Tulisan-2
JAKARTA, Kalderakita.com: Di puncak kejayaannya, pada paruh pertama 1970-an, Pokkan [Pasar] Tigaraja telah menjadi pusat perdagangan yang terbilang maju. Pada hari pasaran utama, Sabtu seperti hari ini, hasil bumi Pulau Samosir yang berupa beras, bawang, kacang, dan yang lain, mengalir ke sana. Para tokke [tauke] yang datang dari luar menampung dan membawanya ke kota-kota besar.
Sebaliknya, gula, garam, ikan asin, minyak goreng, rokok (terutama Union), pupuk urea, dan aneka barang pabrikan—bahan bangunan di antaranya—masuk dari sana ke Pulau Samosir melalui kapal-kapal kayu yang rutin datang dari 8 penjuru mata angin.
Hasil pertanian dari kitaran Parapat—Aeknatolu, Sipanganbolon, Girsang, Sibisa, Motung, Sijambur, Ajibata, Sibaganding, Panahatan, dan Sualan—tentu menjadi dagangan juga di pasar yang dinamakan Tigaraja karena dulu para raja yang berasal dari pelbagai tempat termasuk Pulau Samosir dan tepi pantai di seberangnya (Sipolha, di antaranya) martiga [kata lainnya maronan; artinya: berbelanja] di sana. Dinasti Si Singamangaraja (berkuasa sampai 12 generasi) ikut menjambanginya.
Balerong dan kios-kios berderet di depannya senantiasa sesak saban Sabtu tiba. Selasa dan Kamis yang merupakan hari pekan kecil, paling sepertiganya saja ramainya. Di kedua hari ini pedagang lokal saja yang berkegiatan. Adapun pada Senin, Jumat, dan Minggu ia lengang.
Pedagang sembakonya ada beberapa tapi yang paling terkemuka adalah Amani Miat Manurung. Ia grosir. Kios Pak Pardeling Sirait (berumah di Jambu, Ajibata) yang sederetannya berjualan barang sejenis juga
Di rumah toko (ruko) yang 2 pintu (sebutan untuk 2 kapling) milik Tokke Sembiring (Ompu Rosepa) pun tersedia sembako tapi lebih sedikit ragamnya. Toko serba ada (toserba) lebih tepat sebutannya, mereka menjual mulai dari baju, celana, pakaian dalam, alat-alat kecantikan, perlengkapan menjahit, hingga kompor masak merek Butterfly serta mesit jahit Singer dan Standard. Pun, minyak, semen, dan paku.
Pengganti deretan kios lama (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Bersebelahan dengan toko Tokke Sembiring terletak kios Sipahabang Losung (Amani Arna Manurung, ia berkerabat dengan Amani Miat). Isinya bahan bangunan semata. Semen, besi beton, papan, kayu broti, dan cat antara lain. Dagangannya seperti yang di ruko Amani Walter Sirait yang lebih dikenal sebagai Ompu Sunggul (cucu sulungnya sebenarnya adalah Hasoloan, putra Walter Sirait yang merupakan dedengkot Vocal Group Solu Bolon yang termashyur).
Bahan bangunan paling komplit ada di tempat Tokke Gurning yang bersebutan Pargudang. Di sudut kanan rumahnya yang bergaya vila dan berhalaman luas terdapat sebuah gudang berbahan kayu. Di sana bertumpuk aneka kayu mulai dari kaso hingga damar, borneo, dan meranti batu. Lantas, di belakangnya menggunung pasir dan batu krikil. Genteng, seng, dan riol dari semen mereka sediakan juga.
Toko modern pun ada di Tigaraja yakni BKaro dan Rasmin. Pemiliknya masih berkeluarga dengan Tokke Sembiring.
BKaro (singkatan dari Batak Karo) macam mini market zaman sekarang, sebenarnya. Barangnya tak berlimpah tapi rupa-rupa. Rokok (Ardath, Dunhill, 555, dan Commodore Filter, termasuk), raket Dunlop, kok bulutangkis [orang Parapat menyebutnya bola rekket] dan bola tennis, joran lipat, kaset kekinian (termasuk Louis Armstrong dan Heince: biduan cilik gemilang asal Belanda), hingga Jhonny Walker mereka jual. Harganya? Standar. Tak boleh menawar di sana. Apalagi bon (ngutang).
Kedai kopi yang terletak di sisi kanan toko—tanpa berpemisah dengan sayap sebelahnya—juga istimewa. Roti bakar bermentega atau berserikaya hasil olahan Amani Ellen (Nemaken Ginting) bercita rasa tinggi. Penganan inilah yang laimnya dibeli para orangtua untuk anaknya yang sedang kehilangan nafsu makan saat sakit. Turis backpackers [istilah orang Parapat di masa itu: hippis dangol] pun menyukainya. Seperti halnya kaum bapak yang menjadi elit kitaran Parapat, mereka sering hang-out di sana.
Rasmin yang di kiri BKaro (keduanya sedinding) berkonsentrasi pada roti dan kue. Dua pintu dan bertingkat juga bangunannya. Etalase dan stoples yang serba besar ditata dengan penuh cita rasa sehingga mengesankan toko food and beverage seperti yang di Eropa. Aneka minuman (sebagian produk impor) mereka suguhkan. Di tahun 1980-an gerai milik Pak Mesin Tarigan ini berbuka lagi setelah lama sekali tak beroperasi. Namun, setelah beberapa tahun, tutup lagi hingga kini. Kembali ia menjadi saksi bisu sejarah Tigaraja-Parapat yang pernah gemilang.
BKaro dan Rasmin di seberang Rotua (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Di Balerong sendiri pada tahun 1970-an itu terdapat 2 kios modern yang menyediakan mulai dari kemeja, daster, pakaian dalam, sapu tangan, hingga geretan, parfum, dan sepatu. Yang di kiri tangga masuk adalah milik Ompu Olan Sidabalok (Taiseng) dan yang di kanan kepunyaan Amani Ottor (Tulmok Sitio).
Balerong sendiri, meminjam istilah kaum muda zaman sekarang, multi-tasking sedari dulu. Selasa-Kamis-Sabtu ajang dagang. Jumat malam menjadi bioskop yang ditendai. Di hari lain (kecuali Minggu) parpestaan [tempat pesta pernikahan].
Bila Minggu tiba, atau jika pesta tiada pada hari biasa, di sanalah anak-anak Tigaraja bercengkerama. Marsendong, maralebbeteng, margala, marsitekka, marampera, margembira, marlimper, atau marbola, kegiatannya. Tergantung jenis kelamin, tentu. Mereka yang memiliki uang, bisa jajan dengan menikmati goreng pisang atau panungkup [serabi] keluarga Raung [adiknya, Ara Siregar adalah kawan SD-ku) yang berjualan di sana. Kalau ke Mak Dekman (kelak menjadi mertua Kak Lili alias Mak Jose) di Siburakburak terlalu jauh mereka.
SENTRA BISNIS
Dua toko mas menggenapi kedudukan Pokkan Tigaraja sebagai sentra bisnis di masa itu. Suryani yang tertua. Letaknya di antara deretan rumah Aman Tiar Napitupulu dan Amani Happy [baca: Heppi] Situmorang. Keluarga Kiki pemiliknya.
Kiki kelak menikah dengan pemilik Restoran Hong Kong yang di dekat Segitiga, Atin (saat meninggal di Bandung tahun 2020, jago kungfu yang akhirnya lebih dikenal dengan nama Husin Tony merupakan Ketua Persatuan Hotel dan Restoran [PHRI] Kabupaten Simalungun).
Rotua, nama toko mas yang satu lagi. Semula lokasinya di kios yang tak jauh dari milik Amani Bentin; posisinya agak di tengah. Bisnis abang Alex ini ternyata maju. Kini mereka telah memiliki rumah besar bertingkat. Letaknya di persil kios Sipahabang Losung dahulu.
Pedagang, pembeli, dan penumpang kapal-bus tentu butuh pengisi perut. Jika menginginkan mi goreng atau capcai mereka bisa datang ke kedai keluarga Aseng-Akek. Kala itu keluarga Amani Budi Silaen belum berjualan mi, masih bertekun pada kapal batu dan bengkel yang terkait dengannya. Keluarga Salmon juga masih berkonsentrasi pada mangga yang didatangkan dari kitaran Pulau Samosir.
Pangir (jeruk purut) yang berlimpah (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Bila lebih suka makanan tradisional, mereka yang hendak mengisi perut bisa menjambangi kedai nasi Nan Janna (boru Napitupulu, ibunda penyanyi yang lama bermukim di Bali: Warisan [Aris] Munthe. Atau ke sebelahnya, lapo Nai Murni (boru Sirait, ibunda anggota DPRD Medan dari Partai Solideritas Indonesia [PSI]: Renville Napitupulu) atau Nai Meli (Nyonya Napitupulu boru Sinaga).
Tinggal di lokasi yang sederet, mereka bersaudara satu sama lain. Juga dengan Aman Tiar Napitupulu, pengusaha angkutan (PMH dan truk) dan pernah menjadi anemer (pemborong).
Keluarga Murni-Runggu-Kornel-Renville Napitupulu pun sejak lama menggeluti bisnis transportasi. Seperti halnya amanguda-nya [paman], Amani Meli, ayahanda mereka memiliki kapal turis Sinar Toba. Belakangan merek kapalnya menjadi Renville. Bagus Taksi yang nanti muncul dan berute Parapat-Medan kepunyaan mereka.
Nan Tiambun boru Gurning (ibunda musisi Tongam Sirait) juga berkedai di rumah mereka tapi cuma saban Sabtu.
Selain sangsang dan tango-tanggo, di rumah-rumah makan tadi pengunjung bisa menikmati dengke [ikan] mas arsik [masak kuning] dan jahir natinombur. Ikan mas itu biasanya datang dari Pulau Samosir, terutama dari sekitar Ambarita, Pangururan, dan Nainggolan. Berhabitat di danau, ukurannya bisa sampai 6-8 kilogram saat ditangkap dengan tatabu (pancing yang alat yang pengambangnya buah labu yang dikeringkan). Lezat, meski tubuhnya berlumut dan dagingnya agak keras.
Adapun mujahir, muasalnya biasanya dari Horsik, Panahatan, Repa, dan Sibaganding. Hidup di perairan dalam, rasanya pasti jauh lebih sedap dibanding produk keramba jarring apung yang dikonsumsi orang Parapat sekarang. Sebagai catatan, keramba baru dikenal warga kitaran Kaldera Toba setelah perusahan Swiss bernama PT Aquafarm Nusantara beroperasi di Danau Toba tahun 1998. Hingga detik ini, sangat mencemari danau korporasi ini; begitu juga para pengekornya. Aquafarm saja, saban hari mencemplungkan tak kurang dari 100 ton pelet ke danau. Akan kiamat, bukan?
Tigaraja dipandang dari Dolok Pangulu (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Kedai-kedai tadi, seperti halnya sebagian besar restoran, warung, penginapan (hotel, wisma, bungalow, losmen), dan rumah tangga di seputar Kecamatan Girsang Spanganbolon yang beribukotakan Parapat berbelanja bahan kuliner di Tigaraja. Kios Aman Ranto Sirait-Nan Ranto boru Gurning menjadi salah satu andalan mereka. Asalkan belum malam, setiap saat calon pembeli bisa menjambangi kios parduru [paling ujung; dilihat dari sisi kanan Balerong]. Ayam kampung yang masih hidup dan ikan rebus juga dijualnya.
Begitulah, Pelabuhan-pasar Tigaraja yang merupakan titik transit warga Pulau Samosir yang hendak ke Pematang Siantar, Medan, Pulau Jawa, dan tempat lain tak memiliki saingan hingga paruh pertama 1970-an. Bank pun dimilikinya kendati belum berupa kantor. BRI memiiki petugas yaitu warga Huta Ginjang yang bersebutan ‘Sinaga Beng’. Dia suami Encik Laban dan ayah kawan sekelasku, Doglas Sinaga almarhum.
Namun, semua ada masanya. Kejayaan Pokkan Tigaraja—tempat pasangan Amani Bentin-Nai Bentin (orangtua biduan Charles Simbolon) lama berkios—bukanlah kekecualian. Pembangunan yang dimulai pemerintah sejak tahun 1975 di Ajibata, kampung yang berbatas langsung dengannya, serta-merta menyurutkannya. Bagaimana jalan ceritanya? (Bersambung)
*Catatan:
Artikel ini sengaja kuturunkan hari ini untuk mengenang 2 hal sekaligus yakni: (1) pasangan Amani Bentin-Nai Bentin yang dulu senantiasa sibuk betul di kiosnya saban Sabtu tiba dan (2) masa-masa maronan atau marpokkan di kitaran Balerong pas hari pasaran utama. Ucapan seorang par-Siburakburak yang sudah lama betul bermukim di Amerika (California), Lae Liberti Simangunsong: “Beta maronan tu Balerong, bo…asal mangallang ponsal ni Pargigi Mas dohot bubur ni Aman Sarihut hita” kembali kugaungkan untuk menggugah kenangan Anda sekalian Sabtu ini.