Penggal-1
Prosesi penguburan dirinya ia persiapkan dengan saksama. Bukan hanya pakaian—kebaya, mandar [sarung], ulos [kain tenun], dan sendal—yang ia pikirkan tapi juga banyak hal, mulai dari yang akbar hingga yang kecil-kecil. Sedari dulu boru (perempuan) Tarutung yang men-Toba ini memang terbilang perfeksionis.
Satu hal yang acap ia pesankan jauh-jauh hari adalah hadirin nanti tak boleh ada yang kelaparan; sebaliknya mereka mesti bisa menikmati makanan dan minuman sepuasnya. Komunitas lamanya—Punguan Ina Parari Kamis HKBP Parapat dan Koor Maranatha Siburakburak—perlu diutamakan.
Lantas, pada puncak prosesi—hari penguburan—horbo silimakkae [kerbau besar] yang harus dipotong; bukan lombu [sapi] jonggi sebagaimana ghalibnya. Uang (jumlahnya cukup besar) pun ia sediakan untuk perhelatan hari itu.
Soal posisi tangan pun dipikirkan juga oleh ibu kami, Sorta Hutapea (Ompu Hezekiah), yang konsisten menjalankan filosofi manghorus di na lobi, manggohi di na hurang [mengurangi dari yang munjung, menambah ke yang kurang] selama merawat keturunannya.
Sebagai seorang yang sudah saur matua [paripurna secara adat] seyogyanya tangannya mengembas atau mangerbang [mengembang keduanya di sisi badan]. Ternyata, yang diinginkannya lain yakni jemari yang saling meremas di atas dada, sebagaimana ummat Kristen yang sedang berdoa. Kelak, akan banyak pelayat dirinya yang menyoal hal ini.
“Ai sala do on! Ingkon mengerbang do tangan ni naung saur matua.” [Salah ini! Harus mengembang tangan dari orang yang sudah ‘saur matua’]. Begitu nada ucap mereka.
Sembari tersenyum, kami, anak-anaknya, akan menyahuti dengan ujaran repetitif. “Betul. Tapi seperti inilah kehendak dia. Biarlah…”
Videografer Dekman Sirait di acara saurmatua S br. Hutapea (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Orang yang mengoreksi biasanya bakal tertegun sejenak dan terheran. Mungkin mereka tak habis pikir bagaimana pakem bisa diabaikan.
Ompung Partungup
Ibuku, Sorta Hutapea, yang berpulang pada Kamis, 24 Maret (pukul 01.30 WIB) 2022 dalam usia 86 tahun (dimakamkan pada Senin, 28 Maret) berpesan juga soal pengabadian lewat video. Pembaca setia koran, penonton tekun sinetron dan drama Korea (drakor), serta penyuka Ayu Tingting ini berucap spesifik.
“Amangudam, Si Dekman, do mamvideohon ahu haduan, da…Unang lupa hamu,” ujarnya. [Pamanmu, Si Dekman, yang memvideokan aku nanti, ya…Kalian jangan lupa]
Seperti amanah lain, yang satu ini tentu kami jalankan. Sang videografer langsung dihubungi pada 2 Maret 2022 itu juga. Ia ternyata menyahuti dengan girang.
Penyedia jasa video ada beberapa di Parapat, kota kecil kami yang terletak di bibir Danau Toba. Mengapa Uda [singkatan dari Amanguda] Dekman yang dipilih ibuku, seperti halnya beberapa tahun sebelumnya saat adikku menikah di sana? Hal Ini tak sempat kutanyakan ke perempuan asal Aekjulu, Banuarea, Tarutung, yang keturunannya total 51 orang (termasuk 23 cucu dan 3 nono [cicit]). Begitupun, jalan pikirannya mudah saja kumengerti.
Bertaut erat sejak baheula. Begitulah keluarga Uda Dekman dengan kami. Sama-sama Sirait yang bermukim di Pagabatu, Ajibata, leluhur kami. Ompung Partungup, demikian kami menyebut ayah juru video tersebut, dan abangnya, Ompung Si Jagur, keduanya lama menjadi warga Pagarbatu. Tentu saja bersama keluarganya. Rumah mereka berdekatan. Letaknya di depan kiri Ruma Bolon dan Rumah Naimbaru yang merupakan milik kakekku, Ompu Raja Doli Sirait yang merupakan raja ihutan (jaihutan) Ajibata.
Nenekku, Hini Gultom (ia istri ke-3 dari Ompu Raja Doli), akrab dengan keluarga Ompung Partungup dan Ompung Si Jagur. Perempuan asal Silimalombu, Pulau Samosir, tersebut mengasihi mereka lebih dari sekadar tetangga.
Ibuku yang ikut ibu mertua di Pagarbatu hampir setahun di awal pernikahannya pada 1955, rupanya meneladani juga. Ke sosok yang disapanya dengan sebutan ‘Inang Partungup’ atau ‘Amang Partungup’ ia hormat dan sayang, seperti halnya ke ‘Inang Si Jagur’ atau ‘Amang Si Jagur’ yang salah satu putranya bernama Resman (ia lama menjadi tukang bangunan).
Ternyata, jauh hari kemudian Ompung Partungup sekeluarga bertetangga lagi dengan kami di Siburakburak yang jaraknya paling 200 meter saja dari Segitiga atau kedai kop BKaro.
Acara Saurmatua di Ajibata, Parapat (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Entah di mana bermukim sebelumnya, pada paruh ke-2 tahun 1970-an (kalau tak salah) mereka mulai menempati rumah kayu marbara [berkolong] yang bagian belakangnya menghadap danau. Diapit kediaman ‘Bidan Berijazah’ Boru Agian (Nai Rapma; suaminya marga Aritonang) di kanan dan Ompung Anton (Noli boru Sirait) di kiri, bangunan itu sebelumnya dihuni keluarga Pangulu Boni Silalahi (putrinya antara lain Uba dan Tiarmin).
Di kiri rumah Ompung Anton berderet tempat tinggal Aman Juniar—Kiman Siringoringo; ia lama menjadi supir mobil tangki Amani Mangatas (Justin Sirait, satu dari tiga pendiri bus PMH)—Guru Godang Sirait, Ompu Olan (Taiseng Sidabalok), Amani Binsar Gurning, dan Ompu Riado Lumbantoruan. Hanya diperantarai jalan raya sempit, kediaman kami tepat berhadapan dengan pondok keluarga Aman Juniar.
Tatkala pindah ke Siburakburak, Ompung Partungup (ayah Dekman Sirait) sudah pensiun dari PLN. Telah berumur kala itu, sehari-hari ia menjadi nelayan. Mengandalkan solu [sampan kecil], doton, tungup [jaring berbentuk limas], dan gurjak [alat pengejut bertangkai panjang], lelaki pendiam berburu mujahir dan ikan lain di belakang rumah yang dipenuhi oleh siombur [eceng gondok]. Sebutan ‘Partungup’ yang kemudian melekat pada dirinya tentu terkait dengan tungup yang menjadi andalannya.
Adapun Ompung Partungup Boru, ia jauh lebih progresif dari sang suami dalam hal ‘sari makkan’ [cari makan] dan bergaul. Semula ia menyenggarai kacang tanah di rumahnya, dibantu putri semata wayangnya, Namboru Basa. Penganan itu dijualnya di kedai (termasuk milik Aman Tohap Manurung di dekat Segitiga) dan di Pante.
Belakangan ia berfokus di Pante saja. Masih tetap ngidar, pangkalannya berupa sebuah karesek [kios kecil] di Marihat. Lokasinya tak jauh dari pintu masuk ‘Istana Presiden’ yang kini bernama Passanggrahan Soekarno. Sampai sekarang tempat berjualan ini masih dikelola keturunannya.
Tukkang Gabbar
Ompung Partungup berputra empat. Orang Parapat mengenal mereka sebagai Lam, Togar, Boblen, dan Dekman. Sebagaiman ayah-ibunya, mereka juga tak jenak berpangku tangan. Sejak belia keempatnya telah terbiasa ‘sari makkan’ di Pante. Lapangannya adalah fotografi. Tentu, sebagai yang paling senior di antara keempatnya Uda Lam yang memulai karir sebagai tukkang gabbar.
Acara Saurmatua (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Togar (ia teman se-SMP-ku) dan Dekman untuk seterusnya bertekun di lapangan ini. Adapun Boblen, dia—satu-satunya yang jangkung di antara mereka serta bersuara bagus—merantau ke Jakarta selepas SMA. Sampai kini ia masih menjadi warga Ibukota.
Tak seperti sekarang, pada periode 1970-an hingga 1990-an fotografi masih digeluti segelintir orang saja di mana pun di muka bumi ini. Pemilik kamera masih sedikit betul. Kaum pelancong yang ingin dirinya dibadikan dengan sendirinya akan memanfaatkan jasa fotografer lokal seperti Lam bersaudara. Agar cepat saji, belakangan hari kamera Polaroid-lah andalan para ‘mat kodak’ ini. Jika menggunakan tustel jenis lain pasti bakal makan waktu di kamar gelap. Di kitaran Parapat, Danau Toba, pun demikian.
Lam bersaudara bukankanlah perintis jasa fotografi untuk ‘parlassum’ [pelancong] di kitaran Parapat. Sebelum mereka telah berkiprah keluarga Biltar Simanjuntak (pemilik kios cinderamata Tao Toba) dan kerabatnya: Belseng Simanjuntak, keluarga Harison Rumahorbo, keluarga Marlon Sirait, Jariman Sirait (putra Nai Pantas), Salmoliner Rencong (Liner) Sidabutar, dan yang lain.
Tentu Amani Manatari (Bondo Tambunan) mesti disebut. Sejak lama ia sudah memiliki studio foto di Siburakburak. Kendati bukan pembuka jalan, putra Ompung Partungup tetap terbilang istimewa sebab termasuk yang paling konsisten. Mereka masih ada di jalur pengabadian ini sampai sekarang. Dekman, si bungsu, setidaknya. (Bersambung)
https://www.youtube.com/watch?v=4QgCcUqDNqM