Tak Berduit Meski Pemuka di Asrama Universitas Indonesia

Memberi ulos kepada Megawati Soekarnoputri (foto: Koleksi Keluarga Sabam)
Memberi ulos kepada Megawati Soekarnoputri (foto: Koleksi Keluarga Sabam)

Penggalan-5

JAKARTA-Kalderakita.com: Sabam Sirait  menginginkan privasi yang lebih. Waktu itu ia sudah menjadi aktifis Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Belum setahun menjadi mahasiswa ia sudah bergiat di organisasi ini.  

Setelah menjadi aktifis,  ia menjadi sibuk dan sering mendapat telepon  termasuk kalau sedang di rumah. Urusan telepon  inilah yang membuat dirinya sering merasa tak enak.

“Kalau ada telepon kan cuma satu nomornya. Saya masih ingat: 1258. Tidak pakai engkol, hebat itu. Langsung diangkat, operator yang menjawab. Kalau yang mengangkat telepon itu Ibu, saya dicari: “Sabam ada telepon”. Tapi kalau Pak TB Simatupang yang terima telepon,  dari jauh sudah teriak: “Sabam...ada telepon!” Jadi agak terganggu mereka karena saya sudah mulai jadi aktifis.”

ANAK ASRAMA

Waktu Sabam masuk Fakultas Hukum, UI sudah punya 3 asrama yaitu 2 asrama putra (asrama Pegangsaan Timur yang oleh penghuninya  disebut PGT dan asrama Daksinapati, Rawamangun) serta  1 asrama putri (Wisma Rini, di Jatinegara). Dari dua asrama putra ini, asrama PGT-lah yang lebih favorit sehingga lebih sulit diakses orang baru. Adapun asrama Rawamangun, kurang peminatnya karena lokasinya yang masih semacam terra in cognita (wilayah tak dikenal).

Kitaran asrama Rawamangun masih hutan sehingga mahasiswa dari Pulau Jawa dan Indonesia Timur enggan masuk ke sana. Seingat Sabam, di masa dia, dari 220 penghuni asrama ini sekitar 100 orang dari Sumatera Barat dan sekitar 80 orang dari Sumatera Utara. Masalahnya, mereka yang sudah terbiasa dengan hutanlah yang mau tinggal di sana. Pernah para penghuni ditawari otoritas asrama kapling gratis. Tapi, menurut Sabam, tak ada yang berminat. Dalam pikiran mereka buat apa tanah di hutan.  Suatu penyikapan yang sangat aneh kalau memakai perspektif sekarang, setelah Rawamangun menjadi salah satu daerah sentral Jakarta.

Selain dikelilingi hutan, lingkungan asrama Rawamangun juga dianggap angker. Di sana dulu pasukan Jepang pernah membantai sejumlah intelektual Indonesia yang dianggap tak sudi berkompromi. Para dokter di antaranya yang ikut disudahi. Jenazah para korban dimasukkan begitu saja ke dalam 3 sumur.

Setelah Jepang pergi ketiga sumur itu tetap terbuka; penduduk setempat tak berani menutupnya.   Namun, dekonstruksi mitos angker kemudian terjadi.

Seorang mahasiswa orang Batak menjadi penghuni asrama. Sebaik mendengar kisah tentang sumur angker, nyalinya bukannya ciut. Orang baru itu, kata Sabam,  malah menutupi sumur-sumur sembari mengatakan ‘mana hantunya’. Tak terjadi apa-apa setelah itu, kecuali sumur-sumur yang sudah berpermukaan rata.

Suatu waktu asrama ini akan diresmikan. Sebelum peresmian terjadi aksi protes oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan GMKI yang bersekretariat di sana. Pasalnya, sebelum acara  dimulai seorang dukun telah didatangkan. Tugasnya menjampi-jampi agar kawasan itu tidak seram lagi.

Sebelum sang dukun bertindak ia telah  ‘dibajak’ para penghuni asrama. Ia dibawa masuk keluar kamar untuk membuat tanda  ‘di sini ada hantu’.  Dukun itu sebenarnya tak disakiti. Tapi, karena dimain-mainkan mahasiswa,  peresmian urung. Ditambah lagi karena pejabat yang akan meresmikan bukanlah Presiden UI, Bahder Djohan. Kalau yang datang adalah sang dokter senior yang dihormati para mahasiswa tersebut, ceritanya tentu akan lain.

Kompak dan ceria: Sabam Sirait dan Presiden Joko Widodo (foto: Koleksi Keluarga Sabam)

Ada cerita tentang presiden UI yang menjadi Menteri Pendidikan di masa kabinet Wilopo tersebut yang masih diingat Sabam.

Suatu waktu, pas para mahasiswa bersiap keluar untuk malam mingguan, Bahder Djohan muncul. Mahasiswa tahu sang pimpinan sengaja datang untuk mengusik acara mereka. Janji kencan dan lain-lain terpaksa mereka tunda sebab tak enak kalau meninggalkan dia. Segenap penghuni asrama berkumpul dan akibatnya seluruh  kursi penuh sehingga sebagian mahasiswa duduk melantai. Ada persoalan apa gerangan sehingga presiden perlu datang di malam minggu?

Bahder Djohan gelar Marah Besar, tidak langsung ke pokok persoalan. Setelah tuturannya ke sana ke mari barulah masuk ia ke inti masalah. Ia minta agar kalau bermalam minggu penghuni asrama ke  Wisma Rini saja.

Hadirin kontan protes. Selain jauh, menurut mereka, anak Wisma Rini tak ada yang cantik.  

“Kita kan menganggap cewek-cewek yang masuk UI serius-serius, laki-lakinya lebih gantenglah,” ucap Sabam sambil tersenyum.

Keadaan sudah serius, kata Bahder Djohan. Orang-orang kaya baru (OKB) mulai mendatangi Wisma Rini dan membawa penghuni jalan-jalan keluar. Dalam pandangan dia, dari pada OKB, lebih baik anak-anak asrama yang membawa jalan.

“Saya tidak tahu apakah dia datang juga ke asrama Pegangsaan. Mungkin dia pikir Rawamangun bisa dipengaruhi karena penghuninya banyakan orang kampung. Semua protes. ‘Tiap minggu aku sediakan bis; kalau satu tak cukup, dua. Pakai itu bis pegawai’,” Sabam menirukan sang presiden UI.

Tergugahkah anak asrama Rawamangun akhirnya? Ternyata tidak.

“Anak UI itu dulu ada sombongnya. Nggak tahu ya kalau HMI. Tapi saya pikir sama saja. Pengalaman di GMKI misalnya, kalau masa perkenalan. Kalau ceweknya tinggal di Kebayoran tak ada yang mau mengantar. Apalagi anak Pegangsaan, mana mau mereka ngantar? Jatinegara saja sudah dianggap pudar; Tanah Abang pinggir sudah dianggap mati.  Menteng saja yang dihitung; kalau Menteng Lama nggak. Pernah orang ditanya dimana tinggal. Dia jawab ‘Menteng’. Menteng mana? ‘Menteng Lama’. Menteng Lama…ah, tak usah diantar!”

Kehidupan di asrama Daksinapati, Rawamangun cukup tertib masa itu. Penghuni diberi makan. Mereka tinggal ambil piring, antri untuk mendapat nasi dan lauk-pauk. Yang terakhir ini biasanya berbentuk sepotong daging—ayam atau sapi—tempe, dan sayur. Hanya gelas yang perlu dibawa sendiri dari kamar.

Kalau mahasiswa mau makan enak,  mereka akan membawa nasi dari asrama ke warung Mbah Haji, sekitar 350 meter dari asrama.  Di sana mereka akan membeli sayur telor, sajian yang sudah top bagi mereka saat itu.

Bersama istri, dr. Sondang Sidabutar dan putra mereka, Maruarar Sirait (foto: Koleksi Kelularga Sabam)

Setiap pukul 11.00 ada pengumuman tentang surat dan wesel yang datang. Biasanya penghuni dari lantai III, II dan I sudah siap mendengar pengumuman sebelum pukul 11.00 di sekretariat asrama. Kalau ada yang namanya dipanggil maka yang lain akan bersorak. Terutama jika wesel yang didapatnya. Artinya akan ada acara traktiran yaitu makan sayur telor di  warung Mbah Haji.

Tak semua mahasiswa yang rutin mendapat wesel dari orangtuanya. Ada juga yang jarang atau bahkan tak pernah. Mereka ini lazimnya menghidupi diri dengan bekerja. Sabam termasuk di antaranya. Mereka yang tak pernah mendapat wesel ini  sesekali ingin juga namanya dipanggil sebagai penerima wesel. Maksudnya agar ramai. Tak enak kalau jadi penonton terus.

“Jadi kita karanglah. Kita kirim sendiri wesel untuk diri kita. Ketika nama kita diumumkan kita pura-pura senang. Jadi ramailah,” Sabam berkisah.

Ada satu ketrampilan yang dipelajari Sabam selama di Daksinapati: catur. Sewaktu baru bergabung di sana ia buta catur. Nama buahnya pun ia tak tahu.  Tak heran, karena di rumah mereka di Pematang Siantar catur diharamkan ibundanya.  Maksudnya biar suami dan anak-anaknya tak terlena olehnya, seperti banyak orang.

Agar menjadi anak gaul, kini di asrama Sabam terpaksa belajar main catur. Sebab semua mahasiswa orang Batak di sana bisa memainkannya. Seorang kawan kebetulan bersedia menjadi relawan yang mengajari dia permainan otak tersebut. Menurut Sabam, dia diajari pagi hari; sorenya sang guru sudah tahluk olehnya. Sejak itu ia pun rajin mencari lawan baru.     

ASRAMA PGT

Sabam sebenarnya senang bermukim di asrama Daksinapati, Rawamangun, terlebih karena udaranya bersih. Namun kebetahannya tak lama. Belum lama ia di sana tatkala air di lantai III sudah tak mengalir. Krisis air lalu menjalar ke lantai II. Di sana semua   kran macet airnya. Akibatnya semua penghuni mandi di lantai I.

Suasana di lantai I (Sabam di lantai ini di kamar Nomor 2) menjadi sangat tak nyaman. Apalagi  setiap yang mandi selalu menyanyi keras atau berteriak-teriak. Penampakan mereka juga tak elok dipandang. Dari kamar mereka hanya mengenakan handuk di pinggang dengan sabun dan sikat gigi di tangan. Tak membawa pakaian mereka karena pasni nanti akan basah di kamar mandi yang tak pernah sepi dan menggunakan pancuran (shower). 

Setelah hampir setahun di  asrama Rawamangun, di penghujung 1958  Sabam mendapat kamar di asrama Pegangsaan Timur. Sobatnya, Binsar Siburian (ia pernah menjadi Ketua Umum GMKI), keluar dari asrama karena  menikah. Tempatnya di kamar Nomor 1 menjadi kosong dan itu kemudian ia wariskan kepada Sabam.   

Mulai sudah penggal kehidupan Sabam yang panjang di sini, yang berakhir setelah ia menikah di Gereja GKPI Sriwijaya Medan tahun 1969. Ia sudah tak bekerja di SMA PSKD lagi waktu itu tapi di Lembaga Administrasi Negara (LAN, sampai tahun 1960).

Asrama Pegangsaan lebih bergengsi dibanding Asrama Rawamangun. Staf dari pelbagai kedutaan kerap datang ke sana dengan berkendaraan dinas. Pun nona-nona. Tak heran, karena penghuninya banyak tokoh mahasiswa. Mereka yang kelak dikenal sebagai tokoh ’66 dan menjadi menteri Orde Baru,  Abdul Ghafur dan Cosmas Batubara, di antaranya.  Mahasiswa kedokteran cukup banyak di sana.    

Bersama istri, anak, menantu, dan cucu (foto: Koleksi Keluarga Sabam)

Di asrama Pegangsaan setiap hari penghuninya mendapatkan nasi putih dan air panas gratis. Lauk-pauk mereka beli sendiri di warung, terutama di warung  Bu Juju di dekat asrama. Kalau tak mencuci sendiri, mahasiswa bisa minta tolong ke pegawai asrama dengan memberi imbalan sesukanya. Tak seperti asrama Rawamangun, persoalan air tak ada di sini. Bak mandinya yang kuno tapi besar-besar senantiasa dipenuhi air ledeng.

Sejak awal Sabam yang sejak tahun 1958 telah menjadi Ketua GMKI Cabang Jakarta telah bersepakat dengan kawan sekamarnya bahwa mereka tak akan memakai kunci, baik untuk pintu maupun untuk lemari. Maksudnya agar teman-teman mereka leluasa di sana, termasuk dalam menyimpan barang.

Kelak, kamar nomor 1 ini jarang kosong. Teman-teman Sabam selalu datang bertandang. Eric Samola, TAM Simatupang, Parulian Silalahi, Hasan Ray,  dan Situmeang,  di antaranya. Rapat atau diskusi kerap sampai larut malam atau bahkan subuh. Kalau sudah demikian, tempat tidur Sabam dan lantai yang dialasi kertas koran bisa dipenuhi oleh 10 atau 11 orang.

ORANG SIBUK

Tujuh tahun Sabam tak pulang ke rumahnya di Pematang Siantar. Suatu waktu, tahun 1963,  pintu rumah orangtuanya diketok-ketok orang. Asianna, adik bungsunya,  bergerak ke arah pintu.

“Siapa itu,” tanya ibunya.

“Tak kenal aku, ada orang di luar,” ucap dia.

Ayahnya melihat ke luar.

“Ini adalah orang yang di gambar ini,” ayahnya berujar tertawa. Gambar Sabam memang sengaja dipasang di dinding rumah itu.  

Kisah ini dituturkan kembali oleh Djumontang, adik Sabam. Djumontang sendiri waktu itu ada di Tarutung, bersekolah di SMA. Tiga bulan berselang ia menyusul abangnya dan tinggal sekamar dengannya di asrama Pegangsaan Timur. Tahun itu juga ia ikut ujian masuk di Fakultas Ekonomi UI (FEUI) dan diterima.

Djumontang berkisah tentang pengalamannya sekamar dengan sang abang di asrama Pegangsaan Timur Nomor 17. Ia mengatakan,  saat ia masuk asrama Sabam sudah sibuk di luar sehingga jarang bercengkerama dengan orang-orang di sana. Kalau sedang di kamar selalu ada saja kawan yang menemuinya.

Seingat dia ada seorang kawan abangnya yang sering datang ke kamar mereka. Dia adalah Hasan Ray alias Hasan Rangkuti. Kalau datang dia berteriak dari luar. “’Bam dimana kau?’ Lalu dijawab Bang Sabam, ‘Eee...San, ayo masuk.’ Mereka biasanya akan berdiskusi terutama soal perkembangan politik dalam negeri,” kenang Djumontang.

Hasan Ray waktu itu Ketua Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI), lembaga bentukan Dewan Mahasiswa. Karena ketokohannya di lingkungan mahasiswa, sosok yang dikenal baik oleh Bung Karno, seingat Djumontang, pernah menjadi Pembantu Dekan III di Fakultas Hukum UI kendati belum menjadi sarjana hukum. Ia meninggal menjelang kejatuhan Soekarno akibat sakit paru-paru.

Satu lagi kawan diskusi Sabam yang suka bertandang ke kamarnya, menurut Djumontang, adalah Situmeang yang kelak bergelar doktor ekonomi.  

Kitab yang kesekian ihwal politisi senior, Sabam Sirait (foto: Koleksi Keluarga Sabam)

Semula, ungkap Djumontang, dirinya mengira Sabam punya uang untuk membiayai dirinya di Jakarta. Ternyata dia keliru.

“Orangtua tak punya duit untuk menyekolahkan kita. Saya berharap Bang Sabam punya duit karena dia sudah punya kegiatan. Saya bingung melihatnya. Satu minggu pertama saya mengenalnya di asrama, sama sekali dia tak punya uang. Dua minggu...tiga minggu...begitu juga. Saya tidak mendapat kiriman dari kampung. Akhirnya waktu dia mandi saya rogoh kantongnya. Sebagian yang ada saya ambil, mau beli rokok. Darimana kubuat membeli, aku tidak pintar bisnis untuk cari duit,” tutur dia.

Setelah menjadi pejabat Sekjen Partai Kristen Indonesia (Parkindo)  pun (1963-1967), lanjut Djumontang,  Sabam tetap tak berduit.

“Sebab setiap saya pulang ke kamar waktu mahasiswa  saya raba kantongnya. Dia tak punya uang. Dompetnya pun tidak ada. Tapi saya tak pernah pertanyakan itu, takut dia tersinggung. Kalaupun dia punya uang, misalnya 200 perak dia akan tahu siapa yang mengambilnya jika hilang. Cuma dia tidak ngomong, sudah tahu saya mengambil buat beli rokok. Hanya itu duitnya. Untuk membayar berbagai kebutuhan kuliah pasti uangnya tidak ada.”

Djumontang kemudian bingung memikirkan nasib studinya karena tak ada biaya. “Saya bertanya dalam hati gimana dia mau kuliah jika tidak punya duit. Aku...apalagi! Mau minta duit ke dia, dari mana uangnya? Enggak benar ini, pikir saya.”

Yang terjadi kemudian Djumontang kuliah tak kuliah. Tahun  1964 titik terang muncul. TAM Simatupang mengajak dia bekerja. Setelah sekitar dua tahun akhirnya ia putuskan untuk berhenti kuliah. “Akhirnya duit saya lebih ada dibanding Bang Sabam.”

*Catatan:

  • Semua foto dari buku Politik Itu Suci.