Merias Parapat-Ajibata, Gerbang Utama Pariwisata di Kaldera Toba

PARAPAT, Kalderakita.com: Apa gerangan yang sedang dibangun pemerintah pusat—lewat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)—di seberang Hotel Atsari? Pertanyaan itu kuajukan ke sejumlah kenalan lama, termasuk kawan di masa kecil, di Parapat. Saat itu, Januari 2021,  para pekerja bangunan yang menggunakan alat-alat berat sedang sibuk mengerjakan fundasi.

Jawaban mereka? Simpang siur. Tafsir yang mengemuka. Membangun pelabuhan feri. Mungkin seperti yang di Ajibata. Demikian satu jawaban yang kudapat. Kelihatannya, akan menghubungan Pantai Bebas dengan sisi kanan Wisma Pandu, lewat jalan di pinggir danau. Itu jawaban yang lain. Ada pula yang bilang: menyiapkan tempat selfie yang  di sekitarnya berjejer kedai dan gerai.

Seperti pada foto yang kuposting di Fb pada Januari 2021, di sebelah gerbang utama Hotel Atsari (dulu sebutannya Atsari I sebab ada juga Atsari 2 yakni di kiri Siantar Hotel)  sebenarnya terdapat plang proyek. Tapi di sana tak dimaktubkan informasi ihwal wujud sesungguhnya dari bangunan yang belum lama dikerjakan.  Kegelapan kian bertambah karena kawasan ini akhirnya dibalut sepenuhnya dengan seng yang tinggi; pantainya saja yang tetap terbuka. Sejak itu, yang bukan orang proyek atau mereka yang tidak berkepentingan dengannya tak dibolehkan mendekat.

Begitulah, sekitar 10 bulan ini diriku tak mengetahui infrastruktur apa persisnya yang sedang dihadirkan negara di sana. Sekarang jawabannya sudah kudapat.

Dua hari lalu aku kembali mendatangi tempat ini. Bersama jagoanku, Kei, diriku berolah raga pagi sembari menjepreti apa saja obyek yang menarik. Dari Ajibata  kami menapak ke simpang Guluan degan melewati kuburan yang menghampar di kiri-kanan. Tembusnya di dekat Nahornop-Aurora.

Dari sana, kami ke SD 2 (sebutan kami hingga hari ini untuk almamater yang bangunannya telah menjadi peruntukan SMP HKBP), Gereja HKBP Parapat, dan SMP Negeri 1 Parapat. Perjalanan etape 1 ini berakhir di Islam Murni. Sesuai tradisi panjang saban mudik,  kami pun mengganyang lontong Mak Rudi disertai Badak dingin.

Rencana bercakap dengan kawan-kawan lama—Sarido Ambarita, Indra Aritonang, dan yang lain—urung karena kedai tempat mereka nongkrong (sebutannya: Markas) saat kami muncul ternyata sudah sepi. Padahal, sudah kubilang akan merapat usai sarapan.

Kami berdua menapak lagi dengan melewati Hotel Tarabunga, Hotel Tamaro (fasilitas yang masih gres dan berkolam renang ini sebenarnya gabungan antara Hotel Cendrawasih dan Hotel Horas), Brandaris (vila yang didirikan penguasaha asal Swiss bersebutan Tuan Ulong), dan Tekongan Berbahaya yang di sebelahnya tegak Hotel Danau Toba International.

Saat mencari obyek foto, di trotoar yang di bawahnya terletak Wisma Boedi (sebutan zaman dulu), diriku tercengang. Sebab?  Penampakan di kejauhan, di seberang pertapakan yang di sana berada Hotel Atsari, Wisma Namora, Wisma Elly, dan Restoran Sinar Pagi sudah  sangat lain (Wisma Namora dan  Wisma Elly kini sudah bernama lain). Dari lensa yang ku-zoom terlihat bangunan berarsitektur Batak yang menghampar di bibir pantai.

Obyek itu kujepreti dari kejauhan. Ingin detil, kuajak Kei mendekat dengan menyeberangi jalan di hadapan warung Paradiso milik keluarga James—Jonny Sinaga.

“Dilarang memotret, Pak!” Seorang petugas  yang berseragam dan berhelm proyek menegor saat diriku mengatur fokus.

Tegoran yang sungguh tak kuduga.

“Mengapa nggak boleh?”

“Proyek ini belum diresmikan.”

Tak sudi beradu mulut, diriku lantas beringsut. Lagi pula, beberapa jepretan sudah kulakukan sebelum orang itu muncul.

Ke Wisma Pandu, kami berdua, berpaling. Ke tukangnya yang sedang sibuk kerja aku meminta izin untuk memotret.   Mereka membolehkan.

Sudut bidik dari halaman penginapan ini boleh juga. Meski dari sisi yang menyerong,  sejumlah angle yang bagus kudapatkan juga. Foto yang Anda lihat ini merupakan sampel dari 20-an bidikan yang kulakukan.

Sebenarnya sangat ingin diriku mengabadikan dari jarak yang sangat dekat, sesuai dengan ajaran fotografer kenamaan asal Prancis yang pernah melawat ke Pulau Jawa dan Pulau Padi tahun 1950-an: Henri-Cartier Bresson. Tapi, diriku kembali mendapat tegoran dari petugas begitu mengarahkan lensa ke sejawatnya yang sedang bertugas. Ya, sudahlah. Nanti kalau sudah rampung dan diresmikan pastilah fasiltas bagus ini kupotret sepuasnya.

NEGARA AKHIRNYA HADIR!

Parapat yang bersama Yogyakarta dan Bali merupakan daerah tujuan wisata utama Indonesia hingga tahun 1970-an hampir setengah dekade ini  luput dari perhatian pemerintah pusat dan daerah (Kabupaten Simalungun). Akibatnya, ia laksana  anak ayam kehilangan induk.

Setelah Conference Hall—terterletak di Marihat, ia sempat menjadi ajang sejumlah perhelatan tingkat dunia dan nasional, termasuk yang digelar PATA dan Dewan Gereja-Gereja Sedunia—serta Hotel Pertamina Siuhan dan Sally Golf Couse, Girsang (didirkan Pertamina di era Dirut Ibnu Sutowo), sudah tak ada bangunan penting-berkelas yang dihadirkan negara di kota kecamatan berhawa sejuk ini.

Pada sisi lain, sejumlah penginapan—hotel, wisma, bungalow—andalan telah semakin renta sebab memang merupakan warisan zaman kolonial. Sekian lama praktis Hotel Niagara (milik pengusaha Tionghoa asal Medan bernama Budiman) saja yang berjaya.

Setelah puluhan tahun bagai kerakap tumbuh di atas batu, sontak Parapat dan tetangga yang tak bisa dipisahkan darinya: Ajibata, mendapat perhatian besar  dari pemerintah pusat. Hal yang tak dinyana warga setempat dan keturunanya yang telah berdiaspora, tentunya. Sudah sepatutnyalah mereka, seperti halnya diriku yang merupakan bagiannya, bersyukur dan berterima kasih.

Presiden Joko Widodo mencanangkan Danau Toba sebagai salah satu Destinasi Parawisata Super Prioritas (DPSP). Gerbang utamanya adalah Parapat. Imbasnya, pembangunan pesat kemudian berlangsung di kawasan. Hasilnya nyata sudah. Seminggu ini kami mencermatinya lewat sebuah ekspedisi kecil.

Untuk kali pertama sejak Republik Indonesia merdeka tahun 1945, Pulau Samosir akhirnya telah dihubungkan jalan lingkar. Minggu lalu kami sudah menjajalnya. Jembatan Tano Ponggol (Pangururan) kini melebar-meluas-mendalam. Tiang-tiang jalan layangnya telah menyembul di sisinya.  

Pemerintah (melalui PUPR) juga telah merampungkan jalan menuju patung Yesus Kristus di Sibeabea, Harian Boho; termasuk lintasan berkelok menuju tepi pantainya.

Seperti di kawasan lain, di Parapat dan Ajibata karya pemerintah pusat pun sudah mewujud. Fasilitas wisata di depan Hotel Atsari ini hanyalah salah satu darinya. Yang lain termasuk pelabuhan feri Ihan Batak di Ajibata, instalasi pengolahan limbah di Pantai Bebas yang bagian permukaannya difungsikan sebagai wahana tamasya, olah raga, dan selfie-ria. Juga, home stay Kampung Warna-Warni (Tigarihit)  dan sanggar seni Dolok Sipiak.

Tentang bangunan keren di Pantai Bebas (d/h Sosor Pasir, Parapat),  itu akan kukisahkan di tulisan berikutnya. Yang pasti, kegagahannya tak kalah. Parapat Kota bakal memiliki tempat selfie keren, termasuk menara tinggi dari besi yang di dekatnya tegak patung sepasang lelaki-perempuan berpakaian adat.