(Penggal ke-2)
JAKARTA, Kalderakita.com: Yulia Sibuea menolak pinangan anak namboru-nya, Fridrik Hendrik Sirait.
“Masalahnya tubuh ayah saya besar dan tinggi sekali. Padahal ibu saya sedang-sedang saja. Tetapi mereka akhirnya menjadi suami istri,” Djumontang menjelaskan.
Setelah menikahi sang pariban, Fridrik Hendrik Sirait, akhirnya menjadi pegawai pemerintah. Ia bekerja di jawatan Pekerjaan Umum dan Tenaga Kerja (PU&T). Namun, hal itu tak membuat dirinya apatis terhadap dunia pergerakan, apalagi sampai mempersetankannya. Ia tetap kritis, dan mungkin karena itulah, seperti dugaan Sabam, dia diasingkan ke Pulau Simardan.
Untunglah pembuangan ini tak terlalu lama. Tak sampai 2 tahun ia dan keluarganya sudah pindah dari Pulau Simardan ke Pematang Siantar. Untuk seterusnya keluarganya akan tinggal di kota nomor dua terbesar di Sumut, setelah Medan, tersebut. Bagi Sabam Sirait sendiri, peranjakan ini merupakan awal hidup baru yang sangat berwarna.
‘Siantar man’
Pematang Siantar nama lengkapnya, tapi sebutan kesehariannya ‘Siantar’ saja. Tatkala keluarga Fridrik Hendrik Sirait pindah ke sana kota ini sudah ramai.
“Ketika kami masih kecil-kecil sudah ada 4 bioskop di Siantar. Kebun binatang juga ada, buatan Belanda,” kata Djumontang yang lahir di sana pada 1942 (ia lebih muda 6 tahun dari Sabam).
Merupakan ibukota Kabupaten Simalungun (belakangan merangkap ibukota Kotapraja [Kotamadya] Pematang Siantar juga), Siantar berpenduduk multi-etnik. TB Simatupang menyebut kota yang berjarak sekitar 128 Km dari Medan ini semacam miniatur Indonesia. Alasan dia, orang dengan pelbagai suku dan agama bersua dan kemudian hidup bersama di sana.
Diskusi Parkindo (foto: Keluarga Sabam Sirait)
Kemajemukan etnisitas ini dengan sendirinya berpengaruh pada konfigurasi permukiman setempat. Setelah kehadiran kaum pendatang dalam jumlah besar, sejumlah wilayah tempat tinggal terbentuk berdasarkan garis primordial. Kampung Kristen (Toba), Kampung Karo, Kampung Jawa, Kampung Bantan, Kampung Banjar, Kampung Melayu, dan Kampung Simalungun, di antaranya.
Kendati etnik Simalungun yang menjadi penduduk aslinya, kaum pendatanglah yang kemudian lebih banyak di kota yang berluas sekitar 80 Km per segi. Dari suku asli Sumatera pendatang terbesar adalah Batak Toba. Menurut sensus penduduk (volkstelling) tahun 1930 yang mendata 15.482 orang, komposisi Gemeente [Kotapraja] Pematang Siantar adalah: Toba (19,17%), Mandailing (8,26%), Angkola (6,16%), Simalungun (3,20%), Karo (1,72%), Indonesia lainnya (23,63%), Cina (32,6%), Eropa (2,05%), Asia lainnya (3,17%). Data itu termaktub dalam kitab karya Juandaha Raya P. Dasuha dan Martin Lukito Sinaga, “Tole Den Timorlanden Das Evangelium!” Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di Simalungun, 2 September 1903-2003, Kolportase GKPS, 2003).
Pembukaan perkebunan secara besar-besaran di Sumatera Timur telah menjadi magnit yang menarik kaum pendatang ke Simalungun, khususnya ke ibukotanya, Pematang Siantar. Ekspansi modal asing (multinasional) di bidang perkebunan ini berlangsung setelah kaum investor menyaksikan keberhasilan pengusaha Belanda Jacob Nienhuys membuka perkebunan tembakau di Deli pada 1868.
Tanaman utama yang disemaikan di Simalungun adalah karet, teh, kopi, dan kelapa sawit. Investor utamanya antara lain Rubber Plantation Investment Trust (Inggris), Handels Vereeniging Amsterdam (Belanda), German Marihat Gemeinschaft (Jerman), dan American Goodyear Company (AS). Dua yang pertama mengembangkan onderneming teh di kitaran Siantar pada periode 1910-1920.
Persilangan multi-budaya seperti inilah tampaknya yang membuat Siantar menjadi kota yang khas. Sesuatu yang paling spesifik yang berkaitan dengan kultur yang kemudian muncul adalah kekerasan watak warganya. Perkelahian fisik merupakan kejadian yang biasa di sana. Di setiap wilayah, di zaman Sabam, ada geng anak muda. Senjata utama mereka ketapel dengan peluru kaca yang telah dihaluskan. Di Sirpang Opat, Timbang Galung, dan Kampung Karo, umpamanya.
Rumah Sabam di Jalan Sarinembah Nomor 20 terletak di kitaran Sirpang Opat-Kampung Kristen. Sirpang Opat, menurut Djumontang, di masa mereka masih kecil identik dengan anak-anak bandel.
“Makanya kalau ada yang jahat selalu dibilang, ‘Eee...par Sirpang Opat do haroa i’ [Eee...orang Sirpang Opat rupanya itu],” kata Djumontang yang pensiun dari koran Suara Pembaruan dengan jabatan terakhir wakil pemimpin redaksi (Wapemred).
Perhelatan Perhimpunan-Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (foto: Koleksi Keluarga Sabam Sirait)
Di terminal atau di pajak (pasar) misalnya, siapa pun perlu senantiasa berhitung kalau sedang berhadapan dengan para preman, calo, tukang beca, tukang sorong, dan tukang semir sepatu. Salah-salah bisa repot urusannya. Anak Siantar, menurut Djumontang, sifatnya ingin menguasai; itu sebabnya mereka tidak disukai anak Medan.
Siantar itu memang daerah keras. “Makanya orang bilang sudah tamat dari Siantar tamatlah di mana-mana. Disebutnya Siantar man. Ada sejumlah nama dari Siantar yang terkenal. Antara lain Todo Sihombing, Togar Sianipar, dan Syamsir Siregar. Adam Malik juga anak Siantar,” lanjut dia.
Perpaduan etnik membuat trik banyak dimiliki orang Siantar. Selalu ada anak Siantar yang jadi preman di Medan dan Jakarta. “Ada dua pilihan yang selalu berlaku pada anak Siantar: hidup pakai, mati buang. Kalau sukses akan dipakai, kalau tidak ya mati.”
Adat keras “Siantar man” juga dimiliki etnik Cina-nya. Kalau di Pulau Jawa orang Cina biasanya beradaptasi dengan penduduk setempat sehingga logat Jawa atau Sunda-nya sampai medok, di Siantar tidak demikian. Mereka tetap menjadi orang Cina yang lebih akrab dengan bahasa dan unsur budaya lain warisan leluhurnya. Kelompok preman juga mereka punyai. Dulu terkenal Poh An Tui. Maka sebutan ‘Cina Siantar’ pun terkenal termasuk di Jakarta. Konotasinya, lanjut Djumontang, cenderung agak negatif yaitu nakal, kalau bukan jahat.
LINGKUNGAN KERAS
Di lingkungan keras Siantar-lah Sabam Sirait bertumbuh menjadi remaja. Namun ia tidak digulung oleh mata pusaran budaya setempat seperti kebanyakan teman sebayanya. Sejak kecil, menurut Djumontang, Sabam sudah disiplin. Si anak sulung ini rajin belajar dan bekerja; jadi berbeda dengan kebanyakan anak di kampungnya. Ia tak suka keluyuran seperti Djumontang, misalnya.
Adapun Djumontang, menurut pengakuannya sendiri, waktu kecil pun sudah kenal judi. Ia suka main judi di kuburan dan terkadang uang sekolahnya pun ia judikan. “Berbeda dengan Bang Sabam. Dia dilihat sebagai anak yang disiplin. Ia dianggap akan mampu hidup sendiri dimana pun berada.”
Karena rajin dan disiplin Sabam kecil kerap dijadikan teladan oleh tetangganya. Tentang keteladanan ini ada kisah yang masih diingat baik oleh Sabam dan maupun Djumontang.
Ada seorang tetangga mereka yang usianya sekitar 2 tahun lebih muda dari Sabam. Anak itu namanya Lungguk. Ia malas sekolah. Kerap kali ibunya sewot manakala menyuruhnya bangun agar bersekolah.
“Lihat si Sabam itu...ia rajin sekolah..bukan seperti kau...,” itulah yang selalu diteriakkan sang ibu di tengah kedongkolannya. Atau “Lihat anak Sirait itu...semua baik-baik bersekolah,” Sabam mengisahkan.
Lungguk yang tetap saja malas sekolah dan nakal ini adalah orang yang kelak dikenal sebagai Raja Darianus Lungguk Sitorus (DL Sitorus). Sekolahnya tak karuan walaupun akhirnya (seperti disebut dalam biografinya yang ditulis Permadi, Raja D.L. Sitorus Sang Penantang—tanpa nama penerbitan dan tahun terbitan) bisa sampai kelas 2 SMA di Siantar. Tapi ayah Sihar Sitorus—doktor lulusan AS dan menantu tokoh perindustrian Bisuk Siahaan ini anggota Komisi XI DPR RI periode 2019-2024 dari PDIP—kemudian menjadi orang kaya berat.
Setelah menjalani kehidupan jalanan yang keras dan berliku DL kemudian menjadi pengusaha kakap yang berbisniskan koperasi simpan pinjam, perkebunan-pengolahan kelapa sawit, dan properti. Sampai ada yang bilang: begitu ayam berkokok pada subuh, kekayaan DL Sitorus sudah bertambah sedikitnya semiliar rupiah. Ujaran yang tak berlebihan, tentu.
Gemar bercakap (foto: Koleksi Keluarga Sabam Sirait)
Setidaknya ada dua faktor, menurut Sabam, yang membuat dirinya sendiri rajin belajar saat masih kecil. Pertama, karena mencontoh orang lain. Keluarga Tahi Bonar ( TB) Simatupang terutama yang diteladaninya. Kerabatnya tersebut punya tradisi pendidikan yang sangat istimewa.
Ompung [kakek] Sabam Sirait dari pihak ibu dan ayah yang 'marpariban', Mina Sibuea, bersuamikan pegawai kantor pos bernama Simon Simatupang. Pasangan ini ini beranakkan para Simatupang yang bernama Sahala Hamonangan, Tahi Bonar, Frieda Theodora, Pinta Pasu, Maruli Humala Diasi, Tapi Omas, Batara Ningrat, dan Riaraja (dia lelaki).
Sahala Hamonangan kelak menjadi Dirjen Pos dan Telekomunikasi sebelum menjadi Wakil Menteri Pos dan Telekomunikasi. Kalau diriku tak keliru, dia ayahanda Devi Simatupang: istri Menko Investasi dan Maritim Luhut Binsar Panjaitan.
TB Simatupang sendiri terakhir menjadi Kepala staf Angkatan Perang RI (1950-1954) dengan pangkat letnan jendral. Ia menikah dengan Sumiati Budiardjo, Adik Ali Budiardjo yang menjadi menteri penerangan di zaman Soekarno. Ali Budiardjo tak lain dari suami guru besar ilmu politik dari UI yang terkemuka, Mirim Budiardjo. Sedangkan Miriam adalah adik Soedjatmoko, intelektual sosialis kenamaan yang pernah menjadi Dubes RI di PBB. Miriam yang kelak menjadi ibu mertua sosiolog UI, Imam Prasodjo, juga adik Siti Wahyunah yang menikah dengan Sutan Sjahrir (mantan perdana Menteri).
Tapi Omas, seperti suaminya yang teolog Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, Ihromi, merupakan guru besar antropologi di Universitas Indonesia (UI).
Adapun Batara Ningrat , ia lulusan Fakultas Ekonomi UI. Sebagai dosen, ia lantas melanjutkan pendidikan hingga mendoktor di Warsawa (Polandia). Insinyur Soekarno ternyata ditumbangkan Jenderal Soeharto. Batara (25 Mei 1932 – 27 Mei 2018) terimbas. Pemikir yang sosialis ini tak bisa pulang ke Tanah Air. Ia menjadi eksil (pelarian politik) tak kurang dari seperempat abad.
Terang, TB Simatupang kakak-beradik sungguh gemilang. Wajarlah kalau remaja Sabam Sirait mengidolakan mereka. Tapi, masih ada satu keluarga lagi yang dikaguminya di masa itu.
“Ada satu lagi keluarga di Siantar yang selalu jadi contoh baik, yaitu keluarga Siregar,” ucap Sabam.
Kedua, karena keadaan yang serba sulit di masa perang kemerdekaan itu. Listrik dan air ledeng belum masuk ke daerah mereka kala itu dan mencari penghidupan sukar. Karena air yang sulit maka saban hari ia dan adiknya, Djumontang, harus mengangkuti air dari sungai ke rumah. Jaraknya sekitar sekilometer.
Kendati ayahnya pegawai pemerintah, kehidupan Sabam dan adik-adiknya (semula 7 orang; tapi yang hidup hingga tahun 2006 tinggal 3 yaitu Djumontang, Tording Hotna, dan Asianna) tidaklah jauh lebih baik dibanding teman-temannya.
Gaji ayah Sabam akhirnya tak memadai lagi untuk menopang keluarganya. Apalagi seorang adik Sabam sempat sakit agak lama. Yang terjadi kemudian sang ibu, Yulia Sibuea, mulai berjualan beras. Barangnya diambil dari eda-nya (isteri abangnya), seorang pedagang beras di Porsea.
Sabam sendiri tak tinggal diam. Di masa sulit itu ia berinisiatif untuk berjualan rokok di stasiun kereta api yang tak jauh dari rumahnya. Usaha ini dilakoninya tanpa sepengetahuan keluarganya. Tujuannya untuk meringankan beban orang tuanya.
Menjambangi kekasih, Sondang Sidabutar di Medan (foto: Koleksi Keluarga Sabam Sirait)
“Di zaman itu banyak orang yang menjual rokok buatan sendiri. Tembakau dimasukkan ke kertas rokok dan dilinting sedemikian rupa,” kenangnya.
JAGAT POLITIK
Masih di Siantar, secara tak langsung Sabam mulai mengenal dunia politik. Wahananya adalah bacaan. Waktu ia masih SD, sesekali, kalau ada uang, ayahnya membeli koran. Lalu, pamannya, Elam Sibuea, kalau datang biasanya membawa sejumlah lembaran lepas suratkabar. Ada kalanya Sabam juga pergi ke sebuah perpustakaan kecil di kotanya. “Saya membaca-baca sedikit di sana.”
Secara tak langsung ayahnya yang punya latar belakang pergerakan juga mengenalkan Sabam ke dunia politik. Sabam masih ingat ketika suatu waktu saat ia masih SD ayahnya membawanya ke sejumlah tempat pertemuan, antara lain ke Gedung Nasional Siantar “Bapak menunjukkan beberapa tempat di Gedung Nasional Siantar dimana ia pernah berpidato. Seperti mau pamer kepada saya.”
Pada 1949 Sabam tamat dari SD. Ayahnya berharap ia akan menjadi guru. Maka ayahnya menyarankan agar ia masuk Sekolah Guru Bawah (SGB) saja supaya mendapat beasiswa dan nanti langsung bekerja. Tapi, entah mengapa, sang ayah kemudian berubah pikiran. Ke SMP-lah Sabam ia masukkan. Harapannya, setamat SMP nanti anak itu melanjut ke Sekolah Guru Atas (SGA).
Sabam melanjut ke SMP Negeri Pantoan. Sewaktu bersekolah di sana ia ikut les bahasa Inggris di Huria Kristen Indonesia (HKI). Satu hal yang masih ia ingat betul tentang kursus itu adalah pengajaran terjemahan bahasa Inggeris lagu Indonesia Raya. Secara tak langsung sosialisasi lewat lagu ini telah menggugah kesadaran kebangsaannya.
Masih 11 tahun dia ketika sesuatu yang luar biasa terjadi di Pematang Siantar. Melebihi semuanya, kejadian inilah yang paling menggugah nasionalismenya sehingga untuk selanjutnya dia akan menyebut dirinya seorang republiken.
Hari itu 30 Juli 1947. Pematang Siantar yang menjadi ibukota Provinsi Sumatera menggantikan Medan yang sudah diduduki Belanda, sedang bergairah betul. Sejak pagi anak-anak sekolah, pemuda, laskar, dan tentara tampak di mana-mana dengan rupa-rupa atribut kebangsaan menggelayut di pakaian atau di asesoris mereka. Merah putih, terutama. Tak heran, hari itu rencananya Wakil Presiden Mohamad Hatta akan berbicara dalam rapat massa di lapangan kota.
Ternyata Wapres Hatta urung berbicara bermuka-muka dengan rakyat. Terbetik berita bahwa pasukan Belanda telah mendarat di Pantai Cermin dan bergerak menuju Tebing Tinggi; diperkirakan akan segera menyerang Siantar. (Bersambung)
*Catatan:
1 Foto dari koleksi keluarga Bang Sabam Sirait.
2 Petang ini Bang Sabam dimakamkan. Selamat jalan duhai politisi-Indonesia sejati. Berisitrahatlah dalam damai…