Oleh: Sebastian Hutabarat*
BALIGE, Kalderakita.com: Hampir semua tamu yang berkunjung ke Pizza Andaliman, ketika saya tanya sudah kemana saja, dan mau kemana lagi, hampir semua menyebut nama Sibeabea. Bukit indah dengan jalanan aspal berkelok-kelok dari Perbukitan Tele menuju Danau Toba.
Luar biasa memang kekuatan foto ini.
Foto-foto itu berhasil menyita perhatian hampir semua perantau yang pulang ke Tanah Batak.
Subuh tadi, saya membaca tulisan Lae Rizal Naibaho, photographer keren dari [Pulau] Samosir
Rizal menulis tentang komplain orang-orang yang datang ke Sibeabea. Di antaranya, harga tiket motor yang tarifnya Rp. 20.000 dan mobil Rp. 50.000. Tarif ini berlaku untuk semua kendaraan, meski di dalam mobil hanya seorang diri.
Keluhan berikut, ketiadaan fasilitas toilet dan sarana untuk orang bisa makan atau sekadar minum.
Pihak pengelola yang ternyata bukan dari [kalangan] pemerintah – karena area tersebut ternyata dibangun bukan oleh pemerintah, tapi yayasan yang mencoba berbuat untuk Tanah Batak – berdalih bahwa kawasan itu memang masih sedang dalam proses pembangunan. Jadi, belum selesai.
Dan perihal harga tiket, menurut pengelola [tarif] itu [berlaku] untuk satu mobil, entah berapa pun isi penumpangnya.
Apa yang terjadi dalam perdebatan ini, menurut saya sangat menggambarkan apa yang terjadi dengan Tanah Batak, Orang Batak, dan Pariwisata Danau TOBA.
Parlindungan Siregar sebagai salah seorang putra Batak, dalam bukunya Tuanku Rao menulis: dasar bangsa keras kepala, sudah dikasih makan enak, masih terus ngomong berpanjang lebar. Tidak perduli banyak orang yang kelaparan.” Ini merujuk pada pesta-pesta adat Batak yang sangat sering terlambat makan, karena berdebat dan ngobrol.
Saat istirahat gowes, sebelum berangkat ke Medan dan lanjut ke Jogjakarta. (foto: Istimewa)
Terima atau tidak, begitulah faktanya. Kami orang Batak ini lebih senang berdebat. Beberapa orang bahkan bisa kaya-raya dari urusan menjual kata-kata dan perdebatan ini. Salah satunya, profesi [sebagai] lawyer.
Kami orang Batak lebih senang berdebat ketimbang mengambil bagian untuk mengisi ruang-ruang kosong yang ada. Kami lebih senang berkompetisi dan bukan berkolaborasi.
Saya tidak ingin terpancing dengan aneka perdebatan soal harga tiket dan fasilitas di bukit Sibeabea. Kejadian begini sangat sering kami alami semenjak kami pulang dan memilih berusaha wisata di Balige.
Anak dan Boru ni Raja
Terkadang tamu-tamu kita ini, yang juga mayoritas Halak Batak, lebih senang menyampaikan komplainnya di depan umum. Kami sangat sering mengalami itu dan dalam hati kami berpikir yang komplain itu, keluarga dan saudara kami juga, Orang Batak, anak Para Raja.
Saya kira senangnya orang Batak bertikai ini, lebih karena dilatari kekeliruan memahami konsep dan pemahaman akan Anak dan Boru ni Raja.
Raja yang sering lebih dimaknai adalah sebagai 'status dan hak', dan bukan sebagai 'perilaku yang Rajani', yang lemah lembut, tegas, dan punya hati berbagi serta senang melayani.
Saya juga tidak ingin terpancing dengan perdebatan konsep Raja dalam Tatanan 'Dalihan na Tolu', karena dalam faktanya, kami orang Batak lebih senang berdebat mempertahankan hak-hak dan status ketimbang saling mengisi dan melengkapi.
Faktanya, begitu banyak sudah fasilitas yang sedang dan masih dibangun oleh Pemerintah Pusat (terlepas dari aneka kekurangan didalamnya), kami masyarakat di bawah belum banyak yang bergerak.
Belum banyak yang mengambil peran sebagai pelayan untuk para tamu yang datang.
Alam nan eksotik (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Untuk kasus Sibeabea, kalau saja pihak pengelola, entah itu oleh Yayasan sendiri atau bekerja sama dengan pihak lain, betapa banyaknya orang yang bisa bekerja bahkan sejahtera jika di tempat itu juga disediakan aneka fasilitas untuk wisatawan.
Wisatawan Ingin Senang bukan Marah-marah
Menurut Mbak Heni Smith, pemilik The Lodge Group Maribaya, orang-orang yang beriwsata, sebenarnya tidak menuntut macam macam. Yang penting, mereka bisa dapat tempat yang cukup nyaman, dan bersih. Kalau bisa, makan dan minum yang enak juga. Pada dasarnya semua wisatawan itu rela kok membayar lebih mahal dibanding di tempat tempat biasa lainnya.
Secara umum, para wisatawan itu sebenarnya berangkat dari rumah bukan untuk marah-marah, tapi untuk senang-senang, ingin keluar dari rutinitas sehari-hari.
Jadi, daripada kita saling berdebat tentang Sibeabea, tentang BPODT, tentang susahnya mendapatkan toilet yang bersih, tentang harga dan timbangan mangga di Parapat yang sering tidak fair, bagiamana kalau kita berkolaborasi saja...
Saling melengkapi dimana saudara kita yang lain masih belum sanggup melengkapinya.
Dalam hati ini, semakin mendidih keinginan untuk membuat sepada motor semacam food truck yang bisa berjualan ke tempat-tempat wisata. Berjualan apa saja, produk-produk wisata dengan pelayanan yang prima.Toh, margin yang didapat bisa cukup besar untuk dibagi bagi.
Semoga mimpi mimpi ini bisa kita eksekusi bersama-sama dengan saling mengisi dan melengkapi.
Good bye kompetisi, welcome 'kolabroaksi' (selangkah lebih maju dari kolaborasi, yakni dengan mengambil 'aksi')
Tarabunga Balige 8 Januari 2022.
*Sebastian Hutabarat adalah pegiat lingkungan yang juga entrepreneur