(Penggal ke-3)
JAKARTA, Kalderakita.com: Wakil Presiden Mohammad Hatta, Gubernur Sumatera Sutan Mohammad Amin Nasution, dan rombongan menyingkir ke Bukitinggi dengan naik mobil. Mereka meninggalkan Pematang Siantar pukul 15.00 WIB dengan mengambil rute Berastagi-Seribudolok-Sidikalang-Siborongborong-Tarutung-Sibolga-Padang Sidempuan-Bukitinggi. Mereka sengaja tak lewat Parapat untuk menghindari pasukan Belanda yang banyak di sana. Dua jam setelah rombongan pergi memang pasukan Belanda yang berkekuatan 80 truk, 35 tank, 25 panser dan 20 jip tiba di Siantar.
Tadinya Sabam Sirait mau ke mendengar pidato Wapres Hatta juga. Tapi niat itu ia batalkan karena ia melihat tanda-tanda tak beres di jalanan. Keadaan di sekitar kediaman bupati tampak kacau. Ada orang menurunkan merah putih dan menaikkan merah putih biru di sana.
Dari kejauhan, Sabam yang berada di Kampung Kristen bisa melihat merah putih biru sudah melambai di rumah bupati yang berpekarangan luas. Ia kemudian mendengar kabar bahwa yang menaikkan bendera Belanda itu adalah pasukan Poh An Tui dari kelompok Cina. “Saya menangis melihatnya,” ucap Sabam.
Keadaan kian memburuk. Di sepanjang jalan menuju jantung Siantar Belanda memporak-porandakan apa saja dengan meriam dan mitraliur. Perlawanan yang mereka hadapi tak seberapa karena kebetulan kota ini memang sedangkan dikosongkan laskar-laskar. Secara resmi semua laskar, termasuk dari Siantar, dikonsentrasikan di Medan karena, sesuai rencana, mereka akan menyerang Belanda di sana esoknya.
Hanya datasemen Divisi Panah (laskar milik Parki) yang basisnya memang di Siantar yang memutuskan untuk tak meninggalkan kota. Merekalah, bersama pasukan kecil Marsose dan satu peleton Tentara RI, yang kemudian berhadapan dengan Belanda.
Pertempuran tentu saja tak imbang. Belanda yang berjumlah banyak dan bersenjata berat serta dibantu pasukan Poh An Tui yang memberondong dari loteng-loteng toko terlalu kuat bagi Divisi Panah dan sekutunya. Sungai Bah Bolon yang menjadi ajang utama perang akhirnya penuh tubuh-tumbang manusia.
Setelah diidentifikasi kemudian diketahui bahwa tak kurang dari 115 laskar yang kehilangan nyawa saat itu, sebagian besar mereka dari Divisi Panah (Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara, diterbitkan oleh Forum Komunikasi Ex Teritorium VII Komando Sumatera, Jakarta, tanpa tahun).
Ibukota Provinsi Sumatera kembali dipindahkan. Kalau dulu dari Medan ke Pematang Siantar kini dari sana ke Bukittinggi.
Merayakan ulang tahun ke-50 (foto: dok. keluarga Sabam Sirait)
Gelombang rakyat pengungsi tampak di mana-mana menyusul bombardir Belanda. Keluarga Sabam termasuk yang pergi menyelamatkan diri. Berjalan kaki, mereka menuju Porsea, tanah leluhur di mana Sungai Asahan menjadi lintasan utama air Danau Toba menuju laut.
Dari Siantar keluarga Sabam yang dipimpin Elam Sibuea menuju Tanah Jawa. Sengaja mereka menempuh jalur sepi untuk menghindari persuaan dengan musuh. Jalan setapak, hutan di perbukitan mereka lalui. Seingat Sabam tiga kali mereka masuk keluar hutan dan di sana mereka kerap bertemu dengan laskar republiken dari macam-macam kesatuan.
Ketakutan merasuki Sabam dan yang lain saat mereka berada di dekat sebuah jembatan kecil. Kalau dilihat dari atas jembatan, Sabam mengenang, sungai itu seperti kecil tak berair saja. Tapi kalau dilongok ke bawah ternyata besar dan airnya deras. Sabam dan yang lain melihat ketika sebuah truk mendekati jembatan itu.
Tatkala sudah di atas jembatan tiba-tiba saja truk itu diberondong. Kendaraan itu terbakar berikut muatannya. Ternyata mayat-mayatlah isi truk itu dan kini semuanya sudah gosong.
Lengkaplah kemasygulan Sabam setelah mengetahui kemudian bahwa jenazah itu berasal dari Tembung dan akan dibawa ke Tapanuli untuk dimakamkan. Belum lama memang telah terjadi pertempuran hebat di Tembung yang terletak di pinggir kota Medan. Dari kaum republiken banyak jatuh korban. Di antaranya adalah mereka yang jenazahnya diangkut truk itu.
“Laskar itu tewas dua kali...saya terguncang melihatnya. Saya jadi republiken karena melihat mereka itu: sudah mati bertempur di Tembung ditembaki lagi di dalam truk,” ucap Sabam lirih.
Setelah tiga hari berjalan kaki barulah rombongan itu tiba di kampung mereka di Porsea. Medan yang beratlah yang membuat waktu tempuhnya lama. Jarak Siantar-Porsea sebenarnya hanya sekitar 80 Km kalau lewat jalan raya trans Sumatera.
Beberapa waktu berselang Sabam mendengar cerita tentang seorang tulang [paman] dia yang nyaris dibantai laskar republiken tak lama sebelum serbuan Belanda ke Siantar itu. Sang paman tiada lain dari Lintong Mulia Sitorus (LM Sitorus) yang waktu itu merupakan Sekjen Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Lintong waktu itu hendak menemui Hatta di Siantar. Tak jelas apakah mereka sudah janjian atau belum. Yang pasti, saat Lintong tiba sang proklamator telah pergi ke pinggiran Siantar untuk mewartaluaskan kembali kemerdekaan Indonesia.
Entah bagaimana, Lintong yang sama sekali tak bisa memperlihatkan tanda identitas digelandang para laskar ke sawah dan digebuki di sana. Tak hanya sampai di situ: ia hendak disudahi karena disangka antek Belanda. Untunglah sebelum dieksekusi ia sempat mengajukan sebuah permintaan yaitu kalau mau ditembak boleh saja asal di depan rumah Awang Sitorus.
Bertemu Presiden Soeharto, bersama Frans Seda (foto: dok. keluarga Sabam Sirait)
Permintaannya diluluskan. Ia dibawa ke rumah Awang Sitorus di Jalan Laguboti, Siantar. Mendengar suara gaduh, Awang yang merupakan ayahanda Maringan Sitorus—pernah Danrem di Yogyakarta, terakhir pangkatnya kolonel kolonel; dia hela [menantu] Ompu Dapot Situmorang (Ompung Pangulu) yang bermulim di Tigaraja, Parapat—keluar rumah.
Betapa terperanjatnya Awang menyaksikan Lintong yang sudah babak belur. Setelah tahu duduk masalahnya, ia pun menjelaskan siapa Lintong Sitorus. Para laskar pun terperanjat-ciut dan minta maaf setelah tahu bahwa yang mereka mau habisi itu adalah Sekjen PSI yang datang dari Jakarta.
Selama di pengungsian praktis Sabam berhenti bersekolah. Kendati demikian ada satu hal menarik yang dipelajarinya kala itu yaitu mengetik. Ia mengenal mesin tulis ketika untuk kali pertama di kantor amangtua-nya (abang dari bapak) di Parmaksian, Porsea. Amangtua-nya merupakan Ketua Dewan Negeri Parmaksian waktu itu. Kelak ketrampilan mengetik ini akan sangat berfaedah bagi dirinya.
GANDRUNG POLITIK
Tahun 1952 Sabam Sirait tamat SMP. Ia membujuk orangtuanya agar dibolehkan melanjut ke Medan. Keinginannya diluluskan. Ia bertolak ke kota terbesar di Sumatra itu dan di sana ia tinggal di rumah pamannya, Bungaran Sibuea, di Gang Aren, Jalan Serdang. Adik Elam Sibuea ini bekerja sebagai pegawai Kantor Perbendaharaan Negara. Dia bukan orang politik.
”Dia tidak pernah ikut berjuang melawan Belanda walaupun sekolahnya lebih tinggi dari Tulang Bupati [Elam Sibuea]. Dia dianggap bekerjasama dengan Belanda sehingga pangkatnya waktu itu tinggi juga. Kalau Tulang Elam waktu itu sempat dikejar-kejar Belanda. Kalau Belanda mencari dia mereka bilang ‘Mana Elam?’,” Djumontang, adik Sabam Sirait, berbagi cerita.
Di Medan, akan masuk Sekolah Guru Atas (SGA)-kah Sabam, seperti yang diinginkan ayahnya dulu? Ternyata tidak. Ia mau melanjut ke sekolah sejenis yakni Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA). Ia datang ke sana tapi ternyata sudah terlambat. Masa pendaftarannya sudah berakhir. Terpaksa ia berpaling ke SMA.
SMA paling favorit di Medan kala itu adalah SMA Negeri I. Sabam tak mendaftar ke sana karena tahu belum tentu akan diterima. Ia ke SMA Nasrani di Jalan Padang Bulan dan ternyata ditampung.
Tak salah masuk dia. Ia kemudian mengetahui bahwa kualitas lulusan SMA Nasrani tak kalah dibanding SMA Negeri I. Keduanya bersaing betul. Pengajar SMA Nasrani banyak yang berbobot.
Setiap murid niscaya punya guru favorit. Kelak ada dua guru SMA Nasrani yang paling disukai Sabam yaitu seorang guru kimia dan seorang guru sejarah. penilaian dia, sangat bagus keduanya. Kalau guru sejarah itu tak masuk yang menggantikan dia adalah sang guru kimia.
“Dia [guru kimia] bertanya kepada kami mengapa Revolusi Perancis terjadi. Berbagai jawaban pun muncul dari murid. Ada yang mengatakan karena rakyat menderita, petani miskin, dan sebagainya. Dia bilang jawabannya bukan begitu. Kalau jawabannya seperti itu nilainya cuma 6. Murid baru dapat nilai 10 kalau menjawab penyebabnya adalah karena perasaan tidak senang,” Sabam mengenang.
Di SMA Nasrani ada juga guru bule. Salah satunya orang Jerman. Sabam punya kenangan khusus tentang dia.
Suatu waktu, Sabam berkisah, ada acara perpisahan karena guru Jerman tersebut mau pulang ke negerinya. Sabam diminta memberi sambutan mewakili kelasnya, kelas B. Kelas A dan B juga masing-masing punya satu wakil. Sabam siap. Ia maju dan di luar dugaan hadirin ia bilang: “Saya gembira bapak guru pulang; seharusnya itu dilakukan lebih awal, bukan sekarang.”
Menemui Presiden Soeharto (foto: dok. Keluarga Sabam Sirait)
Khalayak pendengar kaget. Apa pasal ia berbicara seperti itu? Ternyata sebelumnya ia telah mendapat informasi dari sejumlah pejuang bahwa guru itu pro-Belanda. Sewaktu mau menggempur Siantar, Belanda mencoba menembus dari Tembung. Ternyata gagal. Lalu ada yang mengajari agar mereka masuk dari Pantai Cermin saja. Berhasil. “Guru ini termasuk yang mengajari. Dalam otak saya dia penghianat.”
Di SMA Sabam masuk jurusan B (ilmu pasti). Angka matematikanya memang bagus. Dari semua cabang matematik hanya ilmu ukur ruangnya saja ia kurang kuat. Namun mata pelajaran yang paling disukainya tetap sejarah. Sama seperti di SMP, ia kerap memperoleh nilai 10 untuk sejarah. Melukis dan menulis sajak ia bisa.
“Waktu SMA saya menulis sajak dan dimuat di koran Mimbar Umum. Kebiasaan menulis sajak hilang sesudah saya mengenal istri. Dia membunuh minat saya menulis sajak,” ucap dia sembari tersenyum.
Di SMA dia banyak membaca. Ia kerap ke Perpustakaan Nasional di bawah jembatan gantung kereta api dan ke British Council. Ia membaca di tempat karena buku perpustakaan tak boleh dibawa keluar. “Walau bukunya berbahasa Inggris saya tidak pernah membuka kamus saat membaca. Biar tak mengerti beberapa kata asal mengerti kalimatnya jalan saja.”
Hampir semua buku Bertrand Russell koleksi British Council dibacanya. Ada ihwal pendidikan, politik, Marxisme dan yang lain. Ia tertarik pada Bertrand Russell karena filsuf-aktifis perdamaian yang pernah beroleh Nobel tersebut banyak berbicara soal keadilan.
Salah satu karyanya yang ia baca adalah Why I’m Not A Christian; dan imannya tak terpengaruh oleh kitab berjudul provokatif itu. Ia juga membaca buku Bertrand Russell ihwal mengapa Marxisme gagal di India. Jawaban penulis, menurut Sabam, adalah karena Marxisme tidak melawan kasta. Islam kuat di India karena melawan kasta sedangkan Kristen dan Marxisme ragu-ragu.
Karya sastra dunia termasuk yang dilahap Sabam. Ia membaca karya Ernest Hemingway yang sebelas seri. Salah satunya adalah The Old Man and The Sea. Terpengaruh oleh Hemingway, waktu ke Kuba ia pun menyempatkan diri mengunjungi tempat sang pengarang menulis.
Koran merupakan jembatan dunia Sabam yang tak kalah pentingnya. Pamannya, Bungaran Sibuea, berlangganan koran Mimbar Umum. “Koran pertama yang saya baca secara intens adalah Mimbar Umum karena tulang saya berlangganan. Saya tak tahu apakah orientasi politik koran ini PSI atau Masyumi.”
Dari Mimbar Umum-lah Saban kemudian mengetahui adanya acara Debate Club di kantor suratkabar itu di Jalan Sutomo, Medan. Pesertanya 15-20 orang, acaranya mereka berdebat dalam bahasa Inggeris dengan topik tertentu yang ditetapkan pengasuhnya.
Suatu waktu Sabam datang ke sana dan duduk. Minggu berikutnya dia datang lagi. Begitu seterusnya sehingga ia dianggap peserta tetap alias anggota. Hampir setahun ia bergabung. Sabam merasa belajar banyak hal dari Debate Club itu, khususnya ketrampilan mengutarakan pendapat. Orang memang kemudian menganggap dia pembicara yang tangkas. Tampaknya itulah sebabnya maka tatkala pulang ke Siantar pada suatu waktu teman-temannya di sana meminta dia berceramah.
“Padahal mereka lebih tua 6-8 tahun dibanding saya. Saya kira itulah ceramah saya yang pertama,” kenang dia. Yang meminta dia ceramah adalah Persatuan Pemuda Kristen Indonesia (PPKI), embrio dari Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI).
Mengunjungi rapat raksasa merupakan kebiasaan Sabam sewaktu di Medan. Saat menyaksikan rapat raksasalah ia pernah kehilangan sepeda di Lapangan Merdeka, Medan. “Saya sedih sekali, sepeda kan mahal waktu itu. Bapak saya harus jual tanah di Porsea agar bisa beli sepeda.”
Setelah tiga tahun bersekolah di Medan Sabam Sirait semakin matang baik dalam kepribadian maupun dalam wawasan. Ia beruntung mendapatkan sekolah yang baik. Juga mujur beroleh induk semang yang pengasih, keluarga Bungaran Sibuea. Ia merasa sang paman menyayangi dia sepenuh hati.
Politisi yang akrab dengan pers (foto: dok. Keluarga Sabam Sirait)
“Waktu dia meninggal semalaman saya tunggui sambil menangis. Apalagi cara saya menghormati kalau bukan dengan cara seperti itu?”
Beruntung pula ia punya tulang Elam Sibuea, seorang aktifis politik yang sudah banyak makan garam. Elam Sibuea pernah menjadi camat dan bekerja di kantor gubernur. Menjadi bupati Toba di masa gerilya, pegiat Persatuan Christen Indonesia (Perchi) dan Partai Kristen Indonesia (Parki) ini kemudian aktif mengurusi Parkindo. Ia kembali menjadi bupati, yaitu di Tapanuli Utara mulai tahun 1964. Tapi masa kebupatiannya belum habis dia sudah digusur tentara. Pasalnya, menurut Djumontang, ia menentang judi yang sengaja dibiakkan militer.
“Untuk dapat duit tentara membuka pasar malam dimana-mana. Tulang Elam menentang judi karena menyengsarakan rakyat. Karena anti judi dan dianggap pro-Soekarno, digusurlah dia. Dia kemudian kembali ke Siantar,” kenang Djumontang.
Selama di Medan, dari Elam Sabam belajar banyak tentang dunia perpolitikan. Dari rumah keluarga Bungaran di Jalan Sei Putih, Sabam sering bertandang ke rumah Elam di Jalan Sungai Ular. Di sana biasanya ia akan mendengar sang paman ngomong soal politik. Ada kalanya Elam yang berkunjung ke rumah Bungaran. Dalam kunjungan ini pembicaraan dia biasanya tak jauh dari dunianya, dunia politik.
Tak syak lagi Elam Sibuea-lah guru politik perdana Sabam. Ketika melanjutkan pendidikan ke Jakarta nanti modal wawasan politik ini akan sangat bermanfaat bagi sang penyuka kitab Sedjarah Kemerdekaan Berfikir (JB Bury; diterjemahkan oleh LM Sitorus) dan Profiles in Courages (John F. Kennedy). (Bersambung)