Tulisan-3
JAKARTA, Kalderakita.com: Hari ini, Selasa, 26 Juli 2022, tepat 100 tahun kelahiran penyair terbesar Indonesia, Chairil Anwar. Seyogyanya, sunggguh ini hari puisi maha istimewa bagi rakyat Indonesia yang kemerdekaannya didamba dan diperjuangkan betul dengan cara sendiri oleh sastrawan berdarah Minang yang sejak lahir hingga kelas 1 di MULO (setingkat SMP) berada di Medan. Ya, dia anak Medan yang kemudian berpaling ke tanah Betawi.
Lewat sebuah tulisan di Fb seminggu lalu kusoal betapa abainya bangsa kita pada momen khusus yang jatuh pada hari ini. Sebab, meski telah tinggal sepekan lagi belum kunjung ada tanda-tanda kegairahan khalayak luas dalam menyongsongnya. Ternyata pada hari-H ini pun keberpuncakan tak tampak. Tetap saja mata angin. Mungkin karena perhatian publik lebih tertuju pada kasus ‘polisi menembak polisi dan yang mati CCTV’—maksudnya: Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat yang ditembak mati di rumah dinas Kepala Divisi Propesi dan Pengamanan (Propam) Polri, Irjen Ferdy Sambo—dan perkara lain.
Hingga detik ini pun Chairil tidak menjadi wacana yang menggelinding laksana bola salju. Di Facebook juga sepi yang mendekap [Chairil berkata di puisi Sia-sia:.. “mampus kau dikoyak-koyak sepi”]. Tentu ada perayaan sekarang di beberapa kota namun itu hanya melibatkan komunitas sastra yang jumlahnya tak akan besar.
Sastra, satu cabang seni yang di belahan bumi mana pun telah mengayakan betul peradaban, masih saja anasir yang dikesampingkan di negeri kita. Persoalannya ya, sekitar yang itu-itu saja. Apa yang dikeluhkan Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan rekan-rekannya saat menjalankan majalah kebudayaan dan kesusasteraan Pujangga Baru di Jakarta (1933-1942)—terutama minimnya penulis yang bermutu, rendahnya minat baca masyarakat, dan langkanya penerbit—masih saja relevan. Padahal, waktu berjalah sudah jauh betul. Penerbit memang sudah banyak tapi umumnya tidak tertarik pada lapangan yang tak menjanjikan rupiah.
Terbitan tahun 1949 (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Bangsa kita memang mesti lebih banyak lagi belajar menghargai karya sastra dan yang lain yang merupakan pengaya peradaban. Kalau tidak akan tetap jalan di tempat kalau bukan terpuruk.
REVOLUSIONER
Kembali ke Chairil Anwar yang sekarang genap 100 tahun. Tulen dia sebagai pembaharu. Malah revolusioner. Dia membuat langgam standar yang berlaku sangat lama menjadi usang seketika. Terobosan angkatan Pujangga Baru yang telah memojokkan bidal, carmina (pantun kilat), gurindam, syair, dan sajak gaya lama pun kolot juga dibuatnya.
Masih berusia 20 tahun tatkala lelaki kelahiran 26 Juli 2022 yang terpengaruh oleh Marsman, Slauerhoff, dan penyair Barat lainnya mulai diperhitungkan orang yaitu lewat puisinya, ‘Nisan’. Karya ini bertiti mangsa Oktober 1942.
‘Nisan’ pendek saja. Tapi, di masa itu dianggap sebuah terobosan besar sebab tak diperindah-indah sebagaimana ghalibnya melainkan langsung dan padat. Kendati bahasa percakapan biasa yang digunakan tetap saja ia memikat.
NISAN
Untuk nenekanda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta.
Kala itu ia sudah tak bersekolah lagi di MULO Jakarta sebab kiriman uang dari ayahnya yang di Medan sudah tak datang. Bala tentara Jepang hadir di Pulau Jawa pada Maret 1942. Keadaan di ibukota pun segera memburuk. Tak lama berselang, hubungan Medan-Jakarta putus. Ia dan ibunya, Saleha, yang tinggal serumah untuk seterusnya didekap derita terlebih setelah tak ada lagi barang yang bisa dilego.
Dalam keadaan melarat Chairil terus mengeksplorasi segala kemungkinan di dunia sastra. Ia sibuk dengan apa yang dikatakannya sebagai: “menimbang, memilih, mengupas, dan kadang-kadang sama sekali membuang. Sudah itu baru mengumpulsatukan.”
Ihwal penampakannya di masa maha susah itu digambarkan dengan baik oleh dari Hans Bague Jassin. Kritikus sastra terkemuka berkisah.
Di suatu hari pada 1943 seseorang muncul di redaksi majalah Panji Pustaka. Dia “seorang muda kurus pucat tidak terurus kelihatannya. Matanya merah, agak liar, tapi selalu seperti berpikir, gerak-geriknya lambat seperti laku orang tidak perduli.”
Juga terbit tahun 1949 tapi setelah 'Deru Tjampur Debu' (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Anak muda itu datang membawa sejumlah puisi untuk dimuat. Ternyata ia ditampik pimpinan media. Alasannya? Tidak mungkin karya itu dimuat sebab tak ada harganya. Sajak-sajak individualis, kata sang pimpinan, lebih baik disimpan saja dalam arsip si pengarang.
Chairil tak patah arang. Ia terus mencipta. Justru di masa Jepang inilah dia paling bernas. Di tahun 1943 lahir Diponegoro, Tak Sepadan, Sia-sia, Ajakan, Sendiri, Pelarian, Suara Malam, Aku, Hukum, Taman, Lagu Biasa, Kupu-ku Malam dan Biniku, Penerimaan, Kesabaran, Perhitungan, Kenangan, Rumahku, Hampa, Kawanku dan Aku, Bercerai, Aku, Cerita, Di Mesjid, Selamat Tinggal, Mulutmu Mencubit di Mulutku, Dendam, Merdeka, Kita Guyah Lemah, Jangan Kita di sini Berhenti, 1943, Isa, dan Doa.
Di antara semua karya tahun 1943 tentu Diponegoro dan Aku yang paling terkenal. Soalnya, anak-anak sekolah biasa membawakannya terutama saat merayakan 17 Agustusan.
Sebagaimana karya sastrawan lainya, puisi Chairil pun ada yang “jelek, sedang, bagus”. Seperti kata dia (dalam pidato di muka Angkatan Baru, di Pusat Kebudayaan, pada 7 Juli 1948), “…Ini suatu yang tak bisa diceraikan memang, kalau mencipta.” Adapun yang termaktub dalam 3 kitab yang dihasilannya yakni Deru Tjampur Debu (1949), Kerikil Tadjam dan Jang Terempas dan Jang Putus (1949), serta Tiga Menguak Takdir (1950, bersama Asrul sani dan Rivai Apin) pastilah pilihan.
Dihiasi ilustrasi karya Oesman Effendi (Foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Aku sendiri menyukai hampir semua karya dari tahun 1943 ini. Tak Sepadan, misalnya, karya bertiti mangsa Februari 1943 yang dicela pimpinan majalah Panji Pustaka karena ada ‘kiasan-kiasan yang terlalu Barat: ‘Ahasveros’ dan ‘eros’. Isinya seperti berikut.
TAK SEPADAN
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya.
Kau kawin, beranak dan berbahgia.
Sedangkan aku mengembara serupa Ashasveros.
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.
Terbitan Kuala Lumpur tahun 1963 (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Atau, sajak Kupu-kupu Malam dan Biniku, karya yang dibuat pada Maret 1943.
KUPU-KUPU MALAM DAN BINIKU
Sambil berselisih lalu
Menggebu debu.
Kupercepat langkah. Tak noleh ke belakang.
Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang.
Bara ternganga.
Melayang ingatan ke biniku
Lautan yang belum terduga
Biar lebih kami tujuh tahun bersatu.
Barangkali tak setahuku
Ia menipuku.
Laksana ramalan saja karya ini. Chairil belum berumah tangga tatkala menghasilkannya. Baru pada 6 September 2024 sang petualang asmara menikah, yakni dengan Hapsah Wiradiredja yang dipanggilnya dengan sebutan mesra ‘Gajah’. Pasangan ini memiliki anak semata wayang: Evawani Alissa (Eva).
Larik-larik yang kuat (foto: P Hasudungan Sirait/Kalderakita.com)
Di penghujung 1948 Chairil dan Hapsah bercerai. Tak sampai 7 tahun; cuma 2 tahun bertahan. Untuk seterusnya Eva diasuh ibunya. Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, anak tunggal ini kemudian berprofesi sebagai notaris di Jakarta. Anaknya 3. (Bersambung).
*Catatan
-Kata ‘hoppla’ yang dipakai Chairil dalam satu judul pidatonya berarti kehebohan.
-Semua foto kujepret dari kitab karya-karya Chairil Anwar yang kukoleksi (2 terbitan tahun 1949).