JAKARTA, Kalderakita.com: Bens Leo. Nama besar ini kuketahui untuk kali pertama pada paruh pertama tahun 1970-an. Sumbernya adalah majalah musik dalam negeri yang paling legendaris sepanjang masa, Aktuil.
Pada 1975, Lumumba Sirait yang baru tamat dari SMP Negeri Parapat melanjut ke SMA Negeri 3 Pematang Siantar. Di kota berhawa sejuk yang cuma 48 Km jaraknya dari Parapat abang kandungku ini indekos di Jl. Toba. Kelak di sana ia berhimpun dengan 2 kakak kami: Korbina dan Andriche (Maida)
Jarak yang pendek membuat dia rajin pulang ke kota kecil kami yang terletak di bibir Danau Toba. Kedatangannya selalu menggirangkan diriku. Sebab? Biasanya dia akan membawa serta majalah baru yang menurutku saat itu sungguh luar biasa. Isinya ihwal perkembangan musik dunia dan dalam negeri terutama yang berjalur rock. Informasinya kekinian. Rancangan luar dan dalamnya serba memikat. Foto-fotonya berbicara.
Ada yang tak kalah hebat. Terbitan Bandung ini berbonus keren yakni poster besar yang dilipat, stiker, dan gambar yang mesti disetrika untuk menempelkannya ke kaos oblong atau wadah lain. Bang Lumumba mencontohkan ke aku bagaimana menyetrika stiker itu. Tentu saja diriku takjub di awal-awal.
Sudah kecil serta berdinding kayu dan marbara [berkolong], koskosan yang di Jl. Toba itu berpenghunikan keluarga si empunya juga. Wajarlah kalau Bang Lumumba tak menempelkan poster majalah Aktuil di sana. Rumah kamilah—alamat suratnya waktu itu: Jl. Haranggaol No. 68, Siburaburak, Parapat—ajangnya.
Kediaman kami 3 lantai. Tak seperti 2 tingkat di bawahnya yang dari beton, bagian atasnya separuh kayu. Dari jendela berkaca 5 di depan kita bisa leluasa memandang Pulau Samosir yang di kejauhan dan air danau yang membentang laksana samudra di hadapannya. Di lantai 3 terdapat 4 kamar termasuk yang terbesar yang menghadap danau. Lantai 1 dan 2 masing-masing berkamar tunggal.
Marathon berjumpa musisi, bersama Iwan Hasan, founder progrock band (foto: Instagram)
Semula di sekujur dinding lantai 3 saja, termasuk kamar, yang ditempeli anak ke-3 itu (diriku anak ke-6 dari 12 bersaudara) poster. Terkadang aku dimintanya menjadi asisten. Begitu tingkat teratas ini penuh, ajangnya pindah ke yang terbawah. Lantai 2 terbebas dari poster sebab di bagian utama inilah ayah-ibu kami berkamar. Juga, ruang tamu utama berada. Tentu tak elok kalau dindingnya sarat gambar anak band.
Setelah ditempeli terus, akhirnya tak ada lagi ruang yang tersisa. Sementara abangku rutin membeli Aktuil yang masa terbitnya 2 mingguan. Yang dilakukan adalah mengganti-ganti gambar dengan yang baru yang dianggapnya lebih bagus.
Poster apa gerangan yang bertahan hingga beberapa tahun di rumah kami? Sampai sekarang sebagian besar masih benderang dalam ingatanku. The Beattles, Deep Purple, Rainbow, Black Sabbath, The Who, The Rolling Stones, Nazareth, Yess, Kiss [riasan wajah yang bergaya topeng menjadi ciri khas mereka), Grand Punk Railroad, The Queen, Uriah Heep, Jimi Hendrix, Janis Joplin, Bob Marley, Suzy Quatro, Tina Turner, Carlos Santana, dan Frank Zappa, antara lain.
Rocker sebagian besar? Iya. Tapi, aktor Alain Delon, Sean Connary, dan James Dean pun ada. Entah mengapa poster jawara dalam negeri: Freedom of Rhapsodia, God Bless, Giant Step, AKA, Super Kids, SAS, The Rollies, dan yang lain tiada. Pun, Guruh-Gypsi, Gang Pengangsaan, dan Badai Band yang beraliran pop kreatif.
Berukuran serba besar, mutu cetak poster ini serba prima. Pantaslah kalau diriku sangat menyukai semuanya.
Sejak di Siantar, abangku sendiri berpotongan seperti para rocker yang di poster. Badannya yang ceking dibalut oleh kemeja (pendek atau panjang tangan) dan celana kampak [cutbray]. Alas kakinya sepatu kulit tempahan yang sebetis dan berhak tinggi. Sindiran halus dari ayah ibuku terkait dandanan plus rambut gondrong dan sigaret yang diisapnya laksana masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Aku sendiri mengagumi sebab di mata ini dia gagah dan sangat kekinian.
Bersama presenter kondang Helmy Yahya (foto: Instagram)
Dua tahun saja Bang Lumumba bersekolah di Siantar. Begitu naik ke kelas 3 dia pindah ke sebuah SMA negeri di Margahayu Bandung. Kelak ia akan tamat dari Jurusan Elektro ITB. Tak tahu diriku apa setelah di kota kembang ia masih terus membeli majalah yang dibesarkan oleh trio hebat: Sonny Suriaatmadja—Denny Sabri Gandanegara—Remy Sylado (Japi Tambayong). Seharusnya masih, sebab dari sanalah asal terbitan itu. Kantornya saat itu di Jl Lengkong Kecil 5. Bens Leo yang masih belia menjadi wartawan mereka untuk Jakarta.
Sejak Bang Lumumba pindah ke Bandung tak ada lagi Aktuil baru di rumah kami. Pun, kaset rock Barat teranyar. Alhasil, nomor-nomor lama yang tak ikut dibawa pergi saja yang kubolak-balik manakala hasrat untuk membaca berita ihwal perkembangan musik cadas dunia dan Indonesia muncul. Kasetnya pun demikian (beberapa masih kusimpan sampai sekarang).
Entah kapan terjadi, poster-poster itu akhirnya hilang seperti ditelan bumi. Saat dinding dicat ulang, semuanya disingkarkan begitu saja. Begitu cerita yang kudapat kemudian. Kala itu diriku pun sudah kuliah di Bandung. Ya, nasibnya kurang lebih seperti grup-grup rock di negeri kita yang terpinggirkan setelah arus deras musik pop cengeng dan dangdut mengalir sejak awal 1980-an.
GENERASI BUNGA
Kendati muatan utamanya adalah informasi tentang musik—terutama rock—di Aktuil sejak semula ada juga suguhan lain tapi masih bertaut dengan kebudayaan-peradaban. Remy Sylado yang sangat enerjik dan kreatif, umpamanya, menghadirkan cerita bersambung berjudul Orexas (singkatan dari organisasi seks bebas).
Dia juga mengasuh rubrik ‘Puisi Mbeling’ yang pengikutnya banyak. Pria Minahasa yang kelak berpredikat aktor, wartawan, dosen, dan novelis ini selama 1970-1975 (masa kejayaan Aktuil) menjadi salah satu motor utama di sana. Pada 1975 ia akhirnya pindah dari Bandung ke Jakarta dan bergabung dengan majalah TOP. Begitu dia hengkang, pamor media yang berbonuskan poster, stiker, dan gambar setrikaan pun mulai redup.
foto Instagram
Terbit pertama kali pada 8 Juni 1976 di Bandung dan dibidani Denny Sabri Gandanegara, Toto Rahardjo, dkk., jelas Aktuil adalah suara Flower Generation (Generasi Bunga). Bangkit di seluruh dunia menolak kemapanan (anti-establishment), angkatan ini mengembangkan sub-kultur sendiri. Wujud ekstrimnya adalah yang dihayati kaum hippies asal Eropa dan Amerika yang tiap hari kami lihat di Parapat di tahun 1970-an.
Berprinsip kembali ke alam serta menolak industrialisasi dan kapitalisme yang imbasnya ternyata alienasi, penampakan kaum muda yang oleh orang Parapat disebut hippis dangol [hippies yang hidupnya menderita] sangat kere. Tubuh tak terurus karena asupan bergizi yang kurang dan jarang bersentuhan dengan air. Bulu di tubuh (termasuk rambut) dibiarkan memanjang. Pakaian sangat seadanya dan lusuh (yang perempuan bisa hampir tampak buah dadanya). Jalan kemana-mana tanpa alas kaki atau cuma bersendal jepit. Mengisap ganja saat rehat termasuk di kedai kopi dan di losmen murah. Musiknya rock atau blues.
Dengan menyadur pelbagai tulisan dari luar negeri, Sonny Suriaatmadja mengisahkan secara berseri sub-kultur perlawanan ini di Aktuil edisi tahun 1969. Eksperimen sastra Mbeling Remy Sylado kemudian meningkahinya. Tak syak lagi, Aktuil kemudian menjadi rujukan utama di negeri kita jika orang ingin tahu lebih banyak tentang Generasi Bunga.
Sebagai bacaan anak-anak muda perkotaan, Aktuil berfokus pada musik rock. Setelah pindah dari Bandung ke Hamburg, Denny Sabri yang penggila Deep Purple kemudian rutin mengirimkan berita tentang perkembangan grup-grup terkemuka, terutama konser dan album barunya.
Dirintis oleh putra Wakil Gubernur Jawa Barat periode 1966-1974, Sabri Gandanegara, yang berkesempatan menjadi kru Deep Puprle, Aktuil kemudian memiliki perwakilan di Hamburg, Muenchen, Berlin, Stocholm, New York, Ottawa, Tokyo, dan Kowloon.
foto: Instagram
Adalah Denny Sabri, dengan menggandeng promotor Peter Basuki (Buena Venture), yang berhasil mementaskan raksana bernama Deep Purple di Jakarta pada 5-6 Desember 1975. Pentas ini tentu saja sangat menambah gengsi Aktuil. Selepas konser yang sukses ini ia berfokus pada bisnis pencarian bakat (talent scout) penyanyi (Agus Sopiaan, Pantau edisi 6 Agustus 2001).
Di Indonesia, terutama di kota-kota yang tradisi rock-nya kuat, Aktuil tentu memiliki wartawan. Salah satu yang terkemuka adalah Bens Leo yang nama aslinya adalah Benedictus Hadi Utomo. Di sana ia tak hanya menjadi wartawan tulis tapi juga juru potret.
PENGAMAT SETIA
Karir Bens Leo sebagai jurnalis bermula tatkala setelah gagal masuk Akabri ternyata dia berhasil mewawancarai kelompok musik pop yang sedang naik daun di negeri kita, Koes Plus. Tulisan itu dimuat sebagai suguhan utama majalah Yudha Sport & Film.
Begitupun, yang melesatkan karirnya tetap majalah musik terbaik dalam sepanjang sejarah Republik Indonesia dan yang pernah bertiras sampai 126 ribu (pada periode 1973-1974), Aktuil.
Seperti dicatat Theodore KS (Rock’n Roll Industri Musik Indonesia—Dari Analog ke Digital (2013), Bens Leo bergabung dengan terbitan ini pada epriode 1973-1986. Ia pindah ke majalah Gadis (198-1993) sebagai redaktur seni dan budaya. Dari sana ia berpaling ke majalah Anita Cemerlang (1993-1998) sebagai pemimpin redaksi. Di majalah Newsmusik ia lantas (2000-2003) menjadi pemimpin redaksi sekaligus direktur produksi.
Lahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada 8 Agustus 1952, sejak lama ia juga dikenal sebagai komentator musik selain pengamat. Ia bergiat di acara ‘Kritik dan Musik’ Radio Amigos (1987). Pula, di sejumah radio lain: TMI, Prambors, Indika, dan iRadio (2000-2007). Adapun di radio PTPN Solo, ia menyiar 13 tahun (1992-2005).
Juri festival musik, merupakan pekerjaan dia yang lain. Sejak 1974 ia telah menjadi anggota Dewan Juri Festival Lagu Pop Indonesia.
Foto enam
Diriku pernah berbincang dan mewawancarai suami Pauline Endang Praptini (dokter ahli gizi) dan ayah Addo Gustaf ini. Senantiasa berpenampilan rapi, menurutku, ia pribadi bersahaja yang hangat-bersahabat. Semacam kamus berjalan dia kalau soal perkembangan industri musik Indonesia. Wajar tentu, sebab ia rajin memutakhirkan pengetahuan sedari masih muda dan praktis tak pernah berjarak dengan industri musik dalam negeri.
Wartawan yang menjadi narasumber utama, begitulah Bens Leo. Dia tak pelit berbagi ilmu dan pengetahuan. Wajarlah kalau keberpulangan pengamat berusia 69 tahun ini 2 hari lalu (akibat Covid-19) telah menggugah duka sekaligus kenangan banyak kalangan, termasuk diriku.
Selamat jalan, Mas Bens Leo. Sumbangsihmu selama setengah abad pada dunia musik Indonesia sungguh berharga. Sebagai yang sesama berlatar wartawan, diriku salut dan bangga padamu yang berkomitmen sepanjang hayat. Sedikit saja orang seperti dirimu di negeri kita tercinta. Damailah dalam alunan musik di sana…