Tulisan-1
PARAPAT, Kalderakita.com: Bumi Papua, Aceh, Maluku, Toraja, dan Timor Leste sudah. Juga, hampir semua kota besar di negeri kita, termasuk Medan. Tapi, tanah kelahiran sendiri: Parapat dan sekitarnya belum. Akhirnya menyeruak juga rindu di dada untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, di sana. Itu terjadi setelah diri ini berbelas tahun (sejak paruh pertama tahun 1990-an) menjadi pemateri dalam berbagai training dan workshop yang berkaitan dengan jurnalisme dan tulis-menulis.
Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih baik negeri sendiri. Kata pepatah ini belakang hari terasa kian banyak benarnya. Rindu untuk memberi sesuatu ke tanah asal pun menyesak sementara kesempatan tak kunjung datang. Untuk melangsungkan kelas sendiri belum mungkin.
Akhirnya! Pucuk dicita ulam pun tiba. Yakoma PGI yang di masa itu dimotori Mula Harahap, Irma Riana Simanjuntak, Rainy MP Hutabarat, dkk. mengontakku di satu siang. Mereka akan mengadakan Lokakarya Media Gereja di Parapat. Berpeserta para pendeta dan aktifis, acaranya pada 4-8 Agustus 2009 di Sopo KSPPM, Parapat. Permintaan agar diri ini sudi menjadi pemateri tunggal tentu saja kusambut dengan sangat antusias.
Sebelumnya, diriku sudah acap bermitra dengan Yakoma PGI. Urusannya tiada lain dari workshop. Begitupun, undangan ke Parapat ini menurutku istimewa betul.
Mula Harahap dan James Simorangkir rehat di Pangururan (foto P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Nama KSPPM (singkatan dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat) sebelumnya sudah lama kudengar. Merupakan salah satu NGO tertua di Sumatra Utara, pada 23 Februari 1983 ia dibidani orang-orang pergerakan terkemuka: Asmara Nababan dan abangnya: Indra Nababan, Nelson Siregar, Muchtar Pakpahan, dan yang lain.
Kawah candradimuka yang menggembleng para aktifis pro-demokrasi dan HAM Sumatra Utara, lembaga yang semula bermarkas di Siborongborong dan kemudian pindah ke Girsang—Parapat ini rutin mendatangkan pemateri termasuk dari Pulau Jawa.
George Junus Aditjondro dan Parakitri Simbolon antara lain yang pernah mereka tanggap. Alumninya termasuk Irma Riana Simanjuntak (sekarang Advocacy Officer Region Asia dari United Evangelical Mission [UEM]), Delima Silalahi (kini Direktur KSPPM), dan Tumpak Winmark Hutabarat. Bersebutan Si Doli Perjalang, Tumpak yang setelah bertahun bermukim di Raja Ampat, Papua, dan menjelajah pelbagai titik di dunia akhirnya memilih Siantar sebagai basisnya.
Diri ini agak terperangah setiba di Sopo KSPPM Parapat pada Agustus 2009 itu. Letaknya, menurut kami orang Parapat, di Girsang Sada. Kalau dari Terminal, ke kiri sebelum Jembatan Siserasera. Seperti halnya Sipintupintu—lintasan di antara Balige dan Siborongborong ini terletak di punggung bukit terjal sehingga berkelok-kelok dan di sisinya menganga jurang maha dalam—Siserasera legendaris. Maestro pendiri opera Batak, Tilhang Oberlin Gultom pun memaktubkan kedua tempat dalam syair lagu Supir Motor sebagai hadabuan ni motor i [tempat mobil berjatuhan].
Sekitar 400 meter dari simpang di dekat Siserasera terdapat gedung beton berlantai 3. Dinding luarnya sengaja tak diplester sehingga batu batanya menonjol. Ya, penampakannya sebagaimana lazimnya gereja dan sekolah Katolik di Sumatra Utara. Lantai teratas (ukurannya sekitar 24x22 meter) menjadi peruntukan Aula Asmara Nababan, kamar untuk tetamu (ranjangnya bertingkat), 2 kamar mandi, dan 2 teras (di samping kanan dan di belakang).
Pendeta Rawalpen Saragih dari GKPS (foto:P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Dapur dan ruang makan terdapat di lantai dasar, di belakang. Di sanalah hadirin bersantap dan bersantai untuk menghilangkan penat seusai kelas. Juru masak yang merupakan awak dari KSPPM menyiapkan aneka penganan untuk mereka.
Di bawah, di belakang gedung, menghampar sawah dan ladang. Di sanalah awak lembaga ini menyemaikan aneka bibit tanaman secara organik. Sebagian benih itu nanti dibagikan ke para dampingan yang bermukim di Pulau Samosir, Humbang Hasundutan, Toba, dan kawasan lain.
Seorang saja anak Parapat yang menjadi awak lembaga ini, kala itu. Dia adalah Mei Situmorang, adik tokke bus Sejahtera, Josdi Situmorang. Menantu Siahaan Par-Rodame ini mengurusi keuangan. Bertemu di sana dengan keponakan yang juga tetangga sedinding kami sewaktu di Siburakburak, Parapat, tentu saja sangat menyenangkan rasanya.
KELAS YANG SERU
Kesempatan mengajar di Sopo KSPPM sepanjang 4-8 Agustus 2009 itu sangat kunikmati. Sebabnya? Terutama karena para peserta yang terdiri dari para pendeta dan aktifis yang datang dari pelbagai kota bersemangat mendalami teknik meliput dan menulis dengan gaya perkisahan (story telling). Yang pendeta termasuk Jimmy Wenno (GKI Tanah Papua), Jefry Naray (GKST Tentena), Simon Raprap (GPIB Lampung), dan Rawalpen Saragih. Yang terakhir ini seorang aktifis yang pembawaan jenaka dan teatrikal.
Orang Jakarta tersihir oleh danau memesona (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Pula, atmosfirnya hangat-bersahabat. Feodalisme tak terasa kendati hadirin bauran dari senior dan junior.
Komentar dan celoteh 2 senior—Mula Harahap dan James Simorangkit—serta Dimpos Manalu terhadap karya tulis para peserta menjadi pemantik hangatnya suasana. Bang Mula yang hadir sebagai penanggung jawab dari Yakoma adalah orang-penerbitan tulen. Penulis yang kelak menghasilkan buku Ompung Odong-odong ini Sekretaris Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) periode 1988-2006. Gondrong, brewokan, dan berpenampilan kasual, perokok berantai ini humoris yang hangat.
Bang James seorang sarjana teologi yang kemudian bergiat sebagai aktifis. Bersuara bariton, ia pencerita-pengkhotbah yang piawai. Kalau dia yang membacakan, Surat Paulus menjadi bermakna betul rasanya.
Lae Dimpos, saat itu merupakan Direktur KSPPM. Pembelajar yang bersemangat, kelak ia melanjutkan pendidikan di UGM. Setelah mendoktor ia menjadi pengajar di Universitas HKBP Nommensen, Medan. Saat ini ia menjadi pengamat sosial-politik-budaya yang acap dihubungi media massa.
Pendeta dari Indonesia Timur menikmati Danau Toba (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Puncak dari acara adalah field-trip. Kami semua bertolak ke Pulau Samosir naik kapal kayu. Dari Tuktuk perjalanan dilanjutkan dengan bermobil ke Simanindo dan Pangururan. Sepulang dari sana masing-masing peserta menuliskan kisah tentang pencerapan dirinya sebagai pengamat sekaligus pelancong. Karya mereka ada beberapa yang memikat.
Sekarang sudah diujung tahun 2021. Sementara kisah barusan berseting tahun 2009. Artinya, sudah 12 tahun lebih lampau. Begitupun, semuanya masih serba benderang saat diri ini teringat tatkala mengajar kembali di Sopo KSSM Parapat pada Jumat-Sabtu kemarin. Seperti bunyi iklan, bintiknya kelihatan jelas sekali….
Ah, sang waktu juga tak kuasa mengeyahkan kenangan istimewa….(Bersambung)