Sedapnya Menikmati `Ngeri-Ngeri Sedap`

Film Ngeri-ngeri Sedap besutan Bene Dion Rajagukguk
Film Ngeri-ngeri Sedap besutan Bene Dion Rajagukguk

Bagian-1

JAKARTA, Kalderakita.com: Seumur hidup baru sekali saja diriku bergerombol bersama saudara kandung menikmati suguhan bioskop. Total jenderal 11 orang kami yang terlibat, termasuk Sola Gracia Siburian, anak TK yang merupakan putri keponakanku, Astrid Anastasia Silalahi. Filemnya tentang jagat Batak pula. Ngeri-ngeri Sedap, judulnya. Kejadian itu tadi malam, di saat Bogor, kota kami, diguyur hujan lebat yang tak kunjung reda sedari sore.

Biasanya, paling berlima saja kami—yang serumah—menjambangi bioskop. Filemnya buatan Hollywood, terutama Marvel, DC, Warner Bros, Disney, dan Universal Studio. Genrenya? Yang lebih cocok dengan selera kedua jagoan kami —Kei dan Che—yang merupakan pecinta berat karya layar lebar:  super heroes, horor,  science fictions’, dan action. Drama sesekali saja.   

Menonton film buatan dalam negeri jarang betul kami.  Semuanya berubah gara-gara Rin Hindryati. 

“Nobar, yukNgeri-ngeri Sedap  hari ini premier,” ucap istriku itu pada siang 2 Juni kemarin.

“Nonton Top Gun: Maverick  aja…” Che menimpali. Anak kelas 3 SMP ini sejak lama menyukai Tom Cruise. Juga, Jhonny Depp dan Amber Heard yang pada bulan-bulan terakhir meramaikan jagad dunia maya.

Jagoan kami yang lain, Kei, mengamini.  "Top Gun saja," kata anak kelas 2SMA. 

Serunya nobar bareng keluarga (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)

“Perlu juga lho kita menikmati filem dalam negeri apalagi yang tematik. Ngeri-ngeri Sedap  ini tentang kehidupan orang Batak,” lanjut Rin. “Jarang ada kan yang seperti itu….”

Entah mengapa kali itu diskusi tak perlu berpanjang-panjang sebelum kesepakatan dicapai. Mungkin karena kami yang serumah masih saja dalam dekapan atmosfir Batak setelah mudik berminggu-minggu ke bona pasogit [kampung halaman] Ajibata—Parapat untuk 2 perhelatan besar yakni melongok ibuku yang sedang sakit keras (Sorta Hutapea akhirnya berpulang pada 24 Maret 2022) dan  mangadati [pemberian marga].

“Biar lebih seru kita ajak juga ya keluarga besar kita nonton…”  usul Rin. Yang lain setuju.  

Rin lantas menulis di Grup WA. Isinya?

 “Horas! Nobar yuk. Ada jadwal tayang film 'Ngeri-ngeri Sedap' di Ekalokasari Plaza, Senin (6 Juni) pukul 20.25. Ini list yang udah mau ikut nobar….” [sejumlah nama ia sebut]

Sahutan ternyata bermunculan. Kami yang di Bogor 11 orang yang menyatakan ikut. Ternyata, saudara kami yang di  Medan dan ikut di grup WA itu tergerak juga. Di hari yang sama,  tapi pada jam yang lebih awal, mereka nobar juga. Gambarnya mereka posting kemudian.

Kerabat di Medan pun tak mau ketinggalan (foto: dok keluarga)

Tentu ini akan membuat iri keluarga kami yang bermukim di kitaran Ajibata-Parapat. Soalnya sudah lama bioskop menghilang dari sana. Dulu ada Parapat Theater di Jl. Si Singamangaraja.

Sesungguhnya diriku turut ke bioskop semalam lebih karena solideritas saja. Bukankah kebersamaan keluarga besar itu sangat penting?

Adapun Ngeri-ngeri Sedap, semula kupandang sebelah mata belaka meski melibatkan nama-nama besar yang tak asing bagi diri ini: Arswendy Beningswara Nasution, Tika Panggabean, Rita Matumona, dan sang penata musik: Vicky Sianipar. Musisi Hardoni Sitohang ikut juga tampil.

Dalam bayanganku, karya Bene Dion Rajagukguk—sang komika yang kemudian menjadi novelis dan sutradara merupakan kelahiran Dolok Masihul (dekat Pematang Siantar) pada 2 Maret 1990—paling lawak-lawak yang sarat slapstik (adegan konyol) sebagaimana yang beberapa kali kusaksikan lewat trailer  film dalam negeri yang  akan diputar di sinema. Akan jauhlah kelasnya dibanding  Secangkir Kopi Pahit (Teguh Karya) dan Naga Bonar (Asrul Sani).  Kedua karya lawas bernuansa Batak ini sangat kusuka.  

Ternyata, begitu sosok Pak Domu yang diperankan Arswendy Nasution (aktor kawakan lulusan IKJ) muncul di layar prasangka burukku mulai goyah. Untuk seterusnya, hingga daftar awak film berakhir, diriku dan kedua jagoanku masih bertahan di kursi entah nomor berapa.

LELAKI EGOIS

Film ini ini dibuka dengan adegan para lelaki marmitu  [minum tuak] sembari marlogu  [berdendang]. Dilanjutkan dengan baku tanya kabar anak. Sebuah jalan pintas yang pas untuk langsung masuk ke jantung jagat Batak [baca: Batak Toba] dan persoalan utama. Kiat yang cerdas, tentu. Diriku sendiri, yang memang pecinta tuak dan lagu Batak,  seketika menjadi luluh-lebur. Ingin rasanya merapat ke meja mereka.

Motor utama dari cerita adalah konflik. Demikian ajaran klasik di dunia perkisahan. Dalam hal ini adalah pesta sulang-sulang pahompu  yang segera akan dilangsungkan sementara 3  dari  4 cucu tak jelas kabar beritanya. Padahal, para lelaki dewasa yang  bermukim di Pulau Jawa ini   nanti mesti menyuapi sang nenek (dari pihak ayah, diperankan awak senior Teater Koma, Rita Matu Mona) dalam hajat penting yang menandai keparipurnaaan seorang Batak.

Cerita dibangun dengan apik setapak demi setapak berdasarkan perkara pelik ini. Tangga dramatiknya terus menanjak.

Konflik adalah karakter. Dalam hal ini terutama karakter Pak Domu, sang kepala keluarga yang berwatak keras dan cenderung menilai segala dengan menggunakan  nilai anutan sendiri.

Dalam penglihatan orang-orang sekampung, termasuk sesama parmitu  [peminum tuak], Pak Domu adalah ayah teladan karena telah berhasil menyarjanakan anak-anaknya.

Sebaliknya, Pak Domu sendiri menilai dirinya sebagai orangtua yang gagal. Sebab, kecuali satu  semuanya kemudian menjadi kemintar dan keras kepala. Pula, laksana kacang lupa kulit. Buktinya, bertahun sudah tak mudik. (Bersambung)