rotan dan ijuk yang dijalin menjadi tali.  Struktur utamanya kayu keras terpilih yang diambil dari alam sekitar. Tiang dan kakinya yang banyak semua kayu gelondongan. Dinding dan lantainya papan tebal.

Memberi makan babi dengan palangka (foto: P. Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Kendati tak bersekat, setiap sisi ruangan ruma memiliki nama dan peruntukan tersendiri.  Unsur strukturnya pun demikian.

Bukan  aspek fungsinya belaka yang menarik tapi juga sisi bentuknya  yang menggarisbawahi betul keindahan (estetika) dan filosofi. Ukiran bersebutan susu [payudara], boraspati [cicak], jenggar, gaja dompak, dan singa-singa, umpamanya, tak sembarang dihadirkan.

Tak hanya ruma dan sopo yang serba berancangan. Seluruh elemen kampungnya pun demikian. Sekelilingnya dipasangi pagar hidup, terutama rumpun bambu. Di sisi dalam tembok ditanami pelbagai pohon, terutama bintatar,  baringin, sotul, jior, ingul, haurense, mangga, nangka, jabi-jabi, bagot, dan pongki. Di sisi luarnya lebih banyak dan beragam lagi.

Pohon yang bertegakan memang menjadi bagian yang terpisahkan dari sistem permukiman orang Batak zaman dulu; sangat lain dengan sekarang. Pohon bagi mereka identik dengan kehidupan. Tentu karena tumbuhan berbatang sedang atau besar ini  banyak faedah.  Pada sisi lain, alternatifnya sedikit sebab teknologi logam belum diakrabi di masa lalu. Bahan untuk pembuatan ruma (kediaman dan tempat ibadah), sopo, perabot termasuk holbung [peti penyimpanan], batang [peti mati],  dan solu [perahu], adalah kayu.

Di samping itu, akar pepohonan juga menadah air. Mual [mata air] yang menjadi andalan saat warga menjalankan pelbagai kegiatan rutin keseharian (memasak, mencuci, dan mandi) di huta [kampung] yang jauh dari tao [danau] atau binanga [sungai] biasanya berada di kaki hariara [sejenis beringin tapi berukuran raksasa].

Tangga curam berbahankan semen (Foto: P. Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Kesadaran akan pentingnya pohon tercermin juga dalam umpasa [pantun khas Batak]. Hariara, jabi-jabi, baringinpongki, dan yang lain termaktub di sana. Contohnya?  Tubu ma hariara di holang-holang ni ni huta. Sai tubu ma anak dohot boru muna na sangap jala marroha [Tumbuhlah hariara di antara kampung. Semoga lahir putra dan putri kalian yang berwibawa dan penuh perhatian].

Atau, mardakka jabi-jabi, marbulung ma situlan. Angka pasu-pasu pinasahat muna, sai sude mai dipasat Tuhan [Bercabang jabi-jabi, berdaunlah situlan. Segala ucapan berkat yang kalian sampaikan, semoga diluluskan Tuhan].

Masih ada contoh tambahan.   Martantan ma baringin, mardangka hariara. Horasma tondi madingin, matankang ma juara. Satu lagi: pirma toras ni pongki, bahul-bahul pansalongan.  Pirma tondi muna, tu tambana pangomoan

Jelas, sejak lama pohon yang memang identik dengan kehidupan sangat dekat di hati orang Batak. Aneka umpasa termasuk yang memerlihatkannya. Maka, wajarlah kalau di tahun  1992 itu warga Porsea dan kawasan lain yang menjadi konsesi PT Indorayon Inti Utama (IIU) galau dan murka menyaksikan penghancuran pohon di kitaran tanah adat mereka yang dilakukan perusahaan penghasil bubur kayu (pulp) dan  rayon milik pengusaha asal Belawan, Tan Kang Hoo alias Sukanto Tanoto.  Jadi, bukan hanya bau busuk  memualkan yang menjadi perkara.   

DICURI

Saat sarapan di teras rumah kayu berlantai semen, kami berbincang tentang keadaan ruma-ruma Batak yang ada di sana.  Tuturan lirih tuan rumah yang kami dengar.  

Meski telah berinstalasi listrik, sebagian besar kediaman itu telah lama tak berpenghuni. Mereka yang lahir dan bertumbuh di sana kemudian merantau ke 8 penjuru mata angin. Setelah ayah-ibunya tiada, mereka cenderung  malas pulang meski telah berhasil di negeri orang. Bukan cuma orang yang tinggal di luar Pulau Sumatra yang demikian tapi mereka yang bermukim di Medan pun. Sekali setahun saja belum tentu akan tampak batang hidungnya.  Alhasil, bangunan tarulang [terlantar] jika tak ada yang ditugasi mengurusinya. Borong-borong [lebah kayu] leluasa membolongi sisinya yang lembek. Untung saja rayap yang di sana  tak separah yang di Pulau Jawa.

Penasaran,  kami berdua  lantas bergerak untuk memeriksa keadaan. Bagian luar bangunan-bangunan itu saja yang kami cermati; depan dan samping, terutama. Akan makan waktu kalau mesti melongok dalamannya. Sementara, tak lama lagi kami akan bergerak ke pabrik Indorayon di Sosor Ladang.

Sambil mengamati, kamera kufungsikan. Ornamen yang memang apik dan unik menarik perhatianku.

Kampung yang lebih sering didekap sepi (foto: P. Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

“Lihatlah, semuanya masih asli. Borong-borong dan lapuk saja yang bikin rusak,” ucap Marnangkok. Nada kagum terasa dalam ujarannya.

Singa-singa ini sudah nggak asli,” kataku sambil menunjuk.   Ukiran besar itu bergambar kepala. Kedua matanya bulat besar dan dagunya tirus. Modelnya bukanlah singa. Lebih mirip manusia, sebenarnya. Patung ini melambangkan kekuatan-keperkasaan.

“Mana…asli kok!  Dari dulu memang begini….dari aku masih kecil,” jawab kawanku itu sembari memandangi hiasan  yang bertempat di sudut depan-kiri  tersebut.

“Asli itu,” bapak yang menjadi tuan rumah kami menimpali.

“Ini sudah dipaku. Lihatlah,” jawabku sambil menunjukkan.

Sebelumnya, saat hendak menjepret dari jarak yang sangat dekat, fokus kamera kuarahkan ke posisi singa-singa menempel. Ternyata ornamen penting itu tak rapat betul dengan dinding. Celahnya kucermati. Ada 2 paku besar menancap miring . Kalau dari depan benda itu tak tampak sebab ditutup dengan dempul.

Marnangkok dan tuan rumah kami memeriksa benda yang kuperlihatkan.

“Betul…ini sudah dipaku. Mungkin karena pernah jatuh,” wartawan lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu menafsirkan.

“Kalau jatuh tidak mungkin. Kan pakai dudukan yang kuat,” kata tuan rumah.

Tekstur, pola ukiran, dan cat hiasan itu kupelototi betul. Ternyata tak sama dengan ukiran yang di dinding dan depan. Lebih kasar ukirannya dan lebih muda kayunya.  

Kedua lelaki di sebelahku pun sibuk mengamati detil.

“Bah! Sudah ditukar rupanya…Nga sega halak hita. Maup ma!”  [Sudah rusak orang kita. Hanyutlah]. Marnangkok berucap dengan geram.

Kami memeriksa singa-singa yang di sebelah kanan. Ternyata sama: sudah diganti juga.

Di sebuah bangunan yang terletak di sebelah, pegangan hiasan itu  bahkan sudah  besi plat. Pelakunya tak berupaya menghilangkan jejak lagi, bukan?

Tangga kayu yang berpegangan di 2 sisi (foto: P. Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Pikiranku seketika terbang ke  toko-kios barang antik yang menjual barang pusaka orang Batak.   Di Tomok, Tuktuk, Parapat, Medan, dan beberapa kota lain itu ada.  Sampai tahun 1980-an koleksinya aneka, mulai dari yang besar hingga yang  mungil. Termasuk holbung, ogung [gong], gondang [gendang], hasapi [kecapi], sarune [serunai],  hujur [tombak],  podang [pedang], piso [pisau], perhiasan perempuan (kaung, gelang, cincin, anting), ulos [kain tenun], patung tunggal panaluan, dan pustaha laklak [kitab yang terbuat dari kulit kayu]. Pun ornamen rumah Batak seperti singa-singa, gaja dompak, dan ulu paung.   

Pandangan kusapukan ke gaja dompak dan ulu paung yang menghias di bagian depan rumah yang sedang kami periksa. Keasliannya menjadi kusangsikan.

Ingin hati ini memeriksa keorisinilan hiasan sekitar selusin rumah tradisional yang ada di kampung bernama Sitorang tersebut. Tapi, waktu sudah ada. Kawan kami yang gayanya seperti  orang Meksiko sudah muncul. Segar, tampaknya ia baru keramas. Sesuai kesepakatan kemarin, pagi itu juga kami akan mendatangi pabrik Indorayon di Desa Sosor Tolong, Porsea.

“Sibuk kali klian kulihat. Sedang membahas apa?” Lelaki semampai berkulit kecoklatan itu berucap dengan enteng.

Kami bercerita singkat dengan saling melengkapi.

Penasaran, dia pun bergerak memeriksa kedua singa-singa tadi.

Bah tutunga ditungkar onnga ditangko aslina. Bah…lasso taboto saleleng on! Unang-unang gorga na asing pe nga ditangko.”  [Wah…sudah ditukar ini….sudah dicuri aslinya. Bah.. kita nggak tahu selama ini!  Jangan-jangan ukiran lain pun sudah dicolong.]

Singa-singa yang sudah tak asli (foto: P. Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Pria bergaya Meksiko menjadi sangat galau.

“Pencurian memang makin marak belakangan ini. Tapi, yang saya tahu pencoleng beraksi di kampung tetangga saja, selain di kota Porsea,” kata tuan rumah kami. “Dulu tidak seperti itu. Hanya setelah hasil pertanian merosot.”

Limbah Indorayon yang berupa gas, bahan cair, dan bahan padat telah merusak alam Porsea sejak pabrik Sosor Ladang beroperasi tahun 1988. Padi dan ikan mas yang lama menjadi komoditi andalan negeri yang banyak menghasilkan orang hebat ini  telah kehilangan mutu dan jumlahnya.  Jauh hari kelak—setelah setelah perusahaan AS  yang ditugasi pemerintah Indonesia memeriksa, Labat Anderson Incorporated, mengumumkan hasil auditnya di tahun 1996—barulah terungkap bahwa pabrik Sosor Ladang tak hanya menghasilkan rayon dan pulp tapi juga bahan kimia dalam jumlah yang sangat besar. Unsur itu mereka gunakan dalam proses produksinya. Tentu saja perbuatan ini ilegal. 

Sebelumnya telah kudengar kabar bahwa barang antik telah menjadi bisnis sindikat termasuk di Sumatra Utara. Mereka mengincar barang-barang pusaka yang memang mahal harganya. Kaki tangan mereka kirimkan hingga ke pelosok Toba, Humbang, Pulau Samosir, dan tempat lain.  Membujuk   keluarga agar sudi melepaskan barang pusakanya (tentu saja dengan imbalan ala kadarnya) yang dilakukan para cecunguk.

Selain itu, sindikat juga menggerakkan para pencuri. Dalam beraksi,  kaum kriminal ini bisa bekerjasama dengan orang-orang setempat termasuk keluarga si empunya pusakka [pusaka].

Penadah barang curian ini ada. Tentu saja mereka bagian dari sindikat. Benda-benda pusaka hasil colongan pun mengalir dari kampung-kampung terisolir ke kios-toko barang antik, ruang koleksi pribadi, dan galeri kota-kota utama Indonesia dan dunia. Alhasil, sejak tahun 1990-an barang pusaka telah langka di tano Batak.

Kisah itu kusampaikan ke 3 lelaki di dekatku.

“Sudah separah itu rupanya, ya…” ucap Marnangkok.  “Baru sekarang kudengar cerita ini.”

“Gawatlah kita!  Indorayon sudah mengirimkan bau setiap hari dan membabati pohon. Pencuri menjarah ukiran ruma pula…” lelaki bergaya Meksiko menimpali. Untuk pertama kali kulihat wajahnya keruh.

Sudah tiba waktunya untuk berangkat. Kami bertiga  lantas menapak menuju Sosor Ladang. Agar tak mencolok,  aku hanya membawa tas kepit kecil yang cuma berisi kamera SLR dan beberapa rol film Fuji. Kedua kawanku malah berhampa tangan.

Di sepanjang perjalanan yang memakan waktu tak kurang dari 2 jam pada sebuah pagi di tahun 1992, pembahasan tentang barang pusaka yang hilang, ruma dan sopo yang terlantar, dan pohon kehidupan yang semakin dihabisi Indorayon kami lanjutkan. (Bersambung)