Penggal-2
AJIBATA, Kalderakita.com: Setamat dari SMA Negeri Parapat pada 1988—dia seangkatan dengan Ratnauli Gultom yang bersama suaminya, Thomas Heine, merupakan pemilik Ecovillage Silimalombu—Dekman Sirait memutuskan untuk bekerja saja. Beruntung dia karena ternyata diterima sebagai asisten videografer-fotografer Salmoliner Rencong (Liner) Sidabutar. Pemilik toko cindramata Dormauli ini menugasi dia sebagai juru lampu saat syuting video.
Setelah beberapa tahun lampau barulah dia dipercaya mengoperasikan kamera untuk merekam gambar hidup. Belakangan hari dia juga berkesempatan mempelajari teknik penyuntingan video di sana.
“Itu sebuah kesempatan yang sangat saya syukuri sampai sekarang,” ucapnya saat kami bercakap pendek pada siang 3 hari lalu. Kala itu dia dihubungi agar lekas datang ke rumah kami di Pagarbatu, Ajibata, untuk menuntaskan transaksi. Setiba di sana dia menyerahkan sebuah flash disc berisi rekaman video dan foto. Juga, sebuah album potret. Sebagai imbalan untuk jerih payahnya dalam mengabadikan prosesi penguburan jenazah ibu kami (Senin, 28 Maret 2022) dan acara di hari sebelumnya (Minggu), ia menerima honor Rp 2 juta. Upah yang terbilang ‘bersahabat’, tentu.
Pada 2000 ia berhenti sebagai anak buah Liner Sidabutar, mantan penjaga gawang kesebelasan Tunas Muda Club (TMC) yang kemudian mempersunting Elly, boru Sirait yang cantik asal Ajibata.
Sebentar saja Dekman menganggur. Warga Parapat Kota yang merupakan pemilik event organizer, Masa Sitanggang, merekrut dia sebagai videografer. Lama juga ia bergiat di sana.
Dekman, sedang bertugas (Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Belakangan, setelah menjadi anak buah berbelas tahun, ia putuskan untuk menjalankan bisnis sendiri. Bidangnya serupa. Sebuah langkah yang agak telat sebenarnya sebab bertahun-tahun sebelumnya dia telah memiliki segalanya kecuali kamera video. Tentang ketelatan ini diriku menyimpan sebuah cerita.
Suatu sore, saat bercengkerama di teras depan (lantai 2) rumah kami di Siburakburak, ibu kami, Sorta Hutapea (Ompu Hezekiah) tiba-tiba menanyakan berapa harga sebuah kamera video. Pertanyaan yang ganjil sebenarnya sebab ia awam soal itu kendati senang diabadikan. Kala itu Dekman Sirait baru saja melintas di jalan raya yang di bawah dan menyapa kami.
“’Ai arga do kamera video?’” [mahalkah kamera video]
“Tergantung jenis dan mereknya,” jawabku. “Memang kenapa?”
“Kalau seperti yang selama ini dipakai ‘uda’mu, Si Dekman, berapa?
“Nggak tahu aku apakah dia pakai Sony atau Panasonic; juga apakah jenisnya HD [high defenition] atau tidak. Tapi, yang Rp 30 juta-an pun sudah bagus untuk syuting pesta pernikahan,” jawabku. Teringat aku pada Sony yang baru dibeli kawan-kawan awak Yakoma PGI, Jakarta, dan kemudian dioperasikan sobatku, Gideon Siagian yang bertubuh tinggi-besar.
Kala itu seri HD masih yang paling top. Jenis 4K belum muncul.
“So na pola arga hape. Tung lima pulu juta pe boi do tuhoron ni nasida. Ai godang do hepeng ni Inang Partungup. Molo daong, boi do margugu nasida na sajabu. Daripada mangallang gaji torus udaman,” ucap ibuku dengan mimik serius. [Tidak mahal, ternyata. Lima puluh juta pun bisa mereka beli. Banyak kok uang ‘Inang’ Partungup [ibunda Dekman]. Kalau tidak, mereka yang serumah bisa patungan. Daripada jadi orang upahan terus ‘uda’mu (Dekman)].
Tersadar seketika, ucapan ibuku pun kuamini. “Iya, ya…mengapa dia masih menjdi orang upahan..”
Dalam hati, aku berjanji akan menyampaikannya ke Dekman manakala bersua lagi kelak. Saat itu diriku sedang bersiap pulang ke Bogor.
Tahu betul run-down acara (Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Ternyata, ketika diriku menjejak bumi Parapat lagi beberapa bulan berselang, Dekman Sirait sudah menjalankan bisnis sendiri. Senang betul hati ini mengetahuinya. Apalagi prospek usahanya cerah pula.
Lelaki periang yang kehilangan pasangan sebelum pandemi Covid-19 mendera warga dunia berkawan dengan diriku di Facebook. Dari postingannya kuketahui bahwa setelah mandiri ‘job’-nya ada saja. ‘Order’ datang dari mana-mana. Syutingnya termasuk di luar kota. Kalau bukan pesta perkawinan, perhelatan utama yang diabadikannya adalah proses pemakaman mereka yang saur matua [kaum sepuh].
YOUTUBER
Di lapangan, seperti yang kusaksikan pekan lalu, Dekman Sirait, didampingi seorang asisten yang bertugas memotret. Masih belia, lelaki gondrong berpembawaan kekinian itu good looking. Apakah mereka masih berkerabat, aku tak tahu.
Sanggup syuting sendirian dari pagi hingga lepas petang, Dekman tak hanya sibuk mengambil gambar. Terkadang dia juga menjadi pengarah bagi siapa saja. Sebagai orang yang berjam terbang tak kurang dari 2 dekade, ia mengetahui betul rentetan (run down) acara yang berdimensi adat Batak (Toba) pun.
Spontan akan meluruskan jika ada yang keliru (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Bagaimana proses mompo [memasukkan jenazah ke dalam peti] atau tahapan mengarak dondon tua [bakul berisi tangkai padi berbulir dan sanggar; sebuah perlambang bahwa almarhum atau almarhumah telah saur matua alias paripurna secara adat] itu diketahuinya persis. Wajar saja kalau dia akan spontan meluruskan bila ada yang keliru.
Terbiasa melakukan sesi pemotretan dan syuting, ia juga terlatih dalam mengatur alur. Laksana sutradara, ia merupakan otoritas penuh saat mengarahkan mereka yang akan diabadikan.
Semua kelebihan ini tentu saja akan memudahkan si empunya hajat. Tampaknya, ini salah satu poin yang membuat dia disukai oleh mereka.
Kelebihan lainnya yang tak kalah penting berupa layanan purna transaksi [after sales service]. Tepatnya, ia selalu meng-upload 1 dari 4 segmen hasil syutingnya ke YouTube. Panjangnya sampai 60 menit. Jadi, dia juga YouTuber berpengikut cukup banyak.
Si empunya hajat tentu girang karena perhelatannya diwartakan di media sosial yang tak terbatas penglihatnya. Tampaknya ibu kami, Sorta Hutapea, termasuk yang menyukai strategi ini sehingga kemudian berpesan, “Amangudam, Si Dekman, do mamvideohon ahu haduan, da…Unang lupa hamu,” ujarnya. [Pamanmu, Si Dekman, yang memvideokan aku nanti, ya…Kalian jangan lupa]
Lantas, bagaimana gerangan kualitas hasil pengabadian [video dan foto] oleh anak bungsu Ompung Partungup?
Tak ada gading yang tak retak. Untuk ukuran Parapat dan kota kecil lain, menurutku, sudah terbilang bagus. Malah, di atas rata-rata. Tapi, untuk takaran profesional masih kurang.
Kendala utamanya adalah peralatan. Kamera videonya (Panasonic) masih HD, belum 4K. Kamera fotonya Nikon yang body dan lensanya berkualifikasi amatir. Selain itu, pencahayaan yang diandalkan masih yang dari kamera; yang eksternal belum didayagunakan dengan maksimal.
Didampingi seorang asisten (Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Kalau saja tools yang dipakai sudah berkelas profesional dan lighting telah dipentingkan betul pastilah hasilnya jauh lebih optimal.
Dekman Sirait masih sendirian dalam syuting dan belum memakai belalai (crane). Sudut-sudut pengambilan gambarnya (angle) dengan sendirinya terbatas. Zoom-in dan zoom-out saja andalannya. Alhasil, seperti komentar jagoanku yang memang sangat tertarik pada dunia perfilman, Clausewitz ‘Che’ Doli Nalagu Sirait, efek sinematiknya——belum mencuat.
Satu hal lagi, dan ini maha penting: penyuntingannya (editing) belum mulus. Ini, masih kata Che, paling terlihat dari transisi scene yang masih kasar.
Pembelajar sejati yang bersemangat tinggi. Begitulah Dekman Sirait yang kukenal selama ini. Aku yakin dia akan memperhatikan masukan ini. Dengan demikian di masa depan karyanya akan jauh lebih baik lagi.
Selamat berkarya Udakku yang jenaka! Hasil kerja kerasmu kemarin sungguh kusukai. (Tamat)