Sedap Betul Rasanya, Bisa Berbagi Pengetahuan di Tanah Kelahiran

Belajar jurnalisme dan story telling (foto: Tara/KSPPM)
Belajar jurnalisme dan story telling (foto: Tara/KSPPM)

Tulisan-2

PARAPAT, Kalderakita.com: Tawaran itu menarik, menurutku. Mengajar di tanah kelahiran sendiri, Parapat. Pesertanya, awak dari sebuah lembaga penting di Sumatra Utara yang bersejarah panjang.

Masalahnya, waktunya tak cocok. Di paruh  ke-2 Desember ini diriku sedang banyak utang pekerjaan.  

“Bagaimana kalau di minggu ke-2 Januari 2022 saja?”

“Ini program tahun 2021. Sebentar lagi tahun anggarannya sudah berakhir,” kata Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSSPM), Delima Silalahi, dalam percakapan kami lewat Whatsapp.

Setelah merenung, kutawarkan jalan tengah. Mengajar lewat zoom saja. “Inginnya sih kelasnya tatap muka biar lebih efektif,” kataku lewat WA.

Ito Delima ternyata setuju kelas secara online. Ia bilang bahwa orang admin mereka segera menghubungi. 

Kelengkapan yang diminta orang admin, Ito  Cyntia Simbolon,  kupenuhi; termasuk bahan ajar. Sebagai balasnya, jadwal kelas ia kirimkan. Disebut, di hari ke-2 saja aku menyampaikan bahan ajar. Rencana sudah berubah, rupanya.

Peserta serius menyimak(foto: Tara/KSPPM)

Begitupun, diri ini masih menginginkan kelas tatap muka.  Alasannya jelas. Sejak pandemi covid-19, aku mengajar secara daring saja. Termasuk di Master Class jurnalisme perbankan dan di Banking Journalist Academy (BJA) yang masing-masing berlangsung 3 bulan pada 2021.

Menurut perasaanku,  kelas tatap muka jauh lebih efektif sebab interaksinya bisa maksimal. Pun, lebih manusiawi. Sinyal yang bisa turun-naik hanyalah salah satu kelemahan sistem daring.  Pada sisi lain, KSPPM di mataku sangat penting sehingga tak pantas ditangani dengan pendekatan ala kadarnya.

Setelah diskusi intens dengan istri, Rin, akhirnya kuputuskan untuk merapat ke Parapat. Pekerjaan rumah akan kubawa serta.

Ito Delima Silalahi girang mendengar hal itu. Ia meminta diriku berkoordinasi dengan orang admin soal tiket.

Di acara perkenalan, cerita ini kusampaikan ke hadirin di Aula Asmara Nababan, Sopo KSPPM, Girsang-Parapat. Kugarisbawahi bahwa diriku  merasa telah mengambil keputusan yang tepat.  “Tak pantas kalau KSPPM ditangani  dengan setengah hati,” ucapku.

Hadirin yang sekitar 20 orang itu bertepuk menyahuti.

KELAS YANG BERGAIRAH

Ini kali ke-2 diriku mengajar di KSPPM Parapat. Yang pertama pada 4-8 Agustus 2009. Pesertanya para pendeta dan pegiat gereja yang datang dari pelbagai penjuru termasuk Papua,  Maluku, dan Lampung selain Sumatra Utara. Materinya adalah teknik reportase dan menulis dengan gaya perkisahan (story telling).

Bekal pendamping masyarakat dan pengelola website (foto: Tara/KSPPM)

Pada workshop Jumat-Sabtu 17-18 Desember 2021 materinya Standar Jurnalisme dan Teknik Menulis Story Telling. Pesertanya?   Awak KSPPM yang datang dari sejumlah tempat, termasuk Pangururan dan Siborongborong, selain Parapat. Kaum muda ini  umumnya telah terbiasa mendampingi masyarakat.  Mereka perlu menuliskan pengalamannya selain mengisi website KSPPM.

Marsen Sinaga, aktifis lawas yang sudah berakhir masa kerjanya sebagai Direktur INSIST Press, Yogyakarta, menjadi pemateri perdana. Penulis buku Pengorgansasian Rakyat dan Hal-hal yang Belum Selesai (terbit tahun 2017) memaparkan kiat menulis siaran pers. Sebuah ketrampilan yang tentunya perlu bagi setiap pegiat NGO.

Kelas di hari ke-1 itu kuteruskan dengan materi Standar Jurnalisme dan Berita Langsung (Straight News). Lembaga seperti KSPPM yang ingin mengoptimalkan suguhan website-nya niscaya memerlukan ilmu ini. 

Di hari-2 aku aku saja yang mengajar. Pokok bahasannya? Mulai dari Mengatasi Kesulitan Menulis hingga  Agar Tulisan Hidup, Bertenaga,  dan Bergaya. Teknik story telling kubagikan dari pagi hingga malam. Agar konkrit, para peserta terus berlatih mengunakan teknik narasi, deskripsi, adegan, dan kombinasi dari ketiganya. Seperti yang selalu terjadi di kelas yang kutangani, semua peserta hari itu memecah rekor dirinya yakni menghasilkan tulisan terbanyak dalam sehari. Kalau saja waktunya lebih panjang,  pasti pencapaian diri sendiri akan lebih mencengangkan mereka.

Ternyata, pada pukul 17.00 atau  sejam sebelum sesi hari ke-2 berujung,  sontak terdengar ratapan dari lantai bawah. Kelas ku-skor. Kami menghambur ke lantai 1. Di sana seorang perempuan muda terisak-isak. Ito Delima merangkul dan mengusap-usap kepala dia. Togu Simorangkir duduk dengan kepala menunduk di sebelah mereka.  

Keceriaan seusai acara (foto: Tara/KSPPM)

Sejak siang Togu,  aktifis Alusi Tao Toba (kelompok literasi) yang belakangan bergiat mengurusi Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ),  bertandang di kantor KSPPM. Ia baru pulang dari Pulau Samosir, seusai menjadi pemateri bersama  Annette Horschmann, pemilik Tabo Cottages, Tuktuk.

Saat rehat sore,  aku sempat berbincang dengan pentolan TIM 11 yang berjalan kaki dari Balige ke Jakarta untuk menolak keberadaan korporasi perusak lingkungan PT Toba Pulp Lestari (TPL); mereka diterima Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, pada Jumat 6 Agustus 2021. Ayah Nous, Langit, dan Bumi memberiku Tuak Tangkasan hasil dari ladangnya. Saat kureguk, rasanya memang nikmat.

Ternyata, Bang Parlin Manihuruk baru saja meninggal di RCSM, Jakarta, setelah 2 tahun didera kanker. Ia pegiat KSPM angkatan awal dan untuk seterusnya setia di jalur gerakan pro-demokras dan HAM.  Yang meratap adalah putrinya. Sedang mengikuti program S-2, ia staf KSPPM.

Kelas kami teruskan setelah pemberangkatan putri Bang Parlin bersama  3 rekan kerjanya  ke rumah duka di Medan. Kendati dirundung duka, peserta ternyata masih tetap bergairah meneruskan pelajaran. Tentu saja diri ini semakin terkesan.

LEMBAGA PENTING

Kesempatan berbagi pengetahuan ke awak KSPPM sangat kusyukuri. Di mataku, lembaga yang pada 23 Februari 1983 dibidani Asmara Nababan, Indra Nababan, Muchtar Pakpahan, Nelson Siregar, dan yang lain maha penting. Selain kawah candradimuka yang telah banyak menghasilkan aktifis pro demokrasi, HAM, lingkungan, dan masyarakat adat, sampai detik ini ia masih merupakan benteng bagi kawasan Kaldera Toba. Merekalah, bersama Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) yang paling vokal sekarang menentang perusakan alam Tano Batak yang dilakukan PT Inti Indorayon Utama (Indorayon) yang telah berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari.

Tak lupa ber-Natal bersama (foto: Tara/KSPPM)

Atmosfir Sopo KSPPM Parapat juga sangat kusuka. Semangat kekeluargaannya mengemuka. Feodalisme tak kulihat di sana. Begitulah: saat acara bebas di malam hari pertama dan seusai perayaan Natal, umpamanya,  semuanya luruh. Diriku tak terkecuali.

Wajarlah kalau orang lama seperti Bang Eliakim Sitorus dan Lae Dimpos Manalu selalu merindukan tempat ini. Kabarnya, Profesor (emeritus) Bungaran Antonius Simanjuntak (Pak BAS) juga.

Bang Eliakim bersama rombongan kecilnya muncul saat kami marmitu [minum tuak]  di ruang makan pada malam hari pertama. Sambil mengisi perut, ia mendaulat kami melanjutkan hiburan. Lagu Marsada Band, Trio Amsisi 2000, Tongam Sirait, dan yang lain yang ditingkahi petikan gitar pun kembali memecah malam.

Lae Dimpos hadir untuk memeriahkan Natal KSPPM pada 21 Desember malam.  Seperti yang lain, dia juga tampil lepas di sesi hiburan. Kedoktoran-kedosenannya tak ada urusan.

Ah, hari-hariku yang sungguh indah di Sopo KSPPM …(Bersambung)