Menggali dan Memunculkan Khazanah Budaya Kitaran Kaldera Toba yang Kian Terlupakan

Pagelaran Sendratari Warna Danau di GKJ (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Pagelaran Sendratari Warna Danau di GKJ (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

JAKARTA, Kalderakita.com: Asap dupa membubung dan baunya mendekap setiap sudut ruang. Datu yang bertanggal dada dan bersila  di atas lantai membentang pustaha laklak. Alih-alih mengusik, kepulan putih menebar aroma persis di hadapan malah menggugah semangatnya.

Artia, suma, anggara, muda, boraspati, sikora, samisara, antian ni aek,…”

Suaranya turun-naik laksana sedang menembang. Ia membaca yang termaktub di sana: nama-nama hari dalam sistem penanggalan Batak [parhalaan].

Para lelaki di belakangnya memandangi dia dengan takzim. Seperti meningkahi, dalam posisi bersila  terkadang mereka bergantian memainkan jurus-jurus  mossak [pencak silat] dengan kedua tangan dan badan yang serta-merta mengikuti. Di dinding kemudian tampak gambar berukuran besar halaman  parhalaan.

Pada zaman baheula, mencari hari yang baik [orang Batak Toba menyebutnya: manjujur ari atau maniti ari atau maningki ari] selalu dilakukan masyarakat yang menjadi  penghuni kitaran Danau Toba terlebih saat hendak melangsungkan sesuatu yang penting. Tatkala akan berpesta, mendirikan rumah, mulai bertanam padi, berperang, atau bepergian, di antaranya. 

Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com

Untuk itu mereka akan memanfaatkan jasa otoritas di lapangan tersebut: datu. Kaum yang memiliki kemampuan supranatural ini akan menjalankan prosesi. Membakar kemenyan dan merujuk isi kitab dari kulit kayu yang ditulis oleh dirinya atau koleganya, antara lain.

Adegan mencari hari yang baik menjadi satu dari sekian banyak kebiasaan orang Karo, Pakpak, Simalungun, dan Toba (secara antropologi keempatnya dikategorikan sebagai etnik Batak) zaman dahulu yang muncul di pentas Warna Danau.

Pada bagian lain tampak kelompok pemuda dan pemudi yang saling menggoda. Ujaran, nyanyian, dan sepasang  sarip-sarip [batok kelapa] bertali yang digantungkan di leher—kalau anak ‘zaman now’, mereka  gemar mengalungkan ear phone, bukan?—yang dibenturkan,  menjadi peramai suasana.

Bait-bait ‘Poltak bulan tula mansai torang/  marluga ahu di Tao Toba tung sonang/ molo huingot do sude hinadenggan ni basam/ holan tu ahu do sude hinalojam/…’ mereka lantunkan dengan berbalas-balasan. Jenaka lelakunya.

Foto: P. Hasudungan Sirait/Kalderakita.com

Permainan mereka lanjutkan dengan martumba [memainkan tarian kontemporer diiringi lagu]. Sesuatu yang tak asing bagi generasi X dan angkatan yang lebih tua yang dulu menghabiskan masa kecil dan remaja di kitaran Danau Toba.

Tole ma martumba na di alaman on/  baen hita marlas ni roha di bodarion/ poltak ho bulan o bulan na di ginjang/  sumondangi hami on na di alaman on/ andor gotillo weee andor getep/ andor gotillo we andor getep/…”

Terusannya adalah lagu ‘Sampele-sampele’ yang dulu sangat populer mulai dari lingkup bocah hingga manusia lanjut usia.

Sampele-sampele si ria-ria/ mangangkat jarum bosi to ho tu bariba/ tungkot jom amani mallotom/ na bibi na malamun tangkup gaol martata/ anggihu da menteng-enteng ibotonghu martata/ talu ahu marjuji sauang getep/ ise pataluhon si ganjang muse/ sadia ganjang na sahat tu Dairi/

/Ue na bibi na malamun tangkup gaol martata/ anggihu da menteng-enteng ibotohu martata/

Ole-ole langkat ni tobu ale, molo poltak bulan I mangalap boru ale/ boru aha ale/ boru Sitompul ale/ sian dia ale/ sian Pahae ale/ nitangkup na parpudi, nitangkup na parjolo…./”

Maralep [bermain petak umpet] mereka,  seusai mendendangkan lagu ini.  Seselesai menghitung, dia yang mendapat giliran sebagai penjaga mencari teman-temannya yang berhamburan dan menyembunyikan diri di 8 penjuru.  

Foto: P. Hasudungan Sirait/Kalderakita.com

Lagu penutup dalam pementasan opera Batak Serindo mereka lantunkan sebelum mengujungi penampilan.

Malos bunga-bunga da inang/ da dipadadang-dadang ari amang/ selamat tinggal di hamuna da inang/ selamat jalan ma di hami da amang/ horas-horas, horas be ma  inang/ horas-horas, horas be ma  amang./”

KEKAYAAN TERPENDAM

Danau Toba itu yang memesona bukan cuma alamnya tapi juga budaya masyarakat yang bermukim sejak lama di sekitarnya. Budaya sendiri bukan hanya benda—rumah, tenunan, ukiran, kitab, dan yang lain—tapi juga yang bukan benda: prosesi, permainan tradisional, tarian, nyanyian, musik, pencak, dan sebagainya. 

Saat memberi sambutan di Gedung Kesenian Jakarta pada 17 November 2021,   Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid (Fai) mengingatkan bahwa budaya nonbenda ini tak kalah memesonanya. “Danau Toba memiliki potensi selain kecantikan alam, yaitu  kekayaan budaya.” 

Foto: P. Hasudungan Sirait/Kalderakita.com

Ia mengatakan dirinya baru ulang dari Kabupaten Samosir menyaksikan   festival musik tradisional. “Saya ikut bangga melihat anak-anak sekolah SMP dan SMA kembali memainkan musik-musik tradisional. Saya  mengapresiasi yang telah dilakukan Thomson dan kawan-kawan. Saya berharap perhelatan ini dapat menularkan ke yang lain, sehingga ada volume dua, dan seterusnya. Sehingga akan lahir karya yang lain.”

Warna Danau, nama pementasan yang disutradarai Thomson Hs ini.  Warna yang dimaksud adalah kekayaan budaya. Sedangkan danau adalah Danau Toba. Jadi, khazanah budaya nonbenda dari 4 puak—Karo, Pakpak, Simalungun, dan Toba—yang menjadi penghuni kitaran Kaldera Toba yang dipertunjukkan.

Unsur kesamaannya adalah keserbaeksotikan dan kememukauan; begitupun, budaya nonbenda ini sudah lama terpinggirkan sehingga asing sudah bagi manusia yang lahir dan dan besar di zaman serba berinternet. Orang zaman dulu pun belum tentu pernah menyaksikannya. Kekayaan terpendam, sebutannya yang pas. Contoh lainnya adalah Gundala-gundala.

Foto: P. Hasudungan Sirait/Kalderakita.com

Mahluk-mahluk itu bertopeng besar dan berjubah kedodoran. Warna penutup wajah dan tubuh itu macam-macam; ada juga yang mecing dari atas hingga ke bawah. Saat menari ditingkahi gendang Karo yang mungil, 3 di antara mereka kemudian lunglai sebelum tergeletak di lantai. Kawan-kawannya yang terus berdatangan menari dan menari sembari meratapi yang terkapar. Mahluk berpotongan burung dan penunggang kuda  muncul dan ikut  larut  dalam peratapan. Musik berirama agak cepat terus mengalun mengiringi hadirin yang terus berseru-seru memohon.

Jerih payah mereka ternyata tak sia-sia. Yang terkapar kemudian bangkit dan turut melantai dengan gairah yang membuncah.

Gundala-gundala merupakan tarian Karo yang ditampilkan saat orang memohon turunnya hujan. Jadi, mereka yang terkulai dan kemudian tergeletak di lantai merupakan perlambang dari kemarau panjang.

Dari Tanah Karo, ditampilkan juga Guro-guro Aron. Diiringi gendang Karo, perkolong-kolong [penyanyi] menembang. Para pekerja di sawah menimpali dengan melantai. Gerakan pemudi dan pemuda ini serba lentur.

Foto: P. Hasudungan Sirait/Kalderakita.com

Selain moccak [pencak silat], genderrang sisibah kekayaan budaya tanah Pakpak yang disuguhkan kepada penonton. Di layar tampak para pemusik,  termasuk yang memainkan seperangkat gendang besar yang terdiri  dari 9 unit.  Sembari melenggak-lenggok sejumlah perempuan menampi beras.

Tortor Sombah salah satu khazanah Simalungun yang dipentaskan. Tarian ini merupakan suguhan untuk menyambut tetamu istimewa. Olah tubuh para penari dan ritme musik pengiring mungkin akan mengingatkan penonton pada tanah Priangan.

BERJEJAL

Di panggung sama sekali tiada properti. Ruang kosong memang dibutuhkan sebab para penari akan kerap melantai beramai-ramai. Peragaan pun silih-berganti dari awal hingga akhir. Sebab itu, blocking  cukup dengan memainkan lampu sorot. Begitupun, dekorasi untuk membangun suasana tentu saja tetap perlu. Dalam hal ini gambar yang diproyeksikan ke dinding yang merupakan latar. Suaranya kombinasi live dengan rekaman.

Di pembukaan, sebelum sendratari dimulai, film atau video yang diproyeksikan. Merupakan bahan promosi Kementerian Pariwisata, sebuah film pendek menggarisbawahi kedahsyatan alam kitaran Kaldera Toba. Turis asing, lelaki,  yang bersepeda gunung menuruni jalan setapak di Holbung (Harianboho) atau yang mengarungi jeram sebelum menuruni air terjun tinggi, tampak. Juga seorang perempuan Barat yang berselancar  dipermukaan danau dengan menggunakan papan ski tunggal yang di bawahnya ada mesin (hydrofoil board). Mutu gambar hidup yang kemungkinan besar dibuat orang asing ini berkelas dunia.

Saat di Gedung Kesenian Jakartapertunjukan dimulai dengan penampilan Sanggar Seni SMAN 9 Tangerang Selatan. Tari saman ‘Ratoh Jaroe’ hidup betul di tangan mereka. Pukulan rebana bertalu-talu tingkah-meningkah dengan teriakan, hentakan kaki di lantai,  dan tepukan.

Foto: P. Hasudungan Sirait/Kalderakita.com

Sendratari yang  berdurasi 1 jam lebih ini secara keseluruhan memikat. Para pelakon dan pengiringnya serba trampil dan berpenghayatan tinggi.  Tak percuma mereka diseleksi ketat dan, kemudian,  berlatih keras sekitar 2 minggu di markas KSPPM, Parapat.

Tata suara dan cahayanya juga terbilang prima. Semangat zaman kekinian pun cukup diperhatikan terutama lewat sosok para pelancong belia yang bersemangat mereguk pesona alam dan budaya kawasan Kaldera Toba.

Tentu bukan gading kalau tak retak.  Pertunjukan ini pun demikian. Kekurangannya yang paling mengemuka adalah  berjejalnya materi tampilan. Sementara, pada sisi lain, tiada seutas benang merah yang menjadi pengikat keseluruhan.  Perca-perca yang tak kunjung dijahit menjadi sehelai kain yang utuh, begitu jadinya. Adegan demi adegan yang menggarisbawahi kekayaan budaya 4 puak muncul silih berganti. Sayang, konteksnya menjadi lepas karena acap tanpa penjelas.

Sesungguhnya kekurangan ini bisa diatasi dengan mudah. Dengan menjadikan pelancong tersebut sebagai narator sejak awal hingga akhir, misalnya. Itu kemungkinan pertama. Dengan demikian penonton—terlebih yang bukan berasal dari keempat puak—tidak perlu kebingungan lagi.   

Kemungkinan kedua adalah memunculkan teks di layar sebagai narasi. Sedangkan pilihan lain adalah mengkombinasikan pelancong yang dijadikan narator dengan narasi di layar.

Foto: P. Hasudungan Sirait/Kalderakita.com

Sebagai sutradara berjam terbang tinggi sekaligus pelatih di Pusat Latihan Opera Batak (PLOT), Pematang Siantar,  Thomson Hutasoit tentu saja bisa menimbang pendekatan mana yang paling pas. Kalau saja pesan sponsor yang mesti disampaikan tak begitu banyak—mempromosikan selengkap mungkin budaya nonbenda 4  puak, intinya—sangat mungkin dia akan lebih memilih pendekatan teater, yakni yang mengedepankan story telling lewat lakon.  Konsekuensinya, tarian akan dikurangi betul. Tapi, kalau itu yang terjadi maka namanya bukan sendratari lagi.

Pementasan Warna Danau ini disponsori Direktorat Jendral Kebudayaan. Tepatnya, Balai Pelestarian Budaya Provinsi Aceh (Wilayah Kerja Aceh-Sumut). Acara dilangsungkan di 4 tempat yakni di Hotel Labersa Balige  (13 November 2024), Gedung Kesenian,  Jakarta (17 November 2024), Grand Inna Muara,  Padang (22 November 2024), dan Grand Mercure, Medan (18 Desember 2021).

Tiga pementasan usai sudah. Yang tersisa tinggal yang di Medan. Sangat mungkin penonton di ibukota Sumatra Utara ini bakal paling ramai. Sebab?  Thomson Hs, Ojak Manalu (penata artistik dan pencahayaan), dan yang lain pesohor di sana.

Editor: Rin Hindryati