Konser Tribute to Marlundu yang diprakarsai PSBI (Persatuan Simbolon dan Boruna Indonesia) (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Konser Tribute to Marlundu yang diprakarsai PSBI (Persatuan Simbolon dan Boruna Indonesia) (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Tulisan-2

JAKARTA, Kalderakita.com: Album ‘Pulo Samosir’ direkam pada 2003 di Medan, diluncurkan Juni 2004 di Dug Up Music (Inggris) tapi baru beroleh izin edar di Indonesia dalam bentuk keping VCD tahun 2010. Karya ini  meledak di pasar musik Batak dalam negeri begitu dirilis. Marsada Band memang menghadirkan atmosfir segar.

Hits mereka, ‘Maria’ dilantunkan anak muda Batak Toba di mana-mana; kalau di Sumatra terutama di pakter tuak. ‘Marmasak sandiri’ juga melejit.

Lagu ‘Maria’ kudengar untuk kali pertama di Pagarbatu, Ajibata, di kediaman ibuku. Gitar ada di sana saat itu. Tiga keponakan kami daulat untuk bernyanyi. Sidabutar bersaudara—Boris, Kevin, dan Gabriel—memulai dengan melantunkan tembang yang nadanya  tak asing di telingaku. Ya, itu ‘Merian’-nya The Cats, grup asal Belanda yang tersohor di tahun 1970-an!

“Maria’ ini dari album Marsada Band. Penciptanya Joe Harlen yang anggota Trio Ambisi,”  Boris yang masih mahasiswa di Unimed, menjawab pertanyaan.

Gitaris Lundu Sidabutar dan vokalis utama Riosan Putra Sialoho (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

‘Marmasak sendiri’ lagu kedua yang mereka bawakan. Ceria dan ketukannya cepat. Nomor yang tak asing di telingaku waktu itu baik melodi maupun syairnya.

Ai di ingot ho pe dongan ale dongan na marmasak sandiri i/  Mangallang gulamo na di tutung-tutung i/
Modom di lage-lage podoman naung maribak-ribak i/  Las i dope di pake hami sahat tu sadari on/

Alai anggo dongan ta sisahalak i na sian Lumban Lobu i/  Ima anak ni parlapo parutangan i/  Nungnga be tahe marujung ngolu ni di bulan naung salpu i/  Las dohot motor nama dabu di Sisera-sera i/

/Ale doli.. ale doli/  Ale doli.. ale doli/

Lagu ini dulu, di penghujung 1970-an, ada di album Trio Frienship. Penciptanya adalah Eric Silitonga, pimpinan kelompok yang musiknya di hasil rekaman itu ditata personil D’Lloyd, Barce van Houten. Kasetnya dulu ada di rumah kami, bersama sejumlah album lain terutama Trio Amsisi (Iran Ambarita, Charles Simobolon, dan Tua Doren Situmorang) dan kelompok yang di saat itu merupakan pemuncak:  Trio Lasidos (Jack Marpaung, Hilman Padang, dan Bunthora Situmorang).  

“Ini lagu kebangsaan kami anak-anak kos,” Kevin menerangkan. Saat itu ia masih bersekolah di sebuah SMA Katolik di Pematang Siantar. Kelak ia akan kuliah di Universitas Indonesia.

Di tangan Marsada Band  lebih hidup dan enak di kuping, tembang ini. Mutu aransemen, vokal, dan musiknya memang lain. Wajar saja kalau versi remake ini jauh lebih berhasil.

Peseruling Tonni Bursen Sidabutar (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Selain karena lagu-lagunya enak dan vokal Marlundu Sidabutar asyik, ada hal lain yang membuat tiga Sidabutar yang bermukim di Terminal Parapat sangat menyukai Marsada Band.

“Kolous Sidabutar itu masih keluarga kami kata Bapak,” ucap si bungsu Gabriel Garcia Marquez. Kolous adalah basis merangkap penyanyi latar di kelompok asal Pulau Samosir.

Lagu lama seperti ‘Boasa ma’ (Abidin Simamora—dia personil Trio Amsisi 2000), ‘Molo huingot’ (Parihutan Manik), dan ‘Sada do’ (Bachtiar Panjaitan) yang ada di album ‘Pulo Samosir’ pun lebih sedap di pendengaran.

Pada Juli 2011 mereka meluncurkan  album ke-2, ‘Samosir Najogi’. Di dalamnya termaktub  ‘Dang boi  bulan makkatai’ (Iran Ambarita), ‘Anju ma au’  (Marlundu Situmorang), ‘Horas Samosir najogi’, dan yang lain. Dua yang pertama  ini sangat disuka khalayak. Untuk seterusnya, keduanya menjadi semacam lagu wajib Marsada Band.

Seiring waktu, kumpulan rekaman suara mereka terus berlahiran termasuk yang berupa kompilasi.  Menjadi pesohor yang senantiasa diperhitungkan mereka, kemudian.

BERTRIO

Sejarah perjalanan Marsada Band sedikit saja ditulis orang. Sejauh ini,  yang bisa diakses publik dan isinya lumayan informatif adalah skripsi David Andartua Simanungkalit di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatra Utara (2011) dan  artikel Lando M.P. Manalu, di Grenek, Jurnal Musik Universitas Negeri Medan (Unimed), Volume 1, Nomor 3 (2012). Meski ada ketakselarasan muatannya di sana sini, kedua karya ini cukup memberi gambaran. Setelah kuramu, garis besarnya seperti berikut.

Pada 1990,  Marlundu Situmorang, Norma Manurung, dan Jannen Sigalingging membentuk trio. Pengiringnya pemain kibor. Berasal dari kitaran Lontung, Tuktuk Siadong, dan Tomok, mereka menyetujui nama yang diusulkan oleh Norma: Marsada (bersatu). Tempat latihan dan sekretariatnya di kediaman Marlundu.  Kafe Anju (dikenal juga sebagai Anju Cottage) ini ada live music-nya. Tuktuk kala itu masih menjadi semacam Kuta-nya Bali yang digandrungi bule. Turis asing memang sudah berkurang banyak akibat bom Bali tahun 2002.

Selain di kafe-kafe,  trio Marsada tampil di pesta-pesta Batak, terutama perhelatan pernikahan. Mereka sempat mengadu nasib juga ke Jakarta dan Bandung. Tapi, karena merasa peruntungan jauh, mereka kemudian pulang kampung.

Sang pimpinan, Amput Sidabutar (kanan) (Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Pada 2000 berdiri perusahaan penyedia layanan musik di Tomok. Bernama Artha Nada Group, pemiliknya Monang Sidabutar. Lelaki asal Tomok ini lulusan SMA Negeri Parapat. Amput, demikian nama lainnya, dia memperistrikan Epiphanis Debora (Evi) Simanungkalit.  Sesama tamatan SMAN Parapat, yang terakhir ini putri Aman Dohar (Marihot Simanungkalit), pemilik art shop Sitopahudon yang terletak di Segitiga, Parapat, serta juragan Gondang Nahornop yang berawakkan parsarune (pemain serunai) Binsar Nadeak dkk.

Visioner seperti mertuanya, Monang Sidabutar mengkombinasikan uning-uningan (musik tradisional Batak yang berunsuran taganing [seperangkat gendang Batak], hasapi [kecapi], sulim [seruling], garantung [mirip kulintang kecil], hesek [bottol yang dipukuli dengan paku besar atau gagang sendok]) dengan kibor dan gitar listrik. Sebagai pelopor wajar saja kalau kelompok ini tersohor dan banyak job. Menghibur di pesta pemberkatan yang sepaket dengan perhelatan adat, itu yang acap mereka lakukan.

Ingin mengembangkan timnya, Monang lantas mengajak Marlundu Situmorang, Jannen Sigalingging, Kolous Sidabutar, dan Amir Sinaga bergabung. Gayung ternyata bersambut.

Tambahan darah segar ini segera saja melesatkan Artha Nada Group ke orbit yang jauh lebih tinggi. Order dari luar Pulau Samosir pun kian acap datang. Termasuk dari Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Asahan, dan Parapat. Selain di pesta, mereka juga tampil di kafe-kafe terutama di Tuktuk. 

Seorang warga Inggris yang rajin menjambangi kafe di Tuktuk ternyata kepincut di tahun 2001 dan menjadi fans berat mereka. Hope Cooper namanya, ia tertarik untuk memanggungkan Artha Nada Group di Eropa. Syarat ia ajukan. Grup mesti menyiapkan demo rekaman. Lalu, namanya juga perlu ditukar agar sisi etniknya lebih mengemuka.

Kesepakatan terjalin. Artha Nada Group berubah nama menjadi Marsada Band. Mereka menyiapkan demo rekaman di Medan pada 2003. Tidak di studio, peralatannya, seperti pernah dikisahkan Marlundu di acara podcast awak band Sanga Jumpang, sangat sederhana.  Personil Marsada Band waktu itu 7 yakni Amput Sidabutar (taganing), Marlundu Situmorang (vokal dan gitar 1), Jannen Sigalingging (hasapi), Kolous Sidabutar (bas dan penyanyi latar), Amir Sinaga (sulim),  Hobbi Sinaga (hesek), dan Lundu Sidabutar (gitar 2).

Hasil rekaman yang sudah dimatangkan (di-mix) Hope Cooper  di Inggris menjadi bahan promosi di luar negeri. Buahnya ternyata ranum.

Pada Mei 2003 Marsada Band tampil 40 hari di pelbagai ajang di Inggris. Lantas, pada November 2005  mereka tur lagi sebulan di Inggris dan Belanda. Kala itu mereka berkesempatan berkolaborasi di panggung dengan pemusik etnik Afrika (Senegal dan Madagaskar). Hasil rekaman pada kedua tur ini yang diunggah orang di You Tube tentu saja semakin melambungkan kelompok seniman dari Pulau Samosir.

Istri Marlundu Situmorang, Helen Siregar, dan anak semata wayang mereka: Brigitta Situmorang (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

Tampaknya koloborasi dengan seniman Afrika yang menginspirasi sehingga mereka kemudian menggunakan tetabuhan yang mereka namai Samosir bonggo (sambo). Wujudnya adalah balanga (kuali) besar yang dibalik dan ditempatkan di atas kotak. Simbal dan drum tunggal menjadi pelengkapnya. Belanga dipukuli Jannen Sigalingging yang berbungkus tangan dengan ujung bawah stik. Sesuatu yang sangat unik tentunya, kalau menggunakan ukuran musik Batak.

Sepulang dari tur Eropa mereka meneruskan rutinitas lama, termasuk menyanyi di kafe dan pesta. Ternyata keretakan kemudian terjadi. Masih di tahun 2005, dua Sidabutar (Kolous dan Pardi) mundur. Hope Cooper juga berhenti sebagai manager. Untuk seterusnya sang bos, Monang (Amput Sidabutar), yang menggantikan dia.

Tonny Bursen Sidabutar dan Gultom Siallagan direkrut Amput sebagai pengganti Kolous dan Pardi. Rupanya pilihan ini tak salah. Bersama vokalis bersuara lembut, Marlundu Situmorang dan gitaris berpetikan maut, Lundu Situmorang, peseruling Tonny Sidabutar untuk seterusnya akan menjadi tiang utama kelompok yang senantiasa berpembawaan bersahaja ini.

Hengkangnya anggota Marsada Band kelak masih akan terjadi; sesuatu yang biasa, tentu, terutama pada kelompok-kelompok yang sudah ternama.

Belakangan, sang vokalis yang sudah identik dengan kelompok ini—seperti John Lennon di The Beattles, atau Freddy Mercury di The Queen—Marlundu Situmorang pun keluar. Bersama mantan awak Marsada Band—Jannen Sigalingging, Klous Sidabutar, dan Amir Sinaga—serta yang lain ia membentuk Marsada Star. Kelompok ini juga menelorkan sejumlah album yang beroleh sambutan hangat di tengah masyarakat. Nomor yang mereka lantunkan, terutama ‘Boan Au’ (Don Kinoi Simbolon) dan ‘Aut boi nian’, juga meledak di pasar pada 2017.

Jadi, keliru sebenarnya kalau artis senior yang menjadi pembawa acara di PSIB Tribute to Marlundu Situmorang—Marsada Band, Vanda Hutagalung,  pada Sabtu kemarin berkali-kali mengatakan di panggung bahwa “…Inilah kali pertama Marsada Band tampil tanpa Marlundu Situmorang.”   Kemungkinan Kak Vanda bertujuan menyenangkan semua orang saja. Kalau tidak, ia tak mengikuti jalannya sejarah. (Bersambung)