Tulisan-1
JAKARTA, Kalderakita.com: “Timbo do Pusuk Buhit hutatap sian Samosir/ tudos tusi do huhilala dung muli ahu tu supir…/”. Itu penggalan lirik lagu ‘Supir Motor’ yang menjadi salah satu nomor klasik Opera Batak Si Tilhang alias Seni Ragam Indonesia (Serindo). Artinya? “Tinggi Pusuk Buhit kupandang dari Samosir. Seperti itulah perasanku sejak menikah dengan supir.”
Tinggi itu relatif, seperti halnya jauh, mahal, cantik, yang lain yang merupakan kata sifat. Sebab itu satuan ukurnya, kalau ada, perlu disebut. Pusuk Buhit yang merupakan gunung tertinggi di kitaran Danau Toba berada 1.980 meter di atas permukaan laut (mdpl). Bandingkanlah dengan Semeru yang sedang bergolak (3.676 mdpl, tertinggi di Pulau Jawa), Puncak Jaya, Papua (4.884 mdpl, tertinggi di Indonesia), atau Everest, Himalaya (8.849 mdpl, tertinggi sedunia). Tak seberapa jangkung, bukan gunung yang dimaksud istri supir motor [sopir mobil]?
Begitupun, Pusuk Buhit maha penting bagi orang Batak terutama dari angkatan lama. Serupa Olympus yang merupakan gunung mitologis Yunani, dia dianggap: sakral dan kramat. Sampai detik ini pun masih banyak yang berpandangan demikian, terutama mereka yang tak buta sejarah peradaban.
GUNUNG MITOLOGIS
Di puncak Pusuk Buhit-lah Debata Mulajadi Nabolon [Sang Pencipta Segala atau Allah], Dewa Tritunggal atau Dewata Trimurti—Batara Guru, Debata Sori (Soripada), dan Mangala Bulan—serta para pembantu Sang Khalik pada satu waktu turun dari Banua Atas atas Banua Ginjang [Benua Atas] dengan menyusuri benang yang dahulu dilempar Si Boru Deang Parujar (sebutan lainnya: Si Borudeak Parujar).
Mereka lantas melanjutkan perjalanan ke Sianjur Mulamula (Sianjur Mulajadi, Sianjur Mulatompa), lembah di kaki gunung. Hari itu di sana ada perhelatan dan mereka diundang. Anak kembar dari pasangan Si Boru Deang Parujar—Si Raja Odapodap (nama lainnya adalah Tuan Ruma Uhir Rumagorga) sudah cukup umur untuk dipermandikan dan diberi nama.
Acara martutu aek dan mampe goar berlangsung. Mulajadi Nabolon yang langsung memimpin. Si Raja Ihat Manisia dan Si Boru Ihat Manisia (ada yang menyebut: Itammanisia) itu nama yang diberi ke kedua bocah.
Sada tinembak, dua hona [satu ditembak, dua kena]. Di ajang pertemuan perdana warga Banua Atas dan Banua Tonga [Benua Tengah] ini Mulajadi Nabolon mengenalkan dan menetapkan hukum dan aturan lain untuk manusia. Dia juga menyerahkan Pustaha Laklak dan Pustaha Tumbaga. Keduanya kemudian menjadi kitab suci pertama orang Batak.
Mangaso setelah lelah mendaki (foto: Rheinhardt Sirait/Kalderakita.com)
Seusai prosesi, rombongan yang dari Banua Atas pun pulang. Si Boru Deang Parujar dan suaminya ternyata ikut serta dan tak kembali lagi. Untuk seterusnya, Si Raja Asi-asi dan Si Raja Ingot Paung—dua asisten Sang Khalik—yang mengurusi Si Raja Ihat Manisia dan Si Boru Ihat Manisia. Kelak, setelah umurnya cukup, anak Si Boru Deang Parujar menjadi suami-istri. Incest? Iya, memang. Toh, belum ada manusia lain.
Pasangan ini beranakkan Raja Miokmiok, Patundalnibegu, dan Ajilampaslampas. Raja Miokmiok memperanakkan Engbanua. Yang terakhir ini memperanakkan Raja Aceh, Raja Bonangbonang, dan Raja Jau. Raja Bonangbonang memperanakkan Raja Tantandebata yang anaknya adalah Si Raja Batak (WM Hutagalung, Pustaha Batak).
Tetap bermukim di Sianjur Mulamula, Si Raja Batak. Setelah ia meninggal arwahnya yang suci dan kramat bersemayam di puncak Pusuk Buhit. Sombaon Pusuk Buhit, sebutannya. Begitu kepercayaan orang Batak, sekian lama. Tonggo-tonggo Dolok Pusuk Buhit [Doa-doa Puncak Pusuk Buhit] dipanjatkan untuk dia.
Si Raja Batak memperanakkan Guru Tateabulan dan Raja Isombaon. Pomparan [keturunan] Guru Tateabulan adalah mereka yang kemudian digolongkan sebagai kelompok Lontung; sedangkan sundut dari Raja Isombaon adalah bani Sumba. Kalau bukan trah Lontung ya, Sumba. Kalau bukan Sumba, ya Lontung. Begitulah setiap orang Batak hingga detik ini. Kami—Manurung, Sitorus, Sirait-Butarbutar—yang keturunan Nai Rasaon, umpamanya, masuk Sumba. Sedangkan Situmorang, Sinaga, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Siregar, dan Aritonang (Si Raja Lontung) adalah grup Lontung.
PENCIPTA BUMI
Seperti halnya entitas lain yang telah berperadaban tinggi, bangso [bangsa] Batak—demikian orang Batak menyebut dirinya—memiliki kosmologi sendiri. Versi tentang asal-muasal semesta raya menurut jalan pikiran nenek-moyang masyarakat yang bermukim di kitaran Kaldera Toba ini tentu tidak tunggal. Garis besarnya sama tapi detilnya bisa berbeda di sana-sini.
Ihwal drama penciptaan Banua Tonga yang berlangsung di kitaran Pusuk Buhit dengan aktor utama Si Boru Deang Parujar, umpamanya. Cerita yang dihimpun penulis terkemuka: Washington M Hutagalung (pernah menjadi kontrolir di Balige dan jaksa di Pangururan, Pulau Samosir, pada periode 1910-an hingga 1920-an), Raja Patik Tampubolon (seorang raja adat terkemuka), dan Anicetus Bongsu Sinaga (Uskup di Medan pada 2009-2018) ada perbedaan minornya.
Pencipta bumi sekaligus perintis kampung pertama manusia (Sianjur Mulamula). Juga, ibu dari manusia perdana. Begitulah Si Boru Deang Parujar, menurut kosmologi Batak.
Perempuan yang pandai bertenun ini putri Batara Guru. Jadi, dia dewi. Tatkala usianya sudah cukup, ia dipertunangankan dengan putra Dewata Mangala Bulan. Namun, begitu terperanjat dan jijik dia begitu melihat calon pendamping hidupnya. Si Raja Odapodap berwajah serupa ilik [kadal]!
Puncak gunung yang asri (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Ia pun mencari akal untuk menghindari perjodohan. Ke bulan ia pergi untuk meminta 7 gumpal benang. Ia berjanji bahwa seusai menenun ulos ia akan menikahi tunangan.
Mengulur-ulur waktu, yang ditenunnya pada malam diharhari-nya [diurainya] pagi. Yang dikerjakannya siang dibongkarnya petang. Begitu seterusnya hingga tahun ke-7 dari masa pertunganan yang 10 tahun. Mulajadi Nabolon tentu saja mengetahui apa yang terjadi.
Kesal juga Si Boru Deang Parujar, akhirnya. Suatu waktu, gulungan benang dicampakkannya ke halaman. Ternyata gumpalan itu menancap kian dalam saban ditarik.
Dia minta tolong ke Mulajadi Nabolon lewat Si Leangleang Mandi. Suruhan Sang Maha Pencipta ini yang selalu menjadi perantaraan saat yang satu meminta dan yang satu lagi memberi. Komunikasi langsung tiada.
Mulajadi mengirimkan sebuah tongkat berikut pesan. Sesuai petunjuk, Si Boru Deang Parujar menancapkan penopang itu di dekat gulungan benang membenam. Yang terjadi? Kedua benda malah melorot kian jauh.
Ingin mendapatkan gulungan, ia lantas turun dengan menyusuri benang yang ujung sebelahnya masih terikat pada alat pemintal. Di Banua Tonga yang sepenuhnya masih berupa lautan, tubuh yang bertumpu pada benang dan tongkat pemberian Mulajadi (sebutannya: tungkotungko sipitu tanduk si sia ulu [penopang bertanduk tujuh dan berkepala sembilan]) terombang-ambing hebat akibat terpaan angin peahir gelombang. Barangkali macam tornado yang kemarin meluhlantakkan sejumlah titik di 6 negara bagian AS, keganasan alam itu.
Si Leangleang Mandi muncul saat Si Boru Deang Parujar terteror betul. Ajakan pulang ditolak. Dewi itu menegaskan, dirinya tak sudi menikah dengan tunangan. Ia malah meminta ke Mulajadi Nabolon segenggam tanah untuk dijadikan tempat berpijak.
Permintaan diluluskan. Tanah yang dibentuk Si Boru Deang Parujar dengan kedua tangannya mengembang dan mengembang menjadi daratan luas.
Ketika dipanggil pulang lagi, putri Batara Guru menampik. Jatuh cinta sudah dia pada pada hasil karyanya.
Naga Padoha—ular naga perkasa yang bermukim di Banua Toru [Benua Bawah]—yang kemudian ditugasi menjemput. Kendati sosoknya menakutkan betul dan dibenci, ditampik juga dia.
Menjalankan perintah Mulajadi, Naga Padoha pun mengobok-obok lautan. Gelobang dahsyat memporak-porandakan segala. Daratan sampai hancur-lebur.
Danau Toba sebagai latar belakang (foto: Rheinhardt Sirait/Kalderakita.com)
Marah, kecewa, dan sedih. Begitupun, perempuan kreatif itu tak menyerah. Segenggam tanah dimintanya lagi melalui Si Leangleang Mandi.
Diberi, ia kembali menempa. Ternyata malamnya Raja Padoha menghancurkan lagi.
Murka, sang dewi lantas memperdaya Naga Padoha yang ternyata jatuh hati juga padanya. Mahluk ganas-perkasa ditikamnya. Menancap dalam; gagang [suhul] pisau saja yang tampak di permukaan. Ular raksasa dipasungnya sehingga hanya mampu menggeliat lemah di tempat. Kalau itu dilakukannya, lalo (gempa) yang terjadi. Kelak, agar gempa tak berulang, orang akan berseru-seru, “Suhul….suhul….suhul.”
Mulajadi Nabolon memberi tanah 7 genggam yang diminta Si Boru Deang Parujar. Penciptaan berlangsung lagi. Agar tak berulah kembali, Raja Padoha ditimbun oleh sang dewi dengan tanah di Banua Toru. Pambeangan [pemasungan] abadi berlangsung.
Daratan yang terbentuk jauh lebih luas dan kokoh. Wajarlah kalau si penempa senang betul melihatnya.
Kembali menolak ajakan pulang, tunangan di Si Raja Odapodap malah meminta benih flora dan fauna. Mulajadi menugasi Bata Guru menyiapkannya.
Aneka benih berloncatan begitu wadah dibuka Si Boru Deang Parujar. Bawah air, permukaan tanah, dan angkasa seketika disemarakkan oleh puspa mahluk hidup.
Pertunanganan harus mewujud menjadi pernikahan. Mulajadi menyuruh Si Leangleang Mandi membawa Si Raja Odapodap ke bumi. Ada yang bilang bahwa tubuh putra Mangala Bulan itu dicincang dulu sebelum dimasukkan ke wadah bambu. Setiba di bumi, tutup buluh dibuka. Bukan yang berwajah macam ilik yang keluar melainkan seorang lelaki tampan!
Si Boru Deang Parujar senang melihat tunangan yang telah bermetamorfosa. Mereka kemudian jadian.
Ingin pulang ke ke Banua Ginjang dengan alasan rindu pada ayahandanya, kali ini Si Boru Deang Parujar yang minta dijemput. Debata Mulajadi Nabolon menolak dengan alasan: selama ini panggilanNya yang telah berkali-kali telah dibaikan.
Permohonan sang dewi agar pernikahannya diberkati, juga ditampik. Mulajadi bahkan mengatakan putri Batara Guru itu akan menerima ganjaran akibat pembangkangannya sekian lama. Hukumannya? Mesti lelah dan bercucur peluh demi menghidupi diri. Begitupun, ia tetap gabe [memiliki anak].
Ternyata Mulajadi Nabolon luluh juga kemudian. Buktinya, ketika diundang untuk menghadiri acara martutu aek dan mampe goar putra-putri pembuka kampung Sianjur Mula-mula, ia datang dengan membawa serta rombongan.
Seusai perhelatan ini pasangan Si Boru Deang Parujar—Si Raja Odapodap ikut rombongan Debata Mulajadi Nabolon kembali ke Banua Atas. Waktu itu kedua anak mereka menangis minta ikut. Tapi, benang yang menjumbai dari Banua Atas seketika putus dan hancur sebaik rombongan telah meninggalkan bumi.
Banua Tonga ditinggalkan pasangan itu untuk selamanya. Tapi, bukan berarti bahwa relasi penghuni kedua benua menjadi terputus sesudahnya.
Para malaikat masih acap turun-naik Pusuk Buhit agar bisa bercengkrama dengan manusia. Pada sisi lain, keturunan si Boru Deang Parujar, termasuk Si Raja Batak, cukup mendaki puncak Pusuk Buhit bila ingin bertemu dengan Mulajadi Nabolon. Sebuah kemesraan yang sangat istimewa, tentunya.
Keadaan berubah setelah manusia yang kian banyak itu semakin berdosa. Selain menduakan Sang Khalik, mereka saling menyusahkan dan memperdaya sesama. Banua Tonga yang berpusatkan Pusuk Buhit itu menjadi bau busuk. Warga Banua Ginjang pun menjauhinya. Untuk seterusnya, lewat ritus-ritus dan persembahanlah pertautan dilanjutkan. Secara langsung tak bisa lagi.
KEANGKUHAN ROHANI
Beberapa hari lalu Pusuk Buhit sontak menjadi perhatian khalayak luas. Penyebabnya adalah sebuah video yang viral. Dalam rekaman itu tampak seseorang berseru-seru dan bernyanyi rohani (Kristen) sembari menginjak sisi situs di puncak gunung yang disakralkan orang Batak sejak lama. Di dekat kakinya sesajen klasik—sesisir pisang, telor, anggir [jeruk purut], sirih, dan yang lain—berletakan.
Di bawah, di atas rerumputan, rombongan sang pengkhotbah menyahuti dengan penuh gairah. Seorang dari mereka rajin meningkahi dengan meniup trompet sangkakala a la zaman Perang Salib.
Desa Sianjur Mulamula, Tahun 1992 (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Lelaku lelaki yang disebut media massa kemudian sebagai pendeta bernama Ampetua Lumbantoruan Sihombing dari Gereja Bethel Indonesia (GBI), Medan, sungguh jumawa dan arogan. Intinya, ia meninggikan Yesus Sang Raja sembari melaknat parsantian yang disebutnya bagian dari dunia kegelapan.
Tentu saja ia tahu bahwa puncak berbangunan sederhana sampai hari ini pun masih sakral di mata kalangan tertentu; bukan penganut Ugamo [Agama] Batak belaka tapi juga mereka yang menghargai dan mencintai warisan luhur dari para leluhurnya.
Ah, kalau saja orang itu dan rombongannya mengetahui dan menyadari bahwa Pusuk Buhit dan kitarannya merupakan jantung Tano Batak sejak lama dan jika itu dilecehkan-dinista maka identitas yang selama ini menyatukan bangso sebenarnya yang dipersetankan. Jangan-jangan, justru karena sangat mafhum maka demistifikasi yang menjadi agenda mereka….
Ironisnya, sang pendeta kemudian menyangkal perbuatannya saat mengklarifikasi lewat video. Konyol tentu, sebab jejak digitalnya masih ada dan tetap bisa disaksikan publik sampai sekarang.
Seorang pendeta—secara teoritis merupakan sosok yang telah mendalami teologi dan pernah belajar ilmu perbandingan agama—seyogyanya mengetahui bahwa tak boleh dan tidak etis jika sampai merendahkan yang lain untuk meninggikan diri atau kelompok sendiri. Pun, mengerti juga bahwa tidak pantas mencampakkan begitu saja warisan budaya yang adi luhung. Ulos dan artefak budaya lainnya, seharusnya tak boleh dibakar. Kalau memang menganggapnya berhala, ciptakanlah kriya yang Kristiani tapi yang tak kalah mutunya. Bukankah demikian yang adil yang berkeadaban? (Bersambung)
*Catatan:
Foto-foto di atas hasil jepretan kami saat mendaki puncak Pusuk Buhit pada 2 kesempatan yakni tahun 1992 dan 1998.