JAKARTA, Kalderakita.com: Kukira ia, bersama putranya: Timmy, masih di Sulawesi Utara mengabadikan pantai indah Likupang. Postingan terakhirnya di FB berasal dari Pasar Ekstrim Tomohon. Ia berdiri di sebelah sanca raksasa tanpa kepala yang menjurai di tiang gantungan.
Kemarin petang, saat kereta kami tumpangi dari Purwokerto baru mencapai Cikarang, pesannya muncul di WA. “Sudah sampai di Jakarta, ‘Lae’?”
Kami lantas berbalas pesan. Ia ternyata sudah di kitaran Mal Ambasador, Casablanca. “Kalau sudah dekat kabari ya,” lanjutnya.
Rin (istriku) dan aku memutuskan turun di Stasiun Jatinegara saja; bukan Senen. Jakarta rupanya sedang macet berat; tak setenang Purbalingga—Purwokerto yang kami jelajahi sedari Jumat. Taksi yang lowong tak kunjung lewat.
Naik bajaj saja. Begitu usulku. Rin semula menggeleng. Tapi, karena taksi tak muncul juga ia pun mengalah. “Nanti dari Kampung Melayu kita naik Trans-Jakarta,” ucapnya.
Trans-Jakarta yang lewat Kuningan rupanya belum ada. Kutawarkan agar naik bajaj lagi. “Taksi saja,” jawabnya.
Edward Tigor Siahaan, fotografer yang juga pemilik kedai kopi Piltik (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Kami kembali naik bajaj karena taksi kosong lewat. Kalau yang beraplikasi pasti akan makan waktu sebab jalanan sesak.
Di Ibukota yang sedang sibuk betul bajaj memang angkutan yang paling andal, selain sepeda motor. Kendaraan roda tiga ini bisa menyusup ke kiri-kanan termasuk ke celah sempit. Asal kepalanya sudah masuk badannya bakal lolos.
Sebentar saja kami berdua sudah tiba di Ambasador. Dari lobi aku mengontak ‘Lae’ Edward Tigor Siahaan. Ia bilang dirinya akan turun.
Kami lantas bercakap di Dunkin Donut setelah saling melepas rindu. Terakhir kami bertiga bersua pas hari Paskah kemarin (15 April 2025). Tempatnya Piltik Coffee, Bandara Silangit, Siborongborong. Kedai kopi terkemuka ini miliknya bersama sang istri tercinta, Vera Hutauruk. Timmy dan ‘Ito’ Vera ada di sana kala itu.
Bercakap dengan ‘Lae’ Edward Tigor selalu asyik. Berkarib sejak tahun 2007, sampai sekarang di mataku fotografer kawakan yang berfokus pada dunia korporat ini adalah gairah, optimisme, inspirasi, dan sumber ide yang tak pernah kering.
Suasana di kedai kopi Piltik di Bandara Silangit, Siborong Borong (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Semalam pun begitu. Pemilik studio Seni Jurnal yang mendalami ilmu fotografi di London bicara tentang banyak hal. Termasuk ihwal potensi luar biasa kaum diaspora Batak—jumlahnya menurut statistik yang dirujuknya sekitar 8 juta orang—bagi pariwisata kawasan Danau Toba.
“Sepuluh persen saja dari jumah ini yang datang sudah sangat luar bisa,” ayah dua pemuda (putri dan putra) meyakinkan.
Kalau saja ‘hospitality’ dan ‘story telling’ seperti yang di Bali bisa dihadirkan, lanjut dia, destinasi super prioritas (DSP) Danau Toba bakal berjaya tanpa perlu menunggu lama.
Ia juga berkisah tentang proyek pemotretan yang sedang dikerjakannya. Difasilitasi Kementerian PUPR dan Kemenko Kemaritiman dan Investasi (Marinves), ia sedang mengabadikan 5 DSP yakni Borobudur, Likupang, Mandalika, Danau Toba, dan Labuhan Bajo. Sebagian besar spot terbaik di sana sudah berkali-kali ia jepreti. Yang terbaru didatanginya adalah Likupang.
Hasil pengabadian itu akan dikombinasikan dengan teks untuk menjadi buku berbentuk coffee table. Karya dwi-bahasa ini nanti bakal menjadi cindramata pemerintah Indonesia untuk para peserta perhelatan G-20 di Bali pada 30-31 Oktober 2022.
TOTALITAS
Sedari dulu Edward Tigor Siahaan akan total kalau sudah memutuskan mengerjakan sesuatu. Determinasinya mengagumkan. Hal ini kulihat betul selama kami bahu-bagu mengurusi majalah ‘Tatap’ bersama kawan-kawan.
Kedai Kopi Piltik, sudah masuk daftar 'must list' jika berwisata ke kawasan Danau Toba (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
“Selama ini saya berfokus mengurusi Piltik. Ternyata memotret juga nggak bisa saya tinggalkan. Begitu datang permintaan memotret 5 DSP sekaligus saya langsung terjun. Masalahnya, masing-masing pekerjaan ini menuntut totalitas. Sementara ‘multi-tasking’ saya nggak biasa. Agak repot memang. Tapi seru juga.”
Teleponnya yang berkali-kali berbunyi menjadi penyela bincang kami. Berkali ia berucap ‘sori’. Dari Siborongborong, Jakarta, dan tempat lain panggilan itu.
Tatkala ia bilang ke teman bicaranya akan segera merapat, Rin dan aku mengatakan tak apa kalau kami ditinggal saja. Kubilang bahwa diriku pun masih akan merampungkan sebuah tulisan di sana; tepatnya, tentang Thomas Utomo, seorang penulis muda berbakat dari Banyumas.
Kami lantas berpisah di gerai itu. Sebelum beranjak dia bilang akan saling kontak lewat WA. Kuiyakan ujarannya. Ya, kami akan bertemu lagi. Tempat berikutnya entah di mana.