PARBABA, Kalderakita.com: Setidaknya pada dekade 1970-an Sinar Indonesia Baru menjadi salah satu koran terkemuka di Sumatra, kalau bukan yang terbaik. Kala itu perwajahannya masih elok karena mementingkan estetika. Suguhannya pun serba menarik. Selain berita kekinian—dari Toba hingga mancanegara—saban hari ia memunculkan komik strip bernama Nasib Si Suar Sair dan cerita bersambung karya Arifin Siregar.
Kolom pun ada di sana. Pengisinya para penulis terkemuka di Sumatra Utara. Agama Islam biasanya dibahas oleh M. Djamir Panggabean, pada Jumat. Sedangkan ke-Kristen-an oleh Sutan Manahara Hutagalung dan Andar Lumban Tobing pada akhir pekan.
M. Djamir Panggabean adalah mantan jaksa yang menjadi ‘mubalig’. Sedangkan Sutan Manahara Hutagalung dan Andar Lumban Tobing doktor teologi; yang satu dari Yale dan yang lain dari Rheinische Friedrich-Wilhelms, Bonn. Akademisi tersohor, mereka kala itu merupakan duet pimpinan Gereja Kristen Protestan Indonesia—GKPI.
Kolom budaya di suratkabar yang dimiliki Gerhard Mulia (GM) Panggabean dan mengada sejak 9 Mei 1970 terbilang istimewa. Dada Meuraxa dan Batara Sangti (Ompu Buntilan Simanjuntak) rajin menurunkan tulisan ihwal sejarah dan budaya di sana.
Orang Aceh yang bermukim di Medan, Dada Meuraxa banyak menulis ihwal suku-suku yang ada di Sumatra, terlebih yang di bagian utara. Batak Toba menjadi salah satu perhatiannya. Karya-karyanya kemudian mewujud dalam sejumlah buku termasuk yang tebalnya ekstra: Sejarah Kebudayaan Suku-suku di Sumatera Utara (Sasterawan, 1973) dan Sejarah Kebudayaan Sumatera (Firma Hasmar, 1975). Penguasa Batak Toba, Si Singamangaraja, antara lain yang dibahasnya.
Adapun Batara Sangti, ia berfokus pada sejarah dan budaya Batak Toba. Dinasti Si Singamangaraja termasuk telaahannya. Pernah menjadi demang dan bupati yang diperbantukan ke Gubernur Sumatra Utara, dialah penulis buku Sejarah Batak (537 halaman). Karya yang muncul kali pertama pada tahun 1977 ini merupakan serial 100 lebih tulisan yang dimuat di suratkabar Sinar Indonesia Baru pada periode Oktober 1971-Juni 1972.
FGD Titik Nol Peradaban Batak (Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Penerbit kitab ini Karl Sianipar Company, Balige, yang Presiden Direktur-nya adalah Sutan Badiaraja Sianipar. Pada periode 1930-an-190-an, ayah Sutan Badiaraja yang merupakan perintis Karl Sianipar Company telah menerbitkan beberapa karya penulis Batak terkemuka: Mangaradja Salomo Pasariboe dan Mangaradja Asal Siahaan.
Sampai sekarang Sejarah Batak terbilang istimewa sebab selain pokok bahasannya luas serta mendalam juga ditulis oleh seorang Batak Toba. Sebelum menjadi birokrat, pada 1929-1934 dia berpengalaman sebagai koresponden dan redaktur sejumlah koran di Pematang Siantar dan Balige.
Menulis di koran dan setelah banyak hasilnya kemudian dibukukan. Begitulah Batara Sangti. Dalam hal ini ia serupa dengan jurnalis kawakan Sumatra Utara, Mohammad Said.
Banyak menulis soal budaya dan sejarah di suratkabar yang dihadirkan dan dipimpinnya sejak 11 Januari 1947, Waspada. Begitulah Mohammad Said, penulis kitab Koeli Kontrak Tempo Doeloe—Dengan Derita dan Kemarahannya (terbit tahun 1977). Raja Si Singamangaraja XII termasuk yang diperhatikannya secara khusus.
Di tahun 1961 karyanya yang berjudul Tokoh Si Singamangaradja II—Dari Halaman2 Terlepas dalam Tjatetan, dihadirkan oleh penerbit Waspada, Medan. Dalam menulis kitab ini ia memanfaatkan 65 buku berbahasa Belanda dan Jerman, mulai dari karya Guru Kenan Lumbantobing, Adniel L. Tobing, Dja Endar Moeda hingga P.A.L.E van Dijk, M. Joustra, J.H. Meerwalt, D.N.W de Boer, van Ophuijzen, J. Tideman, A. Schreiber, JC Vergouwen, dan Herman Neubronner van der Tuuk. Keilmiahannya lebih kental dibanding Sejarah Batak. Namun, yang terakhir ini juga punya sejumlah kelebihan antara lain berspektrum luas dan riset lapangannya kuat.
Dada Meuraxa, Batara Sangti, Mohammad Said, dan yang lain membicarakan pokok bahasan yang serius ihwal budaya dan sejarah di suratkabar Sumatra Utara. Pendekatannya tentu saja populer karena yang disasar adalah khalayak luas yang niscaya aneka latar belakangnya.
Karya Muhammad Said, D Pospos (Foto: P Hasudungan Siriat/Kalderakit.com)
Sidang pembaca ternyata menyukai buah pena tersebut yang di masa itu mereka anggap sungguh sebuah kebaruan. Sebelumnya, sebagian besar mereka tak pernah beroleh informasi berbahasa Indonesia semenarik itu yang ditulis oleh kaum sendiri; bukan oleh tuan pendeta atau ilmuwan yang bekerja untuk gubernemen (pemerintah Hindia Belanda). Kini, tulisan-tulisan itu telah terbilang klasik dan menjadi khazanah yang sangat berharga.
Tradisi Panjang
Dunia Batak menjadi perhatian kaum pemikir-penulis sejak lama. Dalam bentuk aksara Latin, tentu si bontar mata (kaum yang bermata putih alias bule) yang pertama sekali melakukannya. Perintisnya adalah Franz Wilhelm Junghun (1809-1884), botanikus, naturalis, geolog Jerman. Pada 1847 bukunya, Die Battaländer auf Sumatra (Tanah Batak di Sumatra), terbit.
Setelah dia, menyusul Hendrik Neubronner van der Tuuk (1824-1894). Ahli bahasa yang dikirim Nederlands Bijbelgenootschap (NBG—Persekutuan Alkitab Belanda) ini bermukim di Barus, Tapanuli, pada 1851-1857. Di sana ia mempelajari bahasa Batak dan dalam keseharian menjalani hidup laksana penduduk pribumi. Pemburu naskah-naskah lama ini memang eksentrik dan selamanya bujangan.
Setelah meninggalkan Barus, penerjemah Alkitab ke bahasa Batak Toba (sebutannya Bibel) sekitar 40 tahun bertekun mendalami bahasa Jawa Kuno dan Bali. Kelak lelaki kelahiran Surabaya dikenal sebagai peletak dasar linguistika modern sejumlah bahasa Nusantara—termasuk Batak Toba, Lampung, Jawa, Sunda, dan Bali.
Karyanya, Bataksch-Nederduitsch Woordenboek, terbit pada1861. Tatkala diterjemahkan jauh hari menjadi A Grammar of Toba Batak pada 1971, tebalnya 405 halaman. Sampai detik ini kedudukan karya ini sebagai tata bahasa Batak Toba belum tertandingi.
Sepulang ke Amsterdam dia menjadi guru bahasa Batak untuk Rheinische Missionsgesellchaft (RMG). Muridnya termasuk ‘rasul orang Batak’ Ludwig Ingwer Nommensen dan A.W. Schreiber.
Meneruskan rintisan Junghun dan van der Tuuk, peneliti asing terus menggali kekayaan khazanah budaya Batak. Awalnya mereka adalah bagian dari misi Kristen atau ahli yang ditugasi gubernemen. Belakangan berkiprah pula para mahasiswa yang tengah mengerjakan tugas akhir dan akademisi yang sedang meneliti. Dalam daftar panjang Batakolog lintas-generasi termaktub antara lain nama IN Nommensen, JH Meerwald, P.A.LE van Dijk, M. Joustra, J. Winkler, Johannes Warneck, WKH Ypes, dan JVC Vergouwen. Angkatan yang lebih belia termasuk Clark E. Cunningham, Edward M. Brunner, Paul P. Pederson, Lothar Schreiner, Harry Parkin, Lance Castles, Sandra A. Niessen, Leo Joosten, dan Uli Kozok.
Pantas Maroha Sinaga, Budayawan yang juga Ketua DPRD Kabupaten Samosir (Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Berkat kiprah si bontar mata ini literatur tentang jagat Batak (Toba) pun menjadi kaya. Bersama Jawa, Minangkabau, dan Bali, khazanah ini terbilang yang paling komprehensif di Nusantara selama seabad lebih.
Kaum pribumi yang mendalami dan menulis tentang dunia Batak Toba dalam bahasa ibu tentu ada. Mereka kaum tercerahkan yang berkesempatan mengikuti pendidikan modern yang dikenalkan misi agama Kristen asal kota Rhein, Jerman (Rheinische Missionsgesellschaft—RMG) atau gubernemen. Yang paling terkemuka di antara mereka adalah Waldemar M Hoetagaloeng, Mangaradja Salomo Pasariboe, Wasinton Hutagaloeng, Arsenioes Loembantobing, Mangaradja Asal Siahaan, Raja Patik Tampubolon, Elisa Sutan Harahap, AN Parda Sibarani, TM Sihombing (Ompu ni Marhulalan), JM Hariara, dan Nalom Siahaan. Yang terakhir ini kemudian menjadi pengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jurusan sastra Batak yang pertama mengada di perguruan tinggi Indonesia ada di sana. Perintisnya adalah mahaguru dari Nalom Siahaan: sejarahwan Sutjipto Wirjosardjono.
Karya para penulis pribumi umumnya dipublikasikan oleh penerbit lokal. AN Parda Sibarani, misalnya, memiliki percetakan-penerbitan bernama Parda. Alamatnya di Jl. Pattimura 100, Pematang Siantar. Ada juga Percetakan Bin Harun di Jl. Perdana 60, Medan. Atau CV Napitupulu & Sons, Jl. Irian Barat 39 Medan. Yang tertua termasuk Zendelingsdrukkerij, Lagoeboti. Anak zaman sekarang akan menyebut perusahaan-perusahaan kecil ini sebagai penerbit indie (kebalikan dari arus utama atau mainstream).
Khazanah budaya (benda dan tak benda) Batak yang memang kaya—kitab Batak Art and Culture yang ditulis dokter Jamaluddin S. Hasibuan serta Batak Sculpture karya Achim Sibet—Bruce W. Carpenter menjadi bukti keeksotikan dan keragaman budaya benda ini—sedari dulu juga menjadi kajian orang Batak yang sedang menjalani pendidikan terutama di jenjang pascasarjana.
Mengikuti tradisi panjang yang dirintis Junghun dan van der Tuuk, mereka menjelajahi ranah khusus sesuai dengan lapangan keilmuan masing-masing. Contohnya adalah Philip Lumban Tobing, Sutan Manahara Hutagalung, Andar Lumban Tobing, Liberty Manik, Walter Bonar Sidjabat, Albert Agustin Sitompul, Jubil Raplan Hutauruk, Tapi Omas Ihromi-Simatupang, Anicetus Bongsu Sinaga, Bungaran Antonius Simanjuntak, dan Togar Nainggolan.
Sebagian mereka bertekun untuk seterusnya menulis ihwal budaya Batak kendati telah menjadi sosok yang sangat penting di lembaganya. JR Hutauruk (pernah menjadi ephorus HKBP) dan AB Sinaga (berkesempatan menjadi uskup di Keuskupan Medan), umpamanya.
Ranah budaya Batak Toba dipersemarak oleh peminat khusus yang tak berlatar belakang akademisi. Tentara yang merupakan ahli bom tarik, Mangaradja Parlindungan Nasution, umpamanya, menghasilkan kitab yang selamanya bakal kontroversial, Tuanku Rao. Seperti halnya Adniel Lumban Tobing, jurnalis Mohaamd Said, dan teolog WB Sidjabat, karikaturis terkemuka Augustin Sibarani dan Oloan L. Napitupulu yang bertitel sarjana hukum menghadirkan kisah ihwal kepatriotan Raja Si Singamangaraja XII. Adapun penyair-budayawan kampiun asal Harianboho, Sitor Situmorang, ia menyuguhkan Toba na Sae (versi terakhirnya digabung dengan kitab Guru Somalaing).
Buku Karya Van Der Tuuk, PH O.I. Tobing (Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Meramaikan keadaan sekaligus memuaskan dahaga khalayak luas yang antusias, sejak tahun 1970-an bermunculan majalah yang bersemangat mengusung kebudayaan Batak Toba. Dalihan Natolu (Yoyakarta), Bona Pinasa, Tapian, dan Tatap, di antaranya. Suratkabar pun ada yakni Batak Pos. Sayang, semua terbitan ini sekarang sudah tinggal kenangan.
Ekosistem Budaya
Setelah cerlang seabad lebih, ranah kajian kebudayaan Batak Toba akhirnya redup laksana pelita yang minyaknya menipis. Pada sisi lain, prosesi budaya terus berlanjut—terutama di ajang pesta-pesta adat—dengan hakekat yang kian nisbi untuk tidak mengatakan tak jelas. Penyebabnya? Regenerasi pemikir-penulis yang tidak mulus.
Angkatan lama akhirnya satu persatu pupus dimakan usia. Sementara generasi yang lebih belia tak begitu mementingkan lagi tradisi membaca-menulis apalagi yang terkait dengan jagat budaya dan sejarah leluhur. Dengan sendirinya percetakan dan penerbitan yang merupakan bagian dari ekosistemnya sudah kurang mereka hiraukan. Krisis serius lantas berlangsung hingga bertahun-tahun. Wujudnya nyatanya adalah karya berbobot—dalam bentuk kitab atau artikel—yang sudah sangat jarang lahir.
Untunglah media sosial kemudian muncul. Kegairahan timbul. Komunitas pecinta budaya Batak, termasuk sastra, bermunculan dan berkegiatan di sana. Yang terkemuka adalah Palambok Pusu-Pusu (pegiatnya Tansiswo Siagian, Manguji Nababan, Albiner Siagian, dan yang lain) serta Tortor Sangombas (dimotori Saut Poltak Tambunan). Unsur kedua kelompok ini ada yang sudah beroleh hadiah untuk sastra daerah, Rancage, yang digagas sastrawan Ajip Rosidi dkk.
Tampil sebagai perseorangan, Nestor Rico Tambunan, Monang Naipospos, Thomson Hutasoit, Togu Simorangkir, Sebastian Hutabarat, Edward Tigor Siahaan, dan yang lain ikut meramaikan alam medsos. Tentu yang mereka wacanakan tak semata budaya atau sejarah negeri leluhur.
Fajar harapan kembali menjelang. Namun, kalau proses kreatif ini masih saja sporadis seperti saat ini sangat mungkin krisis akan kembali meraja. Sebab itu langkah besar harus lekas diambil yakni membangun sebuah ekosistem untuk mewadahi dan merangsang segala proses kreatif yang bertujuan memajukan kebudayaan Batak Toba.
Seperti apa gerangan ekosistem dimaksud? Modelnya yang cukup ideal untuk ukuran negeri kita masih Taman Ismail Marzuki (TIM) yang diresmikan Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, pada November 1968. Melibatkan kaum seniman-budayawan sebagai pengelola dan pegiatnya, sejak awal di sana ada dewan kesenian (DKJ), lembaga pendidikan untuk menghasilkan para insan kreatif (LPKJ yang sekarang menjadi IKJ), tempat pertunjukan (ruang teater dan bioskop), ruang pameran, galeri, kalendar kegiatan yang serta tertata, penerbitan buku, dan yang lain.
Salah satu pembicara di FGD Titik Nol Peradaban Batak (Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Apa pun namanya ekosistem itu nanti—Taman Nahum Situmorang atau Taman Tilhang Gultom atau Taman Sitor Situmorang—ia lebih tepat dihadirkan di bumi Pulau Samosir yang merupakan jantung pariwisata kawasan Kaldera Toba. Sesuai dengan semangat era kekinian, ia tentu mesti berbasis digital sehingga dengan demikian bisa berjejaring langsung dengan lembaga serupa yang ada di belahan dunia mana pun serta dapat diakses oleh mereka yang berada di mana saja.
Lantas, siapa gerangan yang lebih pas untuk mewujudkan gagasan besar ini? Tiada lain dari pemerintah daerah Kabupaten Samosir. Ya, seperti Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang membidani dan kemudian, sampai sekarang, setia mengurusi TIM. Sumber pendanaannya? Itu perlu dipikirkan dan dibicarakan secara khusus. Yang pasti tak akan memadai jika hanya mengandalkan APBD yang jumlahnya memang tak seberapa.
Pemda Kabupaten Samosir niscaya akan beroleh banyak manfaat jika mampu mewujudkan gagasan ini. Mereka akan memiliki ikon yang jauh lebih hebat dari yang ada sekarang: Sibeabea dan yang lain. Parawisatanya dengan sendirinya akan terdongkrak berkat kehadiran fasilitas pengaya budaya dan sejarah serta penggairah insan kreatif yang lebih banyak bekerja dengan pikiran.
*) Bahan ini disampaikan di FGD bertopik ‘Titik Nol Peradaban Batak’ pada 17-19 Maret 2022 di Parbaba, Pulau Samosir.