Tulisan-1
JAKARTA, Kalderakita.com: Berbanjar dengan selang sekitar 1,5 meter, kios itu saling memunggungi. Bagian depannya menghadap Balerong, sedangkan belakangnya bermuka-muka dengan danau. Ruang kosong yang cukup lapang membentang menjadi pelataran di kedua sisi.
Kalau Sabtu (hari pasaran utama) tiba, halaman depan yang di kanan Balerong dan dibelah jalan raya akan menjadi pangkalan bus PMH yang sedang menunggu muatan. Adapun selasar belakang ditempati pedagang. Penjual ikan mas (orang luar kota), ihan atau dengke Batak (istri Parmilmil Sirait dari Lumban Jambu, Ajibata), dan ayam (Nai Ati dari Parapat Kota), antara lain.
Kios Amani Bentin Simbolon-Nai Bentin boru Sirait menghadap danau, di baris kedua dari kanan kalau dilihat dari Balerong yang merupakan jantung Tigaraja. Sehari-hari, jendelanya yang berupa bilah-bilah kayu yang bisa dicopot dibuka lebar-lebar sehingga tampak depan dan samping.
Beberapa foto berukuran kartu pos dan berbingkai digantungkan di dalamnya. Lelaki muda yang berseragam hijau, bertopi baja, dan bersepatu boot sosok yang di gambar. Badannya tak besar tapi atletis. Adegannya? Sedang merambat di tambang yang membentang di ketinggian pohon tegak. Atau tengah berdiri tegap dengan sebelah tangan yang memegang ujung senapan laras panjang yang diberdirikan.
Dari pemilik kios, diriku kemudian tahu bahwa pemuda yang di foto itu anak sulung mereka. Bentin, namanya. Lengkapnya, Bentin Simbolon. Dia bukan tentara, melainkan mahasiswa. Ia kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Saat diabadikan ia sedang mengikuti latihan resimen mahasiswa (menwa).
Di tahun 1970-an tersebut potret mahasiswa yang demikian tentu masih asing bagi anak-anak kampung seperti kami. Nama ITB sendiri sesuatu yang bisa mendirikan bulu roma.
Lantas, apa yang dijual di lapak itu? Minyak goreng, sabun batangan (cap telepon dan cap tangan), gula, tepung, dan yang lain. Bukan pengecer mereka tapi lebih merupakan grosir.
Di zaman itu feri belum dikenal di Danau Toba; baru kapal (kayu) yang tersedia. Warga Pulau Samosir berbelanja ke Tigaraja (Parapat) atau Balige saja dengan berkapal. Mereka yang bermukim di antara Lontung dan Simanindo lebih menyukai Tigaraja sebab lebih dekat.
Tapi, penduduk Pangururan, Simbolon, Urat, Nainggolan, Pangaloan, Harian, dan Onan Runggu (negeri di balik Pulau Samosir, kalau dilihat dari arah Parapat) pun lebih akrab dengan Tigaraja. Sebab? Pelabuhan inilah lintasan terdekat jika mereka akan ke Pematang Siantar atau Medan. Anak-anak mereka umumnya melanjutkan pendidikan di kedua kotamadya ini. Dengan sendirinya bus PMH yang tersedia di Tigaraja pilihan mereka. Alternatifnya tiada di sana.
Kakak-adik, Donawati dan Andus Simbolong (foto: Koleksi Dona)
Barang di kios orangtua Charles Simbolon—kelak adik Bentin, Esmina, Romanna, Royan serta abang Donna, Andus, dan Ernita menjadi vokalis Trio Amsisi dan Trio Ambisi—komplit dan harganya bersahabat. Dalam melayani pelanggan, pasangan yang humoris dan senantiasa seiring-sejalan ini ramah pula. Wajar kalau dagangan mereka laku.
Masih ada satu faktor yang juga penting. Amani Bentin bermarga Simbolon. Berasal dari Pulau Samosir, Simbolon bagian dari Pomparan Raja Nai Ambaton (PARNA). Merupakan kelompok terbesar di lingkungan Batak, PARNA berunsurkan 64 marga (ada yang mengatakan 83 marga) yang hingga sekarang pantang saling menikahi. Bagi orang Batak di tahun 1970-an itu ikatan genealogis (asal-usul) masih sangat penting. Tentu saja Amani Bentin-Nai Bentin diuntungkan olehnya. Yang semarga dan yang serumpun marga cenderung akan lebih memilih mereka jika mutu dan harga barang memang bersaing.
Pasangan Amani Heppy (Angkus Situmorang)-Nai Heppy (boru Napitupulu) yang rumah-tokonya juga di dekat pelabuhan Tigaraja pun dimujurkan. Orang dari sekitar Lontung lebih suka membeli ke mereka sebab masih kerabat atau dongan sahuta [kawan sekampung].
MENGGELIAT
Di antara puluhan kios yang di pelabuhan Tigaraja, beberapa saja yang menggeliat saban hari. Sebagian malah melompong. Punya kami, umpamanya, hanya menjadi tempat tidur pegawai sendiri (awak pangkalan minyak) bila malam tiba.
Salah satu yang selalu ‘hidup’ di sana tentu saja adalah milik Amani Bentin. Lalu, yang tepat di kanannya. Isinya rokok Union yang selalu penuh bertimbun. Berslop-slop sigaret buatan PT STTC Pematang Siantar dibebat dengan kertas minyak kecoklatan. Paket yang bisa dipangku lelaki dewasa 4 atau 5 sekaligus inilah yang disusun rapi di sana sebelum dinaikkan ke kapal. Pemiliknya, SS (Amani Helmina Sinaga) memang agen besar. Si empunya motorprah nomor 68 inilah distributor utama ‘rokok sejuta ummat’ tersebut untuk seluruh Pulau Samosir dan kitaran Parapat.
Di baris tengah terkanan (bila dilihat dari Balerong), tepat di depan kediaman orangtua musisi-komponis Tongam Sirait, terdapat kedai bakmi. Keluarga Aseng-Akek (adiknya, Ateng, sekelas di bawahku di SMP Negeri Parapat), pemiliknya. Lumayan laris, lapak mereka bolak-balik sehingga bersebelahan dengan milik Amani Bentin.
Di kiri penyuguh Chinese food ini berada tempat pangkas kepunyaan Pak Gortap Sirait asal Lumban Sirait. Sedangkan di ujung kanannya menghampar kedai kopi NGO Sinaga. Dua bilik yang dipadukan ini selalu ramai dari pagi hingga petang sebab menjadi tempat mangkal orang-orang PMH. Seperti kantor bayangan saja kedudukannya.
Ada juga kedai kopi lain yang selalu semarak di sana yakni kepunyaan keluarga Marungkil Sirait. Sebelum pindah ke Pasir Ajibata, mereka tetangga kami di depan toko roti-kue Rasmin. Para lelaki berduit yang menjadi elit Parapat (dan Ajibata) menjadi pelanggan setianya. Laksana sebuah klub, saban hari berjoker-ria mereka di tempat yang tenang meski tak jauh dari darmaga ini.
Pelabukan Tigaraja (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Kedai kopi Aman Sanggam Sinaga yan terletak di sudut kiri menghadap danau terbilang laku. Kecil sebenarnya tapi letaknya strategis. Selain itu Nan Sanggam juga orang Samosir. Kerabatnya rajin merapat ke sana.
Rumah makan tentu terdapat juga di deretan kios ini. Yang paling laris adalah milik keluarga Karyati (ayahnya pensiunan polisi). Serba sedap memang suguhannya. Selain lontong yang berpergedel, berkentang balado, dan berbumbu rendang, di sana juga tersedia nasi campur dan soto.
Kedai nasi milik pasangan Osti Marpaung-Sukirman (ia pegawai Parapat Hotel) yang di dekatnya juga berlangganan tetap.
Tukang jahit pun tersedia. ABBA, namanya. Pemiliknya, ayahanda Henry Tindaon, tampaknya penyuka band asal Swedia yang di masa itu sedang di puncak kemashyurannya.
Penjual pakaian juga ada, yakni pasangan Aman Tumpak (Mulahati Silalahi)-Nan Tumpak (Dame boru Gurning). Kedua mantan guru ini memang pebisnis ulung. Selain berkios, mereka memiliki tukang jahit di rumah yang dikontraknya di depan kiri BKaro.
Mereka kemudian pindah ke dekat Segitiga (dekat Hotel Parapat) dan berfokus pada usaha cindramata. Bina Guna, nama tokonya yang megah. Kios di Tigaraja ditinggalkan. Belakang hari mereka berekspansi ke Medan. Di kota akbar ini mereka memiliki supermarket besar. Anak-anaknya yang serba bersekolah tinggi yang menjadi pengelolanya hingga kini.
Kios sepatu juga ada. Si empunya adalah keluarga Ojahan (Ojak) Simangunsong. Di belakang mereka terletak bilik penyimpanan mangga Nan Salmon.
Meski kecil, sebuah kios penting lagi perlu disebut. Menjual rokok dan bonbon alias gula-gula atau permen (Hacks, Mentos, antara lain), pemiliknya Amani Ester Sidabutar. Anak muda rajin menjambanginya sebab di sana tersedia Tancho. Minyak rambut hijau ini dijual ketengan dalam bungkus plastik transparan. Para pegawai kami termasuk pelanggannya.
Sambil mematut wajah di kaca bersisir yang tergantung, pembeli akan meminyaki rambut dengan mengunakan segenap jemari tangan. Anduhur titi [tekukur] yang rajin bernyanyi di sangkar yang bertengger di atas kepala bisa menjadi penghibur mereka saat memaksimalkan penampakan mahkota yang belum mengenal sampo. Kala itu sabun balok masih lazim digunakan orang untuk mebersihkan badan dan kepala sekaligus.
RUPIAH BERARAK
Pangkalan minyak kami paling 6 meter saja dari kios Amani Bentin-Nai Bentin. Lapak kami persis di pinggir danau (kini menjadi kantor LLD). Kami menyewa tanah dari Ompung Tiambun (Nai Assim boru Hutapea). Yang terakhir ini adalah ibunda Tuan Bos Sirait yang beranakkan musisi-komponis Tongam Sirait. Sebagai sesama Hutapea, ibuku, Sorta, berkakak ke Ompung Tiambun.
Saat masih bocah dan remaja diriku acap bertugas di pangkalan yang kami sebut’ gudang’ ini. Salah satu pekerjaanku adalah mangunggil-manggiling drum [menjungkirkan-mendorong tong berisi atau lowong]. Tong kosong para pelanggan kami ambil dari kapal yang bersandar di dermaga. Nanti setelah diisi digelindingkan lagi ke sana. Jeriken kosong juga kami jemput-antar.
Sebagai tetangga di pelabuhan itu tentu saja kami akrab dengan pasangan Amani Bentin-Nai Bentin. Lagi pula masih berkerabat. Nai Bentin boru Sirait dari Lumban Pokki, Ajibata. Sama-sama keturunan Ompu Tatar Sirait, ia ber-amanguda [paman] ke aku kendati hampir 10 tahun lebih tua dari ibuku.
Kakak kandungnya, Nan Sintuhun (penjual lampet yang legendaris), adalah mertua Amani Helena (Guntur Sirait), abang sepupuku. Semestinya aku ber-nantulang ke Nan Sintuhun. Apalagi suaminya adalah Gultom. Kami, Sirait Pagarbatu Ajibata, adalah anak ni hambing (anak kambing—penerima putri mereka dari generasi ke generasi) Gultom. Namun, ibunda Belsis dan Golar Gultom ini tak mau dipanggil nantulang. “Borum do ahu, Amang,” [putrimu kok aku, Amang], begitu jawabannya.
Kediaman orang tua Charles Simbolong (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Nan Sintuhun yang acap kami datangi di pagi hari untuk membeli lampet, bermukim di Sosor Mangadar. Letaknya sepelemparan batu saja dari kediaman Nai Bentin.
Sedari dulu Nai Bentin juga menyapaku dengan sebutan amanguda. Sebaliknya aku ber-ito ke dia dan ber-lae ke suaminya. Ada pengalaman yang terlupakan olehku yang berkaitan dengan mereka berdua.
Di satu pagi, sekitar pukul 10.30, kapal dari Pulau Samosir mulai berdatangan. Begitupun, pelataran di hadapan lapak kami masih agak lengang. Kalau bukan Selasa, hari itu Kamis; keduanya sama-sama hari pasaran kecil. Yang pasti bukan Sabtu. Diriku yang masih anak SD (kalau tak salah siswa kelas 6) menapak menuju pangkalan minyak dengan jeriken kosong di kedua tangan.
Tepat di sebelah kios Amani Bentin, kaki yang tak beralas kuhentikan. Sebab? Di hadapanku uang berceceran banyak betul. Lokasinya saling berdekatan. Belasan lembaran kertas Rp 10 ribu—mata uang terbesar kala itu—yang bergambar relief Candi Borobudur (kereta dorong dan para lelaki bertanggal dada) dan bergradasi kuning-coklat kupunguti dengan penuh takjub.
Baru saja melangkah lagi, kaki sudah kuhentikan. Soalnya, uang kertas beterbangan dari samping belakang ditiup angin. Seperti menyaksikan sulap saja! Jeriken kuletakkan dan rupiah kupunguti dengan mengikuti arah sang bayu.
Ratusan ribu uang itu, saat kutotal. Ada lembaran Rp 5 ribu dan Rp 1 ribu juga. Sebuah jumlah yang besar untuk ukuran tahun 1970-an, tentu. Sebagai gambaran, sepotong es lilin yang dijual pedagang asal Siantar di depan Balerong saban Sabtu cuma Rp 5 (lima rupah). Kerupuk singkong besar yang di atasnya ditetesi gula merah (orang Jawa menyebutnya opak) pun seharga itu. Selain sate kerang, tebu sebuhu yang diganyang langsung dengan mengandalkan gigi, dan bihun sepincuk, penganan ini merupakan jajanan kami anak sekolah minggu HKBP Parapat.
Setelah menaruh jeriken di pangkalan, aku berbalik menuju kios Amani Bentin.
“Lae…Ito… aku menemukan banyak uang di sebelah kios ini…,” kataku. Uang yang sudah bersusun apik kukeluarkan dari kantong celana yang menggembul.
Mereka takjub juga menyaksikan rupiah sebanyak itu yang kutaruh di atas siteleng [etalase]. Mungkin dikira diriku sedang bercanda. Toh mereka tahu diriku merangkap kasir di ‘gudang’.
“Ini pasti tercecer dari kantong atau tas seseorang. Kutitip, ya….Nanti kalau ada mencari dikembalikan saja,” ucapku.
Mereka mengiyakan setelah saling berpandangan.
Kesibukan rutin membuat diriku lekas melupakan uang temuan. Ke pegawai pangkalan pun tak sempat kukisahkan kejadian barusan.
Saat matahari mulai tinggi, ayahku, Maruhum Sirait, mendadak datang. Kecuali Sabtu, ia jarang menjambangi tempat ini. Semua urusan dipercayakannya ke kami. Ia lebih tertarik pada truk dan urusan keluarga besar. Sore hari, saat rekap pembukuan (setiap minyak yang terjual mesti kami catat jumlah liter serta nama pembelinya) barulah ia turun tangan untuk menghitung.
Donawati pulang mengurusi Ibu (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Tak sampai seperempat jam, seorang lelaki sepuh muncul dan bersalam “horas’. Berasal dari Nainggolan, kalau tak keliru, tokke [tauke] ini pelanggan setia kami. Ia selalu membayar tunai untuk berdrum-drum minyak tanah yang dibelinya dari kami setiap minggu.
Sembari mengisi jeriken kusempatkan melihat wajahnya. Tak seperti biasa, penampakannya keruh.
“Marutang ma jolo Lae bah, sahalion ahu,” [berutang dululah, Lae, sekali ini aku] ucapnya dengan nada lesu.
“Bah, songon na so hea….Alai ndang pola bohai, boi ma i Lae,” [Bah, kok tumben…Tapi tak apa, bisalah Lae],” jawab ayahku.
“So huboto bah..las mago nangkiningan hepenghu. Peut haroa di si turun sian hopal,” [Nggak tahulah. Hilang tadi duitku. Mungkin jatuh setelah turun dari kapal]. Jumlah disebutnya.
Kaget diri ini mendengar ujarannya. Kontan teringat aku pada ratusan ribu rupiah yang berceceran. Kejadian tadi pagi kuceritakan ke mereka.
“Jadi, di Laem dope hepeng i?,” [Jadi, masih di lae-mu duitnya?]” ayahku memastikan.
Aku mengangguk.
Ayahku lantas menyarankan agar sang tokke segera mengambilnya di kios sebelah.
Tak lama berselang, lelaki sepuh itu muncul dengan wajah yang sumringah.
“Ndang jadi be marutang ahu Lae…nion do hepeng i sude. Himpal dope,” [Nggak jadi berutang aku, Lae... duitnya ini semua. Masih utuh.]
Pembelian ia lunasi. Beberapa lembaran seribuan lantas ia serahkan ke aku sembari berucap terimakasih berulang-ulang.
Pemberiannya kutampik karena diriku memang tak butuh uang di masa itu. Jajan tak kukenal. Di hari biasa paling sesekali membeli rujak Nai Poibe (ibu kawan sekolahku: almarhum Adolf Sitorus) di sebelah kedai kopi Aman Sanggam Sinaga. Untuk itu uang dari laci bebas kugunakan.
Seperti biasa, ayahku mengerti sikapku.
“Ai so porlu hepeng di bere muna on. Ndang na lao olo on manjalo,” [Tidak perlu uang bagi keponakanmu ini. Ia tak akan mau menerima].
Langganan setia kami itu lantas memandangi wajah sebelum menepuk pundakku. “Mauliate da…” [Terimakasih ya..] kembali ia ucapkan.
Tak tahu aku apakah tokke tersebut memberi uang juga ke Amani Bentin atau Nai Bentin sebagai tanda terimakasih. Yang pasti, uang segepok yang kutemukan menjadi bahan percakapanku dengan orangtua biduan Charles Simbolon tersebut di beberapa kesempatan. Tentu itu kian merekatkan kami satu sama lain.
Pasangan yang humoris dan rajin marminggu [bergereja] pagi di HKBP Parapat serta sejak lama terobsesi marparumaenton [bermenantukan] boru Sirait memang kusuka. (Bersambung).